Amar
Ma’ruf Nahi Munkar Menurut Hukum
Islam
Disusun Oleh Ustadz Kholid Syamhudi Lc.
Amar ma’ruf nahi munkar
merupakan kekhususan dan keistimewaan Ummat Islam yang akan mempengaruhi
kemulian Ummat Islam. Sehingga Allah mendahulukan penyebutannya di depan lafal
iman dalam firman-Nya,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ
أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ
وَأَكْثَرَهُمُ الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah Ummat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara
mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali
Imron :110)
Demikian pula, Allah membedakan kaum mukminin
dari kaum munafikin dengan Amar ma’ruf nahi munkar ini.
Allah berfirman,
وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ
يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ
وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَيُطِيعُونَ اللهَ وَرَسُولَهُ أُوْلاَئِكَ
سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيزٌ حَكِيمُُ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka
menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf,
mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka ta’at
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah:71)
Ketika membawakan kedua ayat diatas, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah berkata,”Dalam ayat ini Allah menjelaskan, Ummat
Islam adalah Ummat terbaik bagi segenap Ummat manusia. Ummat yang paling
memberi manfaat dan baik kepada manusia. Karena mereka telah menyempurnakan
seluruh urusan kebaikan dan kemanfaatan dengan Amar ma’ruf nahi munkar. Mereka
tegakkan hal itu dengan jihad di jalan Allah dengan jiwa dan harta mereka.
Inilah anugerah yang sempurna bagi manusia. Ummat lain tidak
memerintahkan setiap orang kepada semua perkara yang ma’ruf (kebaikan) dan
melarang semua kemunkaran. Merekapun tidak berjihad untuk itu. Bahkan sebagian
mereka sama sekali tidak berjihad. Adapun yang berjihad -seperti Bani Israil-
kebanyakan jihad mereka untuk mengusir musuh dari negerinya. Sebagaimana orang
yang jahat dan dzalim berperang bukan karena menyeru kepada petunjuk dan
kebaikan, tidak pula untuk Amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini digambarkan dalam
ucapan Nabi Musa,
يَاقَوْمِ ادْخُلُوا اْلأَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِي كَتَبَ اللهُ
لَكُمْ وَلاَ تَرْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِكُمْ فَتَنقَلِبُوا خَاسِرِينَ
قَالُوا يَامُوسَى إِنَّ فِيهَا قَوْمًا جَبَّارِينَ وَإِنَّا لَن نَّدْخُلَهَا
حَتَّى يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِن يَخْرُجُوا مِنْهَا فَإِنَّا دَاخِلُونَ قَالَ
رَجُلاَنِ مِنَ الَّذِينَ يَخَافُونَ أَنْعَمَ اللهُ عَلَيْهِمَا ادْخُلُوا
عَلَيْهِمُ الْبَابَ فَإِذاَ دَخَلْتُمُوهُ فَإِنَّكُمْ غَالِبُونَ وَعَلَى اللهِ
فَتَوَكَّلُوا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَن نَّدْخُلَهَآ
أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلآَ إِنَّا هَاهُنَا
قَاعِدُونَ
Hai kaumku, masuklah ke tanah suci
(Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari ke
belakang (karena kamu takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang
merugi. Mereka berkata,”Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang
yang gagah perkasa. Sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya
sebelum mereka keluar daripadanya. Jika mereka keluar daripadanya, pasti kami
akan memasukinya”. Berkatalah dua orang diantara orang-orang yang takut (kepada
Allah) yang Allah telah memberi nikmat atas keduanya,”Serbulah mereka dengan
melalui pintu gerbang (kota )
itu. Maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada
Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.
Mereka berkata,”Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya
selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama
Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di
sini saja”. (Surat
Al-Maidah : 21-24)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta’ala ,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الْمَلإِ مِن بَنِى إِسْرَاءِيلَ مِن بَعْدِ مُوسَى
إِذْ قَالُوا لِنَبِيٍّ لَّهُمُ ابْعَثْ لَنَا مَلِكًا نُّقَاتِلْ فِي سَبِيلِ
اللهِ قَالَ هَلْ عَسَيْتُمْ إِن كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ أَلاَّ تُقَاتِلُوا
قَالُوا وَمَالَنَآ أَلاَّ نُقَاتِلَ فِي سَبِيلِ اللهِ وَقَدْ أُخْرِجْنَا مِن
دِيَارِنَا وَأَبْنَآئِنَا فَلَمَّا كُتِبَ عَلَيْهِمُ الْقِتَالُ تَوَلَّوْا
إِلاَّ قَلِيلاً مِّنْهُمْ وَاللهُ عَلِيمُُ بِالظَّالِمِينَ
Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka
Bani Israil (sesudah Nabi Musa wafat) ketika mereka berkata kepada seorang Nabi
mereka, “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah
pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab,”Mungkin sekali jika kamu
nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang”. Mereka
menjawab,”Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya
kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami”. Maka
tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali
beberapa orang saja diantara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang
dzalim. (Al-Baqarah:246).
Mereka berperang lantaran diusir dari
tanah air beserta anak-anak mereka. Sudah demikian ini, mereka pun masih
melanggar perintah. Sehingga tidak dihalalkan bagi mereka harta rampasan
perang. Demikan juga tidak boleh mengambil budak-budak tawanan perang”.
(Ibnu Taimiyah, Al-Amru bil Ma’ruf
wan Nahyi ‘Anil Munkar, hal 34. Kitab ini telah diterjemahkan
oleh al-Akh Abu Ihsan dengan judul yang sama, diterbitkan Pustaka at-Tibyan,
Solo).
Demikianlah anugerah
Allah kepada Ummat Islam. Dia menjadikan Amar ma’ruf nahi munkar
sebagai salah satu tugas penting Rasulullah. Bahkan beliau diutus untuk itu,
sebagaimana firman Allah ,
الذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الأُمِّي الذِيْ
يَجِدُوْنَهُ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِيْ التَّوْرَاةِ وَاْلإِنْجِيْلِ
يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ
الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ
وَاْلأَغْلاَلَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِيْنَ ءَامَنُوْا وَعَزَرُوْهُ
وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوْا النُّوْرَ الَّذِيْ أَنْزَلَ مَعَهُ أُوْلَئِكَ هُمُ
الْمُفْلِحُوْنَ
(Yaitu) orang-orang yang mengikuti Rasul,
Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil
yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari
mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan
mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban
dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Surat Al- A’raaf : 157).
Kemudian Allah menciptakan orang-orang yang
selalu mewarisi tugas utama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini,
bahkan memerintahkan Ummat ini untuk menegakkannya, dalam firman-Nya,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang yang
beruntung. (Al-Imron:104)
Tugas penting ini sangat luas jangkauannya, baik
zaman ataupun tempat. Meliputi seluruh ummat dan bangsa, dan terus bergerak
dengan jihad dan penyampaian ke seluruh belahan dunia. Tugas ini telah diemban
Ummat Islam sejak masa Rasulullah sampai sekarang hingga hari kiamat nanti.
Hukum Amar
Ma’ruf Nahi Munkar
(Disarikan dari buku Hakikat Al Amr Bil Ma’ruf
wan Nahi ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nashir Al Amaar, hal. 39-40 dan
Makalah Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi Anil Munkar Bainal
Ifraath wat Tafriith, karya Dr.Ali Nashir Al Faqihiy, dalam Majalah Al-Furqaan
edisi 144, 21 Shafar 1422 H, hal.20 serta Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil
Munkar, Ibnu Taimiyah).
