A. Latar Belakang
Yang melatar belakangi masalah ini adalah bagaimana kita menyikapi
definisi tentang ma’na hukum yang sebenarnya. Di sini diungkapkan oleh beberapa
ulama ushul fiqh yang dengan pendapatnya masing-masing, di sana kita dapat menyimpulkan arti dari kata
hukum tersebut. Karena Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih,
karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at Islam”; “siapakah yang menentukan hukum syara”, yang
mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu.
Dalam ilmu ushul fiqh, hakim juga disebut dengan syar’i.
Adapun semua itu untuk memahami syari’at Islam yang dibawa
Rasulullah, para ulama ushul fiqh mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu
melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pendekatan maqashid al-syari’ah
(tujuan syar’a dalam menetapkan hukum).
B.
Permasalahan
Tujuan syar’a dalam menetapkan hukum, pendekatannya terdapat pada
upaya menyingkap dan menjelaskan hukum dari suatu kasus yang dihadapi melalui
pertimbangan maksud-maksud syar’a dalam menetapkan hukum.
Karena tidak jarang, perbedaan metode atau teori dalam memahami suatu
dalil, tidak berpengaruh sama sekali terhadap hasil yang dicapai. Karena,
berbagai metode yang digunakan para pakar ushul fiqh, tujuannya hanya satu
yaitu untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh sebab itu, sering ditemui
literature ushul fiqh klasik dan pertengahan ungkapan yang menyatakan “Hal ini
hanya perbedaan lafadz atau penamaan,” atau “pada prinsipnya perbedaan itu
hanya bersifat lafzhi,” sehingga muncul ungkapan, “tidak ada pengaruh dalam
perbedaan istilah.” Perbedaan pendapat merupakan khazanah intelektual para
ulama Islam yang tak ternilai harganya.
Padahal kita pun butuh inti dari perbedaan pendapat tersebut, agar tidak
keliru dalam menetapkan suatu masalah.
Untuk itu kami luruskan dalam makalah ushul fiqh
ini yang memberi pengertian terhadap makna hakim yang akan di tuturkan dalam
makalah ini, agar manusia tidak keliru dalam memaknai maksud dari hakim yang
juga banyak dari pengertian tersebut perbedaan pendapat para ulama. Karena
dengan berkembangnya zaman, manusia semakin tak peduli akan adanya hukum Islam
di dunia. Karena mereka lebih dominan kepada hukum Negara ketimbang hukum
Islam. Maka dari itu insya Allah kami ungkap masalah ini dalam kajian mata
pelajaran ushul fiqh yang berkaitan dengan hakim.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakim
Secara etimologi, hakim ( حاكم ) mempunyai dua pengetrian,
yaitu:
a. الا حكام
ومثبتها ومنشئها ومصدرهاواضع
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan
dan sumber hukum
b. الذى يدرك الأحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها
Yang menemukan, yang menjelaskan,
memperkenalka, dan menyingkapkan hukum
Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul
fiqih, karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam syari’at Islam”; “siapakah yang menentukan
hukum syara”, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi
pelanggarnya selain wahyu. Dalam ilmu ushul fiqh, hakim juga disebut
dengan syar’i.
Dari pengertian di atas, hakim adalah Allah swt. Dialah pembuat
hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf.
- Hakim
Hakim yaitu yang menjadi sandaran hukum (sumber hukum), yang membuat
dan menetapkan hukum. Tidak
ada perbedaan pendapat lagi bahwa hakim itu ialah Allah. Sebagaimana telah
diketahui, bahwa untuk membawa dan menyampaikan hukum kepada manusia, maka hakim
(Allah) mengutus para Rasul sebagai perantara.
Ulama’ berbeda pendapat tentang bagaimana
ketentuan hukum syari’at terhadap perbuatan orang mukallaf. Apakah mungkin
mereka mampu mengetahui tentang baik buruknya sesuatu (hukum Allah) sebelum
sampainya dakwah Rasul hanya dengan menggunakan akal? Ataukah tidak mungkin
bagi akal untuk mengetahui hukum Allah tentang perbuatan orang mukallaf sebelum
sampainya dakwah Rasul? Dalam hal inilah para ulama’
berbeda pendapat, diantaranya:
- Menurut Asy’ariyah, akal tidak memiliki kemampuan untuk
menentukan hukum sebelum turunnya syari’at. Akal hanya mampu menetapkan baik dan
buruk melalui perantaraan Al Quran (wahyu) dan Rasul. Jadi perbuatan orang
mukallaf sebelum sampainya dakwah Rasul, tidak dibebani oleh hukum syari’at
dan baru dihitung sejak sampainya dakwah Rasul kepada mereka.
- Menurut Mu’tazilah,
akal mampu menentukan baik buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya
syara’ meskipun tanpa perantara wahyu. Jadi perbuatan orang mukallaf
sebelum sampainya dakwah Rasul, telah ditetapkan hukumnya oleh akal. Manusia sudah dibebani kewajiban
melakukan perbuatan yang menurut akal baik, maka akan diberi imbalan.
Sebaliknya, sesuatu yang menurut akal itu jelek, maka jelek menurut syara’
dan dilarang mengerjakannya.
- Menurut Maturidiyah, akal tidak berdiri sendiri, namun harus dibarengi dengan nash (wahyu). Dengan kata lain, walaupun akal mampu mengetahui sesuatu itu baik ataupun buruk, namun wahyulah yang menetapkan keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Begitu pula dengan pemberian imbalan dan hukuman.
- Mahkum Fiih
- Pengertian
Mahkum fiih yaitu
perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i (objek hukum).
Misalnya, firman Allah dalam surat
Al An’am:151 yang artinya “Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan
Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar...”. dalam ayat ini
terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu
larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa hak itu hukumnya
haram.
- Syarat-Syarat Mahkum Fiih
Syarat sahnya
suatu taklif (pembebanan hukum) ada 3, yaitu:
- Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