Amar ma’ruf nahi munkar
merupakan kewajiban yang dibebankan Allah kepada Ummat Islam sesuai
kemampuannya. Ditegaskan oleh dalil Al Qur’an dan As-Sunnah serta Ijma’ para
Ulama.
Dalil Al Qur’an
Firman Allah ,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang
yang beruntung. (Al-Imran:104).
Ibnu Katsir berkata dalam menafsirkan ayat ini,”Maksud
dari ayat ini, hendaklah ada sebagian Ummat ini yang menegakkan perkara ini“.
(Lihat tafsir Al Quran Al Karim karya Ibnu Katsir 1/339-405).
Dan firman-Nya,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ
Kamu adalah Ummat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Al-Imran
:110).
Umar bin Khathab berkata ketika memahami ayat
ini,”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk Ummat
tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya“. (Lihat
Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/453).
Dalil Sunnah
Sabda Rasulullah ,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ
يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الإِيمَانِ
Barang siapa yang melihat satu kemunkaran,
maka ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya dan jika
tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman (Riwayat
Muslim).
Sedangkan Ijma’ kaum muslimin, telah dijelaskan
oleh para ulama, diantaranya:
1. Ibnu Hazm Adz Dzahiriy, beliau berkata, “Seluruh
Ummat telah bersepakat mengenai kewajiban Amar ma’ruf nahi munkar, tidak ada
perselisihan diantara mereka sedikitpun”. (Ibnu Hazm, Al-Fashl Fil
Milal Wan Nihal, 5/19).
2. Abu Bakr al- Jashshash, beliau berkata,”Allah
telah menegaskan kewajiban Amar ma’ruf nahi munkar melalui beberapa ayat dalam
Al Qur’an, lalu dijelaskan Rasulullah dalam hadits yang mutawatir. Dan para
salaf serta ahli fiqih Islam telah berkonsensus atas kewajibannya“.
(Al-Jashash, Ahkamul Qur’an , 2/486)
3. An-Nawawi berkata,”telah banyak
dalil-dalil Al Qur’an dan Sunnah serta Ijma’ yang menunjukkan kewajiban Amar ma’ruf
nahi munkar“. (An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, 2/22).
4. Asy-Syaukaniy berkata,”Amar ma’ruf
nahi munkar termasuk kewajiban, pokok serta rukun syari’at terbesar dalam
syari’at. Dengannya sempurna aturan Islam dan tegak kejayaannya“.
(Asy-Syaukaniy, Fathul Qadir, 1/450).
Jelaslah kewajiban Ummat ini untuk berAmar
ma’ruf
nahi munkar.
Derajat Kewajiban Amar Ma’ruf
Nahi Munkar
(Disarikan dari buku Hakikat
Al-Amr Bil Ma’ruf wan-Nahi ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin Nashir
Al-Amaar, hal.40-51dengan perubahan).
Amar ma’ruf nahi munkar
sebagai satu kewajiban atas Ummat Islam, bagaimanakah derajat kewajibannya?
Apakah fardhu ‘ain ataukah fardhu kifayah? Para
ulama berselisih tentang hal ini.
Pendapat pertama
Memandang kewajiban tersebut adalah fardhu ‘Ain.
Ini merupakan pendapat sejumlah ulama, diantaranya Ibnu Katsir (Lihat Tafsir
Al-Quran Al-‘Adhim karya Ibnu Katsir 1/390) , Az Zujaaj, Ibnu Hazm (Ibnu Hazm,
Al-Muhalla, 10/505)..Mereka berhujjah dengan dalil-dalil syar’i, diantaranya:
1. Firman Allah ,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan
Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang
yang beruntung. (Ali Imran:104)
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ
dalam ayat مِنْكُمْ untuk penjelas dan bukan untuk
menunjukkan sebagian. Sehingga makna ayat, jadilah kalian semua Ummat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Demikian juga akhir ayat
yaitu:
وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Menegaskan bahwa keberuntungan khusus bagi mereka
yang melakukan amalan tersebut. Sedangkan mencapai keberuntungan tersebut
hukumnya fardhu ‘ain. Oleh karena itu memiliki sifat-sifat tersebut hukumnya
wajib ‘ain juga. Karena dalam kaedah disebutkan:
مَا لاَ يَتِمُّّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Satu kewajiban yang tidak sempurna kecuali
dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib.
2.
Firman Allah ,
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَلَوْءَامَنَ
أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرَهُمُ
الْفَاسِقُونَ
Kamu adalah Ummat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara
mereka ada yang beriman dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Ali
Imran :110).
Dalam ayat ini, Allah menjadikan syarat bergabung
dengan Ummat Islam yang terbaik, yaitu dengan Amar ma’ruf nahi munkar dan
iman. Padahal bergabung kepada Ummat ini, hukumnya fardu ‘ain. Sebagaimana
firman-Nya:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلاً مِّمَّن دَعَآ إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا
وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shaleh dan
berkata,”Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.” (Surat Fushilat :33)
Sehingga memiliki sifat-sifat tersebut menjadi
fardhu ‘ain. Sebagaimana Umar bin Al Khathab menganggapnya sebagai syarat Allah
bagi orang yang bergabung ke dalam barisan Ummat Islam. Beliau berkata setelah
membaca surat
Ali Imran:110,”Wahai sekalian manusia, barang siapa yang ingin termasuk
Ummat tersebut, hendaklah menunaikan syarat Allah darinya”
Pendapat kedua
Memandang Amar ma’ruf nahi munkar fardhu
kifayah. Ini merupakan pendapat jumhur ulama. Diantara mereka yang menyatakan
secara tegas adalah Abu Bakr Al-Jashash (Al Jashosh, Ahkamul Qur’an, 2/29) ,
Al-Mawardiy, Abu Ya’la Al-Hambaliy, Al Ghozaliy, Ibnul Arabi, Al Qurthubiy (Al
Qurthubiy, Tafsir Al-Qurthubiy, 4/165). , Ibnu Qudamah (Ibnu Qudamah, Mukhtashor
Minhajul Qashidiin, hal.156), An-Nawawiy (An Nawawi, Syarah Shahih Muslim,
2/23), Ibnu Taimiyah (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Ma’ruf wan Nahi ‘Anil
Munkar , hal.37), Asy-Syathibiy (Asy Syathibiy, Al-Muwafaqaat Fi Ushulisy
Syari’at, 1/126) dan Asy-Syaukaniy (Asy Syaukaiy, Fathul
Qadir, 1/450).
.
Mereka berhujjah dengan dalil-dalil berikut ini:
1. Firman Allah ,
وَلْتَكُن مِّنكُمْ أُمَّةُُ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan
Ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka adalah orang-orang
yang beruntung. (Ali Imran:104)
Mereka mengatakan bahwa kata مِنْ
dalam ayat مِنْكُمْ untuk menunjukkan sebagian. Sehingga
menunjukkan hukumnya fardhu kifayah.
Imam Al Jashash menyatakan,”Ayat ini mengandung
dua makna. Pertama, kewajiban Amar ma’ruf nahi munkar. Kedua,
yaitu fardu kifayah. Jika telah dilaksanakan oleh sebagian, maka yang lain
tidak terkena kewajiban”. (Al Jashash, Ahkamul Qur’an, 2/29).
Ibnu Qudamah berkata,”Dalam ayat ini terdapat
penjelasan hukum Amar ma’ruf nahi munkar yaitu fardhu
kifayah, bukan fardhu ‘ain”. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidiin, hal
156).
2. Firman Allah ,
وَمَاكَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَآفَةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن
كُلِّ فِرْقَةٍ مِنهُمْ طَآئِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا
قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mu’min
itu pergi semuanya (ke medan
perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa
orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi
peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka
itu dapat menjaga dirinya. (At-Taubah : 122)
Hukum tafaquh fiddin (memperdalam ilmu
agama) adalah fardhu kifayah. Karena Allah memerintahkan sekelompok kaum
mukminin dan tidak semuanya untuk menuntut ilmu. Oleh karena itu orang yang
belajar dan menuntut ilmu tersebut yang bertanggung jawab memberi
peringatan, bukan seluruh kaum muslimin. Demikian juga jihad, hukumnya fardhu
kifayah.
Syeikh Abdurrahman As Sa’diy menyatakan,”Sepatutnya
kaum muslimin mempersiapkan orang yang menegakkan setiap kemaslahatan umum
mereka. Orang yang meluangkan seluruh waktunya dan bersungguh-sungguh
serta tidak bercabang, untuk mewujudkan kemaslahatan dan kemanfatan mereka.
Hendaklah arah dan tujuan mereka semuanya satu, yaitu menegakkan kemaslahatan
agama dan dunianya” (As Sa’diy, Taisir Karimir Rahman, 3/315,
lihat Hakikat Amar Ma’ruf Nahi Munkar, hal. 43).
3. Tidak semua orang dapat menegakkan Amar
ma’ruf
nahi munkar. Karena orang yang menegakkannya harus memiliki syarat-syarat
tertentu. Seperti mengetahui hukum-hukum syari’at, tingkatan Amar
makruf nahi munkar, cara menegakkannya, kemampuan melaksanakannya. Demikian
juga dikhawatirkan bagi orang yang berAmar ma’ruf nahi munkar bila
tanpa ilmu akan berbuat salah. Mereka memerintahkan kemunkaran dan mencegah kema’rufan
atau berbuat keras pada saat harus lembut dan sebaliknya.
4. Firman Allah ,
الذِّيْنَ إِنْ مَكَّنَّاهُمْ فِيْ اْلأَرْضِ أَقَامُوْا الصَّلاَةَ
وَءَاتَوُا الزَّكَاةَ وَأَمَرُوْا بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهَوْا عَنِ الْمُنْكَرِ
وَلِلهِ عَاقِبَةُ اْلأُمُوْرِ
(yaitu)orang-orang yang jika Kami teguhkan
kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan
zakat, menyuruh berbuat yang ma’ruf
dan mencegah dari perbuatan yang munkar; dan kepada Allahlah kembali segala
urusan. (QS. 22:41)
Imam Al Qurthubiy berkata,”Tidak semua orang
diteguhkan kedudukannya dimuka bumi, sehingga hal tersebut diwajibkan secara
kifayah kepada mereka yang diberi kemampuan untuknya” (Al Qurthubi, Tafsir
Qurthubi, 4/165).
Oleh karena itu Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan,”Demikian
kewajiban Amar ma’ruf nahi munkar. Hal ini tidak diwajibkan kepada setiap
orang, akan tetapi merupakan fardhu kifayah” (Ibnu Taimiyah, Al
Amr Bil Makruf wan Nahi ‘Anil Munkar, hal.37).
Akan tetapi hukum ini bukan berarti menunjukkan
bolehnya seseorang untuk tidak berdakwah, atau berAmar makruf nahi
munkar. Karena terlaksananya fardhu kifayah ini dengan terwujudnya
pelaksanaan kewajiban tersebut. Sehingga apabila kewajiban tersebut belum
terwujud pelaksanaannya oleh sebagian orang, maka seluruh kaum muslimin
terbebani kewajiban tersebut.
Pelaku Amar makruf nahi munkar adalah orang
yang menunaikan dan melaksanakan fardhu kifayah. Mereka memiliki keistimewaan
lebih dari orang yang melaksanakan fardhu ‘ain. Karena pelaku fardhu ‘ain hanya
menghilangkan dosa dari dirinya sendiri, sedangkan pelaku fardhu kifayah
menghilangkan dosa dari dirinya dan kaum muslimin seluruhnya. Demikian juga
fardhu ‘ain jika ditinggalkan, maka hanya dia saja yang berdosa, sedangkan
fardhu kifayah jika ditinggalkan akan berdosa seluruhnya.
Pendapat ini Insya Allah pendapat yang rajih (kuat).
Wallahu a’lam.
Berubahnya Hukum Amar Makruf Nahi Munkar Menjadi Fardhu ‘Ain
Amar makruf nahi munkar dapat
menjadi fardhu ‘ain, menurut kedua pendapat diatas, apabila :
Pertama. Ditugaskan oleh
pemerintah.
Al Mawardi menyatakan,”Sesungguhnya
hukum Amar makruf nahi munkar fardhu ‘ain dengan perintah penguasa“.
(Al Mawardi, Al Ahkam Sulthaniyah, hal.391, dinukil dari Hakikat Amar
Ma’ruf
Nahi Munkar hal.50).
Kedua. Hanya dia yang mengetahui
kema’rufan
dan kemunkaran yang terjadi.
An Nawawiy berkata,”Sesungguhnya Amar
makruf nahi munkar fardhu kifayah. Kemudian menjadi fardhu ‘ain, jika dia
berada di tempat yang tidak mengetahuinya kecuali dia“. (An
Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23).
Ketiga. Kemampuan Amar
makruf nahi munkar hanya dimiliki orang tertentu.
Jika kemampuan menegakkan Amar makruf nahi munkar
terbatas pada sejumlah orang tertentu saja, maka Amar makruf nahi munkar
menjadi fardhu ‘ain bagi mereka.
An Nawawi berkata,”Terkadang Amar
makruf nahi munkar menjadi fardhu ‘ain, jika berada di tempat yang tidak
mungkin menghilangkannya kecuali dia. Seperti seorang yang melihat istri atau
anak atau budaknya berbuat kemunkaran atau tidak berbuat kema’rufan“.
(An Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, 2/23).
Keempat. Perubahan keadaan dan
kondisi.
Syeikh Abdul Aziz bin Baaz memandang Amar
makruf nahi munkar menjadi fardhu ‘ain dengan sebab perubahan kondisi dan
keadaan, ketika beliau berkata, “Ketika sedikitnya para da’i.
Banyaknya kemunkaran dan kebodohan yang merata, seperti keadaan kita sekarang
ini, maka dakwah menjadi fardhu ‘ain atas setiap orang sesuai dengan
kemampuannya“. (Abdul Aziz bin Abdillah bin Baaz, Ad Dakwah Ila
Allah wa Akhlaqud Du’at, hal. 16).
Melihat realitas Ummat Islam sekarang maka
nampaknya Amar ma’ruf nahi munkar menjadi kewajiban
atas setiap orang. Hal ini tentunya membutuhkan pengorbanan dalam
menegakkannya. Apalagi Islam yang paripurna ditetapkan Allah untuk kemaslahatan
makhlukNya dan menghilangkan semua jenis kemudhoratan. Oleh karenanya dalam Amar
ma’ruf
nahi munkar tidak mungkin lepas dari permasalahan maslahat dan mafsadat, yang
tentunya didasarkan dengan timbangan syari’at bukan sekedar prasangka dan
dugaan semata.
Akan tetapi, fenomena yang ada sekarang ini
banyak Amar ma’ruf nahi munkar yang dilakukan
tidak dengan prosedur syari’at, sehingga terjadi fitnah dan kemunkaran yang
besar menimpa kaum muslimin. Lebih celaka lagi orang lemah dan tidak berdosapun
ikut menanggung akibatnya. Demikianlah sunnatullah, jika timbul fitnah maka
akan menimpa orang yang zhalim dan yang sholih, sebagaimana firman Allah :
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لاَتُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنكُمْ خَآصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan peliharalah dirimu dari pada fitnah yang
tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja diantara kamu. Dan ketahuilah
bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS. 8:25).
Tentunya hal ini tidak kita harapkan terjadi
terus menerus. Namun kitapun tidak boleh apriori dan merasa tidak bertanggung
jawab untuk berAmar ma’ruf nahi munkar, lantas berdalih
dengan kenyataan diatas untuk meninggalkan kewajiban yang mulia ini.
Amar ma’ruf nahi munkar
disyariatkan semata untuk kemaslahatan manusia, kemaslahatan bagi yang berbuat
kemunkaran (untuk berhenti dari kemunkarannya),
kemaslahatan bagi pelaku Amar ma’ruf nahi munkar dan
kemaslahatan bagi yang belum melakukannya. Rasulullah bersabda dalam hadits An
Nu’man bin Basyir :
مَثَلُ الْمُدْهِنِ فِي حُدُودِ اللَّهِ وَالْوَاقِعِ فِيهَا مَثَلُ
قَوْمٍ اسْتَهَمُوا سَفِينَةً فَصَارَ بَعْضُهُمْ فِي أَسْفَلِهَا وَصَارَ
بَعْضُهُمْ فِي أَعْلاَهَا فَكَانَ الَّذِي فِي أَسْفَلِهَا يَمُرُّونَ بِالْمَاءِ
عَلَى الَّذِينَ فِي أَعْلاَهَا فَتَأَذَّوْا بِهِ فَأَخَذَ فَأْسًا فَجَعَلَ
يَنْقُرُ أَسْفَلَ السَّفِينَةِ فَأَتَوْهُ فَقَالُوا مَا لَكَ قَالَ
تَأَذَّيْتُمْ بِي وَلاَ بُدَّ لِي مِنَ الْمَاءِ فَإِنْ أَخَذُوا عَلَى يَدَيْهِ
أَنْجَوْهُ وَنَجَّوْا أَنْفُسَهُمْ وَإِنْ تَرَكُوهُ أَهْلَكُوهُ وَأَهْلَكُوا
أَنْفُسَهُمْ
Perumpamaan orang yang teguh menjalankan
hukum Allah dan orang yang terjerumus didalamnya bagaikan satu kaum yang
membagi tempat diatas perahu, sebagian mendapat tempat di bawah dan sebagian di
atas. Orang yang di bawah memerlukan air melalui orang yang di atas, lalu hal
itu mengganggu mereka. Kemudian (orang yang di bawah) mengambil kampak dan
mulai melobangi perahu. Datanglah orang-orang yang di atas dan berkata:” kenapa
berbuat demikian?” dia menjawab:”kalian terganggu oleh saya, padahal saya mesti
mengambil air” jika mereka menahannya, maka mereka menyelamatkannya dan
menyelamatkan diri mereka sendiri; dan jika membiarkannya maka mereka
membinasakannya dan membinasakan diri mereka semua. (Riwayat Bukhori).
Untuk itulah para Ulama mengerahkan segala
kemampuannya untuk menggariskan kaidah Amar ma’ruf nahi munkar. Garis
besar penerapan yang dapat digunakan oleh kaum muslimin di setiap
tempat dan waktu, sehingga Amar ma’ruf nahi munkar
menjadi rahmat bagi manusia.
Rukun Amar
Makruf Nahi Munkar.
Amar ma’ruf nahi munkar
memiliki empat rukun, yaitu:
1. Pelaku Amar ma’ruf nahi munkar
2. Amalan kema’rufan dan kemunkaran
3. Orang yang meninggalkan kema’rufan dan pelaku
kemunkaran (obyek Amar ma’ruf nahi munkar)
4. Perbuatan Amar ma’ruf nahi munkar itu
sendiri.
Kaidah BerAmar Makruf Nahi Munkar
Melihat rukun-rukun Amar makruf nahi munkar diatas maka dapat kita jabarkan kaidah
dan garis besar penerapan Amar ma’ruf nahi munkar
sebagai berikut::
Pertama: Kaedah Yang Berhubungan Dengan
Pelaku Amar Makruf Nahi Munkar
Pelaku Amar ma’ruf nahi munkar
hendaknya menghiasi dirinya dengan sifat terpuji dan akhlak mulia. Di antara
sifat pelaku Amar ma’ruf nahi munkar yang terpenting
adalah:
- Ikhlash
Hendaklah seorang pelaku Amar ma’ruf nahi munkar
manjadikan tujuannya keridhaan Allah semata, tidak mengharapkan balasan dan
syukur dari orang lain. Demikianlah yang dilakukan para Nabi, Allah berfirman:
وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى
رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu
atas ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam.
(QS.Asy-Syu’araa` 26:145)
وَمآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى
رَبِّ الْعَالَمِينََ
Dan sekali-kali aku tidak minta upah kepadamu
atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. (QS.
Asy-Syu’araa`26:127)
وَمَآأَسْئَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى
رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu
atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Rabb semesta alam. (QS.
Asy-Syu’araa` 26:109)
- Berilmu.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
“…akan tetapi niat terpuji yang diterima Allah
dan menghasilkan pahala adalah yang semata-mata untuk Allah . Sedangkan amal
terpuji lagi sholeh adalah itu yang diperintahkan Allah… Jika hal itu menjadi
batasan seluruh amal sholih, maka wajib bagi pelaku Amar ma’ruf nahi munkar
memiliki keriteria tersebut dalam dirinya, dan tidak dikatakan amal sholih
apabila dilakukan tanpa ilmu dan fiqih, sebagaiman pernyataan Umar bin Abdil
Aziz: “Orang yang menyembah Allah tanpa ilmu, maka kerusakan yang
ditimbulkannya labih besar dari kemaslahatan yang dihasilkannya” …ini sangat
jelas, karena niat dan amal tanpa ilmu merupakan kebodohan, kesesatan dan
mengikuti hawa nafsu….maka dari itu ia harus mengetahui kema’rufan dan kemunkaran
dan dapat membedakan keduanya serta harus memiliki ilmu tentang keadaan yang
diperintah dan dilarang.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 27/135-137, dengan
sedikit
pemotongan).
Kemudian beliau berkata dalam mendefinisikan ilmu
tersebut:
“Dan Ilmu tersebut adalah syariat Allah yang
dibawa oleh Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, dinamakan juga sulthon,
sebagaimana firmanNya:
الَّذِينَ يُجَادِلُونَ فِي ءَايَاتِ اللهِ بِغَيْرِ سُلْطَانٍ
أَتَاهُمْ كَبُرَ مَقْتًا عِندَ اللهِ وَعِندَ الَّذِينَ ءَامَنُوا كَذَلِكَ
يَطْبَعُ اللهُ عَلَى كُلِّ قَلْبِ مُتَكَبِّرٍ جَبَّارٍ
(Yaitu) orang yang memperdebatkan ayat-ayat
Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka.Amat besar kemurkaan (bagi mereka)
di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman.Demikianlah Allah mengunci
mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang. (Surat mu’min 40:35)
Barang siapa yang berbicara agama tanpa ilmu yang
dibawa Rasulullohshallallahu ‘alaihi wa sallam,maka dia berbicara tanpa ilmu.
Dan siapa yang dipimpin syiethon maka dia menyesatkannya dan menyeretnya ke
adzab neraka.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa 27/39).
Ketidak tahuan pelaku Amar ma’ruf nahi munkar
tentang apa yang dia seru dan ingkari dapat menjerumuskannya kepada bencana dan
fitnah yang banyak, terkadang muncul dengan sebabnya kerusakan yang beraneka
ragam serta hilangnya kemaslahatan yang dia inginkan.
- Rifq
Rifq (lemah lembut dalam perkataan dan perbuatan
serta selalu mangambil yang mudah). ( Lihat definisi Rifq di Fathul Bari 10/449).
Rifq adalah sifat para nabi dan rasul ketika
mengingkari kelakuan buruk kaumnya, lihatlah firmanNya dalam kisah Musa:
اذْهَبَآ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً
لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun,
sesungguhnya dia telah malampaui batas maka berbicalah kamu berdua kepadanya
dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (QS.
Thoha 20:43-44)
Demikian juga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam melakukan hal yang sama dalam berdakwah kepada semua manusia, seperti
yang diriwayatkan Aisyah , beliau berkata:
دَخَلَ رَهْطٌ مِنَ الْيَهُودِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا السَّامُ عَلَيْكُمْ فَقَالَتْ وَعَلَيْكُمُ
السَّامُ وَاللَّعْنَةُ قَالَتْ فَقَالَ مَهْلًا يَا عَائِشَةُ إِنَّ اللَّهَ
يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الْأَمْرِ كُلِّهِ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَمْ
تَسْمَعْ مَا قَالُوا قَالَ قَدْ قُلْتُ وَعَلَيْكُمْ
Sekelompok orang yahudi menemui Rasululloh
shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
berkata: “Assaamu ‘alaikum”. Lalu Aisyah memjawab: “Wa’alaikum assaam”. Lalu
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam
berkata : “sabar wahai Aisyah, sesungguhnya Allah mencintai rifq
dalam seluruh perkara”. Lalu beliau berkata: “wahai Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam, apakah engkau tidak mendengar apa
yang mereka ucapkan?”, beliau menjawab: “ya, dan saya sudah ucapkan:
“‘alaikum”.” (Riwayat Bukhori, No.6024)
Bahkan beliau bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلاَّزَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ
مِنْ شَيْءٍ إِلاَّ شَانَهُ
Sesungguhnya rifq, tidak ada pada sesuatu
kecuali menghiasinya dan tidak hilang dari sesuatu kecuali merusaknya. (Riwayat
Muslim No. 2594).
Demikian pentingnya sifat rifq ini, sehingga
berkata Sufyaan Ats Tsauriy :
“Tidak berAmar ma’ruf nahi munkar
kecuali orang yang memiliki tiga sifat: rifq, adil dan berilmu dalam mengajak
dan mencegah“ (Ibnu Rajab, Jami’ Ulum Wal Hikam, 2/156, lihat
Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar hal. 93).
Imam Ahmad bin Hambal ditanya tentang Amar
ma’ruf
nahi munkar, beliau menjawab:
“Para sahabat Abdillah bin Mas’ud jika
melewati satu kaum, yang mereka lihat melakukan sesuatu yang tidak mereka
sukai, berkata: “sabar, sabar, semoga Allah merahmati kalian“.” (Ibnu
Rajab, Jami’ Ulum Wal Hikam, 2/156, lihat Hakikat Al amr Bil ma’ruf
Wan nahi Anil munkar hal. 93).
Dengan rifq (kelembutan) tabiat menerima dan
mengerti bahaya kemunkaran, sehingga pelaku kemunkaran tersebut dapat kembali
dan menerima ajakan tersebut-dengan izin Allah l -.
- Sabar
Kesabaran merupakan perkara yang sangat penting
dalam seluruh perkara manusia, apalagi dalam Amar ma’ruf nahi munkar,
karena pelaku Amar ma’ruf nahi munkar bergerak di medan perbaikan jiwanya
dan jiwa orang lain. Sehingga Luqman mewasiati anaknya untuk bersabar dalam Amar
ma’ruf
nahi munkar :
يَابُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاَةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ
الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَآأَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ اْلأُمُورِ
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang
munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.Sesungguhnya yang
demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). (QS. Luqmaan 31:17)
Demikian juga Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam, sebaik-baik pelaku Amar ma’ruf nahi munkar selalu
bersabar atas segala musibah dan rintangan dari orang yang didakwahinya.
Lihatlah kisah Anas bin Malik tentang hal ini dalam pernyataan beliau:
كُنْتُ أَمْشِي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعَلَيْهِ بُرْدٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ
فَجَذَبَهُ جَذْبَةً شَدِيدَةً حَتَّى نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عَاتِقِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَثَّرَتْ بِهِ حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ
شِدَّةِ جَذْبَتِهِ ثُمَّ قَالَ مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ
فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاء
Aku berjalan bersama Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam yang mengenakan pakaian (burd)
Najron yang kasar pinggirannya, lalu seorang A’robi (Arab Badui) memegangnya
dan menariknya dengan keras sampai aku melihat leher Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah ada bekas selendangnya, karena kerasnya tarikan. Kemudian dia
berkata: “berikan kepadaku sebagian harta Allah yang kamu miliki!”. Lalu beliau
menengoknya dan tertawa, setelah itu beliau memerintahkan untuk memberikannya.
(riwayat Bukhori no.3149).
Demikian pentingnya sabar bagi seorang muslim,
sehingga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan umatnya untuk
bersabar, sebagaiman yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqaash, beliau
bertanya:
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً قَالَ
الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ حَتَّى يُبْتَلَى الْعَبْدُ عَلَى
قَدْرِ دِينِهِ ذَاكَ فَإِنْ كَانَ صُلْبَ الدِّينِ ابْتُلِيَ عَلَى قَدْرِ ذَاكَ
وَإِنْ كَانَ فِي دِينِهِ رِقَّةٌ ابْتُلِيَ عَلَى حَسَبِ دِينِهِ قَالَ فَمَا
تَبْرَحُ الْبَلاَيَا عَنِ الْعَبْدِ حَتَّى يَمْشِيَ فِي الْأَرْضِ وَمَا
عَلَيْهِ مِنْ خَطِيئَةٍ
Wahai Rasululloh siapakah orang yang paling
keras cobaannya? Beliau menjawab: “para Nabi kemudian yang
mendekatinya,kemudian yang mendekatinya, sampai seorang hamba dicoba sesuai
dengan agamanya tersebut. Jika agamanya kuat maka dicoba sesuai dengan
agamanya, dan jika terdapat kelemahan dalam agamanya, maka dicoba sesuai dengan
agamanya”, beliau bersabda lagi:”senantiasa cobaan menimpa seorang hamba sampai
ia berjalan di muka bumi tanpa dosa” )Riwayat
al-Bukhori).
Arti penting ketiga sifat ini diutarakan Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam pernyataannya:
“Ia harus memiliki tiga sifat, yaitu
Ilmu, Rifq dan Sabar. Ilmu sebelum melaksanakan Amar ma’ruf nahi munkar;
harus lembut dalam melaksanakannya dan harus sabar (atas konsekwensi (pent))
setelahnya. Ketiga sifat ini harus selalu bersama dalam setiap keadaan.”
(Ibnu Taimiyah, Al Amr bil Ma’ruf wan Nahyi ‘Anil Munkar, hal
57).
- Melihat dan mengukur kemaslahatan dan kemudhorotan.
Di antara hal yang perlu sekali diperhatikan
seorang pelaku Amar ma’ruf nahi munkar adalah mengukur
dan melihat kemaslahatan yang ditimbulkan. Karena Syari’at ditegakkan untuk
mendapatkan kemaslahatan dan menghilangkan kemafsadatan.
Syeikhul Islam menjelaskan kaidah ini dalam
pernyataannya:
“Amar
ma’ruf tidak boleh menghilangkan kema’rufan lebih banyak, atau mendatangkan
lebih besar kemunkaran. Nahi munkar tidak boleh mendatangkan kemunkaran yang
lebih besar atau menghilangkan kema’rufan
yang lebih kuat (rajih) darinya” (Ibnu Taimiyah, Al Hisbah, hal124).
Ibnul Qayyim berkata dalam menjelaskan hal ini:
“Allah Ta’ala telah mensyariatkan kewajiban
mengingkari kemunkaran, untuk mendapatkan kema’rufan yang dicintai
Allah dan RasulNya. Jika ingkar munkar menghasilkan kemunkaran yang lebih besar
dan lebih dibenci Allah dan rasulNya, maka tidak boleh.
Ingkar munkar memiliki empat derajat:
- kemunkarannya hilang dan digantikan dengan kema’rufan.
- kemunkaran berkurang walaupun tidak hilang seluruhnya.
- kemunkaran hilang diganti dengan kemunkaran yang semisalnya.
- kemunkaran tersebut diganti dengan yang lebih berat.
Dua derajat yang pertama disyariatkan (untuk
dilaksanakan), derajat ketiga kembali ke ijtihat pelakunya, sedang yang keempat
diharomkan (pelaksanaannya).
Jika kamu melihat orang jahat dan fasiq bermain
catur-misalnya-, maka pengingkaranmu dikatakan tidak didasarkan fiqih dan ilmu,
kecuali jika kamu memalingkan mereka kepada sesuatu yang lebih Allah dan
RasulNya cintai; seperti bermain panah dan balap kuda serta yang sejenisnya.
Jika kamu melihat orang fasiq berkumpul pada satu amalan yang sia-sia atau
mendengarkan tepuk tangan dan siulan, maka jika kamu membawa mereka kepada
ketaatan Allah, maka itu yang dicari; kalau tidak, membiarkan mereka demikian
lebih baik dari memberikan kesempatan kepada mereka berbuat lebih buruk dari
itu, karena amalan mereka tersebut menyibukkan mereka untuk tidak beramal yang
lebih jelek. Demikian juga jika ada seorang yang sibuk membaca buku berisi
kefasikan atau yang sejenisnya, lalu kamu khawatir pindahnya mereka kebuku
bid’ah, sesat dan sihir, maka lebih baik biarkan dia dengan buku tersebut. Ini
merupakan pembahasan yang luas sekali.
Aku mendengar Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah-
semoga Allah mensucikan ruhnya- mengatakan: “Saya dan sebagian sahabatku di
zaman Tartar melewati satu kaum yang meminum khomr. Salah seorang yang
bersamaku mengingkari mereka, lalu saya cegah. Saya katakan padanya: “Allah
mengharamkan khomr karena dia menghalangi zikir dan sholat, sedangkan khomr
menghalangi mereka dari membunuh, menawan anak-anak serta merampok, maka
biarkanlah mereka..” (Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’in, 3/4-5, lihat Hamd Al
Amaar, Hakikat Al amr Bil ma’ruf Wan Nahyi ‘Anil munkar hal.
95 dan Ali Hasan, Dhawaabith Al Amr bil Ma’ruf Wan nahi Anil munkar Inda
Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 31-32).
Permasalahan maslahat dan mafsadat sangat penting
dalam syari’at Islam, khususnya Amar ma’ruf nahi munkar,
sehingga Syeikhul Islam menyatakan:
“Apabila Amar ma’ruf nahi munkar
tersebut mencakup hal yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan,
maka harus dilihat penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau
mafsadat yang datang lebih besar, mak dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi
haram, bilamana mafsadatnya lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi
standar ukuran maslahat dan mafsadatnya adalah syari’at.” (Ibnu
Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47).
Kemudian beliau mencela orang yang berAmar
ma’ruf
nahi munkar tanpa memperhatikan hal ini, dalam pernyataan beliau:
“Orang yang ingin Amar ma’ruf nahi munkar
baik dengan lisannya, atau dengan tangannya begitu saja tanpa fiqih, hilm,
kesabaran, tidak memandang apa yang maslahat dan yang tidak maslahat dan tidak
mengukur mana yang mampu dan yang tidak dimampui…… Lalu melakukan Amar ma’ruf
nahi munkar dengan keyakinan mentaati Allah dan RasulNya, namun hakikatnya dia
telah melanggar batasan-batasan Allah Ta’ala (bermaksiat (pent)).”
(Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 43-45).
Kaidah ini dapat diperinci sebagai
berikut: (Diambil dari kitab Hakikat Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil
Munkar, hal 96-100, Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal
47-48 dan Dhawaabith Al amr Bil ma’ruf Wan nahi Anil munkar Inda
Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 36-40 serta majmu’ fatawa jilid 20).
- Jika kemaslahatan lebih besar dari mafsadatnya, maka disyari’atkan berAmar ma’ruf nahi munkar. Syeikhil Islam menyatakan:
“Jika Amar ma’ruf nahi munkar
merupakan kewajiban yang agung atau sunnah, maka mesti kemaslahatan yang ada
padanya lebih besar dari mafsadatnya, karena demikianlah para rasul diutus dan
kitab-kitab suci diturunkan. Sedangkan Allah Ta’ala tidak menyukai kerusakan,
bahkan seluruh perintahNya adalah kebaikan. Dia memuji kebaikan dan pelakunya
serta orang yang beriman dan beramal sholih. Diapun mencela kerusakan dan orang
yang melakukan kerusakan dalam banyak ayat di Al Qur’an.” (Ibnu Taimiyah, Al
Amr Bil Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 39).
- Jika mafsadat lebih besar dari kemaslahatannya, maka diharamkan berAmar ma’ruf nahi munkar, karena menolak mafsadat lebih didahulukan dari mendapat kemaslahatan.
Syeikhul Islam berkata:
“Apabila Amar ma’ruf nahi munkar
tersebut mencakup hal yang mendatangkan kemaslahatan dan menolak kemudhorotan,
maka harus dilihat penentangnya. Jika yang hilang dari kemaslahatan atau
mafsadat yang datang lebih besar, mak dia tidak diperintahkan. Bahkan menjadi
haram, bilamana mafsadatnya lebih besar dari kemaslahatannya. Akan tetapi
standar ukuran maslahat dan mafsadatnya adalah syari’at. Kapan saja seseorang
sanggup melaksanakan apa yang diperintahkan syari’at, maka jangan berpaling
darinya. Jika tidak, maka hendaklah ia berijtihad untuk mengetahui yang serupa
dan sama, dan sedikit sekali orang yang pakar terhadap nash-nash dan
penunjukannya terhadap hukum tidak menemukannya.”( Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil
Makruf Wan Nahi Anil Munkar, hal 47).
Dan berkata juga:
“Jika ajakan melakukan ketaatan mendatangkan
kemaksiatan yang lebih besar, maka ditinggalkan ajakan tersebut untuk menolak
adanya kemaksiatan itu. Seorang alim dalam bayan dan balagh ,
terkadang mengakhirkan bayan dan balaghnya karena sesuatu
sampai pada waktu yang pas, sebagaimana Allah Ta’ala mengakhirkan turunnya Ayat
dan penjelasan hukum sampai waktu Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam
mampu menjelaskannya” ( Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa
20/58-59).
- Jika mafsadat dan maslahat sama besarnya, tidak disyariatkan Amar ma’ruf nahi munkar, karena tujuan dari pensyari’atan hukum-hukum adalah untuk menolak mafsadat dan mendapatkan maslahat bagi manusia.
Syeikhul Islam berkata:
“Jika perkara ma’ruf dan munkar sama
dominant dan tak terpisah, maka Amar ma’ruf nahi munkar tidak
diperintahkan dan tidak dilarang. Terkadang Amar ma’ruflah yang harus
dilakukan dan terkadang nahi munkarlah yang harus dilakukan atau
terkadang kedua-duanya tidak dilaksanakan, karena kema’rufan dan kemunkaran
tidak terpisahkan.” (Ibnu Taimiyah, Al Amr Bil Makruf wan Nahyi ‘anil Munkar,
hal 48).
- Jika mafsadat berbilang ketika pelaksanaan Amar ma’ruf nahi munkar, hal ini tidak lepas dari dua hal:
1. Mesti terjerumus pada salah satunya, seperti
buah simalakama, maka dilaksanakan yang paling sedikit kemudhoratannya, untuk
menolak yang lebih besar.
Syeikhul Islam berkata seputar permasalahan ini:
“Demikian pula jika berkumpul dua keharaman,
tidak mungkin meninggalkan yang terbesar kecuali melakukan yang lebih kecil
(mafsadahnya). Melakukan hal itu pada saat ini tidak dikatakan haram secara
hakikat, Jika dinamakan hal itu meninggalkan kewajiban atau melakukan keharaman
secara penamaan, maka tidak mengapa. Dan dikatakan demikian juga, seseorang
yang meninggalkan kewajiban dan mengamalkan keharaman karena maslahat yang
lebih besar, atau darurat, atau mencegah yang lebih haram darinya” (Ibnu
Taimiyah, Majmu’ Fataawa 20/57).
2. Tidak mesti terjerumus pada salah satunya,
maka hukumnya berusaha menghindari keduanya, sesuai dengan kaidah fiqhiyah:
(Lihat pengertian kaidah ini di kitab Syarah Al Qawaaid Al Fiqhiyah karya Ahmad
bin Muhammad Az Zarqaa’).
الضَّرَرُ يُزَالُ
Kemudhoratan dihilangkan.
Dan:
الضَّرَرُ لاَيُزَالُ بمِثْلِهِ
kemudhoratan tidak dihilangkan dengan
semisalnya.
الضَّرَرُ يُدْفَعُ بِقَدْرِ الإِمْكَانِ
Kemudhoratan dicegah sedapat mungkin.
Demikianlah pentingnya mengenal standar maslahat
dan mafsadat dalam Amar ma’ruf nahi munkar. lihatlah contoh
yang disampaikan Ibnu Taimiyah dalam perkataan beliau:
“Pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bagi Abdillah bin Ubai bin Salul dan para pengikutnya, para tokoh kemunafikan
dan kefujuran, disebabkan mereka memiliki simpatisan fanatik. Menghilangkan
kemunkarannya dengan sejenis hukuman justru menghilangkan kemaslahatan yang
lebih banyak, dengan sebab kemarahan dan asabiyah (pembelaan karena
merasa satu kaum (pent)) kaumnya. Demikian juga antipati manusia ketika mereka
mendengar Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam membunuh sahabatnya sendiri.
Oleh karena itu ketika beliau berkhutbah di hadapan manusia tentang peristiwa ifki
(tuduhan dusta kepada ‘Aisyah, pent)) dengan khutbahnya dan memaafkannya.
Lalu Saad bin Mu’adz mengucapkan perkataan yang sangat menyentuh. ( Kisah
ini disampaikan dalam khutbah beliau berbunyi:
مَنْ يَعْذُرُنِي مِنْ رَجُلٍ بَلَغَنِي أَذَاهُ فِي أَهْلِي
فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا خَيْرًا وَقَدْ ذَكَرُوا رَجُلًا
مَا عَلِمْتُ عَلَيْهِ إِلَّا خَيْرًا وَمَا كَانَ يَدْخُلُ عَلَى أَهْلِي إِلَّا
مَعِي فَقَامَ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا وَاللَّهِ
أَعْذُرُكَ مِنْهُ إِنْ كَانَ مِنَ الْأَوْسِ ضَرَبْنَا عُنُقَهُ وَإِنْ كَانَ
مِنْ إِخْوَانِنَا مِنَ الْخَزْرَجِ أَمَرْتَنَا فَفَعَلْنَا فِيهِ أَمْرَكَ
فَقَامَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ وَهُوَ سَيِّدُ الْخَزْرَجِ وَكَانَ قَبْلَ ذَلِكَ
رَجُلًا صَالِحًا وَلَكِنِ احْتَمَلَتْهُ الْحَمِيَّةُ فَقَالَ كَذَبْتَ لَعَمْرُ
اللَّهِ لَا تَقْتُلُهُ وَلَا تَقْدِرُ عَلَى ذَلِكَ فَقَامَ أُسَيْدُ بْنُ
حُضَيْرٍ فَقَالَ كَذَبْتَ لَعَمْرُ اللَّهِ وَاللَّهِ لَنَقْتُلَنَّهُ فَإِنَّكَ
مُنَافِقٌ تُجَادِلُ عَنِ الْمُنَافِقِينَ فَثَارَ الْحَيَّانِ الْأَوْسُ
وَالْخَزْرَجُ حَتَّى هَمُّوا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَنَزَلَ فَخَفَّضَهُمْ حَتَّى سَكَتُوا وَسَكَتَ (
Saad bin Ubadah dengan kesempurnaan iman dan sidiqnya masih terbakar emosi
kesukuannya, setiap orang dari mereka bertaashub (saling membela
karena kefanatikan (pent)) terhadap sukunya, sampai hampir terjadi fitnah”
(Ibnu Taimiyah, Al Amr bil Makruf wan Nahi ‘anil Munkar, hal 48-49).
Demikian juga Imam Ibnul Qayyim menjelaskan
kaidah ini dengan memberikan contoh dalam pernyataan beliau:
“Barang siapa yang meneliti fitnah yang besar
atau kecil yang terjadi dalam Islam, akan melihat hal itu disebabkan karena
melalaikan pokok kaedah ini dan tidak sabar dalam (mengingkari) kemunkaran.
Menuntut hilangnya kemunkaran, akan tetapi lahir darinya kemunkaran yang lebih
besar. Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu melihat di Makkah satu
kemunkaran besar dan tidak dapat merubahnya, bahkan ketika Allah taklukan
Makkah dan menjadi negeri Islam, beliau bertekad untuk merubah Ka’bah dan
mengembalikannya sesuai dasar bangunan Nabi Ibrohim. Akan tetapi tercegah
-walaupun beliau mampu- kekhawatiran munculnya sesuatu yang lebih besar dari
itu, berupa tantangan Quraisy, karena mereka baru masuk Islam dan meninggalkan
kekufuran. Oleh karena itu tidak diizinkan mengingkari para penguasa dengan
tangan, karena akan menghasilkan kemunculan sesuatu yang lebih besar darinya.”
(Ibnul Qayyim, I’lamul Muwaqi’iin, 4/3, lihat Dhawaabith Al Amr bil Ma’ruf
wan Nahi ‘anil Munkar Inda Syeikhil Islam Ibnu Taimiyah, hal. 39-40).
- Hendaknya pelaku Amar ma’ruf nahi munkar mengenal dan mengetahui kaidah Saddudz dzara’I (menahan sesuatu yang dapat mengantar kepada kemunkaran). Sebagaimana digunakan Allah Ta’ala dalam firmanNya:
وَلاَتَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللهِ فَيَسُبُّوا اللهَ
عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلٍّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ
إِلَى رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jaidkan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Rabb mereka kembali mereka,
lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS.
6:108)
Demikian juga Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa
sallam mencontohkan hal itu dalam hadits :
عَنْ صَفِيَّةَ بِنْتِ حُيَيٍّ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلًا
فَحَدَّثْتُهُ ثُمَّ قُمْتُ فَانْقَلَبْتُ فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي فَمَرَّ
رَجُلَانِ مِنَ الْأَنْصَارِ فَلَمَّا رَأَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَسْرَعَا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى
رِسْلِكُمَا إِنَّهَا صَفِيَّةُ بِنْتُ حُيَيٍّ فَقَالَا سُبْحَانَ اللَّهِ يَا
رَسُولَ اللَّهِ قَالَ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَجْرِي مِنَ الْإِنْسَانِ مَجْرَى
الدَّمِ وَإِنِّي خَشِيتُ أَنْ يَقْذِفَ فِي قُلُوبِكُمَا سُوءًا أَوْ قَالَ
شَيْئًا
Dari Shofiyah binti Huyaiy, beliau
berkata:”Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang beri’tikaf, lalu aku
datang menziarahinya pada satu malam. Saya berbicara kepada beliau, lalu
bangkit untuk pulang. Kamudian beliau bangkit untuk mengantarkanku, lalu
lewatlah dua orang anshor. Ketika beliau melihat keduanya mempercepat jalan,
maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Perlahanlah kalian,
sesungguhnya dia adalah Shofiyah binti Huyaiy.” Lalu keduanya berkata: “Subhanallah,
wahai Rasululloh.” Beliau berkata: ” sesungguhnya Syeithon masuk ke dalam
manusia melalui aliran darah dan aku khawatir dia memasukkan kejelekan ke dalam
hati kalian berdua.”. (Riwayat al-Bukhori dan Muslim).
Dalam hadits ini, Rasululloh shallallahu ‘alaihi
wa sallam mencegah prasangka buruk kedua orang tersebut dengan
pemberitahuannya.
- Melakukan Amar ma’ruf nahi munkar secara syar’I dan adil, sehingga tidak berlebihan dalam membenci, mencela, melarang atau mengisolirnya. Hal ini diingatkan syeikhul Islam dalam menjelaskan sebagian ketentuan Amar ma’ruf nahi munkar, beliau berkata:
“Tidak menyakiti ahli maksiat melebihi ketentuan
syari’at, baik dalam membenci, mencela, mencegah, mengisolir atau menghukumnya.
Bahkan disampaikan kepada orang yang disakiti: “perhatikanlah dirimu saja,
orang yang sesat tidak merugikanmu, jika kamu mendapat petunjuk; sebagaimana
firman Allah Ta’ala :
وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَئَانُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُوا
اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرُُ بِمَا
تَعْمَلُونَ
Dan janganlah sekali-kali kebencianmuterhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena
adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Surat Al Maidah.:8)
dan firmanNya:
وَقَاتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَكُمْ وَلاَ
تَعْتَدُوا إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Dan perangilah di jalan Allah orang-orang
yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al
Baqoroh:190)
Dan firmanNya:
وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لَا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ
لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِمِينَ(193)
Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada
fitnah lagi dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka. Jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali
terhadap orang-orang yang zhalim. (QS. 2:193)
Karena kebanyakan pelaku Amar ma’ruf nahi munkar
terkadang melampaui batasan, adakalanya karena kebodohan dan kadang karena
kedzoliman. Permasalahan ini harus dilakukan dengan ketelitian, baik dalam
mengingkari kemunkaran terhadap orang kafir, munafik, fasik atau orang yang
bermaksiat.” (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 14/481-482).
Kemudian dia berkata lagi:
“Hendaklah melaksanakan Amar ma’ruf
nahi munkar mengikuti tuntunan syari’at, dari ilmu, rifq, kesabaran,
niat yang ikhlas dan mengikuti jalan yang lurus”.
- Hendaklah menjadi teladan bagi orang lain, karena pengaruh mencontoh dan meniru cukup besar dalam diri orang yang didakwahi. Oleh karena itu Allah Ta’ala jadikan Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam contoh teladan terbaik agar manusia mencontoh seluruh perbuatan dan perkataannya. Allah berfirman:
لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن
كَانَ يَرْجُوا اللهَ وَالْيَوْمَ اْلأَخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيرًا
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah
itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat)
Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS. 33:21)
Sehingga seorang pelaku Amar ma’ruf nahi munkar
hendaklah merasa bahwa Islam memerintahkannya mengikuti teladan yang baik,
teladan para Rasul, orang sholeh dan mulia. Hendaklah dia menjadi salah satu
dari mereka tersebut, agar menjadi contoh teladan dalam perkataan dan perbuatan
yang baik. Imam Al Hasan Al Bashriy berkata: “Penasehat adalah orang
yang menasehati manusia dengan amalannya, bukan ucapannya. Demikianlah keadaan
Rasululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika ingin
memerintahkan sesuatu, beliau mulai dari dirinya dan berbuat. Jika ingin
melarang sesuatu, beliau berhenti darinya“ (Dinukil dari Fiqhud
Dakwah fii Inkaril Munkar, hal. 50).
Jangan sampai menjadi contoh jelek dalam
masyarakat, sehingga termasuk orang yang dicela oleh Allah dalam firmanNya:
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ
وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلَا تَعْقِلُونَ(44)
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan)
kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu
membaca Al-Kitab (Taurat) Maka tidakkah kamu berpikir (QS. Al-Baqarah 2:44)
dan Rasululloh shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ
فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِي النَّارِ فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ
بِرَحَاهُ فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ فَيَقُولُونَ أَيْ فُلاَنُ مَا
شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَانَا عَنِ
الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ وَأَنْهَاكُمْ
عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
Didatangkan pada hari kiamat seorang, lalu
dilemparkan ke neraka, sehingga usus-ususnya keluar di neraka,
lalu dia berputar seperti berputarnya keledai di batu gilingannya. Ahli neraka
berkumpul mengelilinginya, mereka berkata: “Wahai fulan, kenapa kamu ini?
Bukankah dulu engkau berAmar ma’ruf nahi munkar?” dia menjawab:
“Saya dulu berAmar ma’ruf dan saya tidak melaksanakannya
dan mencegah kemunkaran dan saya melakukannya”. (Riwayat al-Bukhori No.
3267dan Muslim No.2989).
Mereka inilah yang dikatakan Ibnul Qayyim: ulama
su’ (ulama jahat), dalam pernyataan beliau :
“Ulama su’ adalah orang yang duduk di pintu
syurga, menyeru manusia ke syurga dengan ucapannya dan menyeru ke neraka dengan
perbuatannya. Setiap kali ucapannya mengajak manusia: ‘kemarilah’. Maka berkata
perbuatannya: ‘Janganlah kalian mendengarkannya; seandainya apa yang mereka
seru adalah kebenaran, tentunya dia orang pertama yang menerimanya.’ Mereka
secara lahiriyah adalah penunjuk kebenaran dan secara hakikat adalah perampok”.
(Ibnul Qayyim, Al Fawaaid, hal 94.`)
Dengan demikian pelaku Amar ma’ruf nahi munkar harus
menjadi teladan baik dalam masyarakatnya. Tentunya hal ini tidak lepas dari
taufiq Allah Subhanahu wa Ta’ala, kemudian tarbiyah yang shohih
Beberapa makalah figh lainnya:
- Al-ahkam al- syariyah
- Jual beli menurut figh
- sholat-menurut-ilmu-figh
- Anak-yatim-versi-figh.
- zakat.
- Harta dan kepemilikan dalam-islam.
-Macam-macam-takbir-ied
Hukum tasharruf distribusi zakat untuk.
Beberapa makalah figh lainnya:
- Al-ahkam al- syariyah
- Jual beli menurut figh
- sholat-menurut-ilmu-figh
- Anak-yatim-versi-figh.
- zakat.
- Harta dan kepemilikan dalam-islam.
-Macam-macam-takbir-ied
Hukum tasharruf distribusi zakat untuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar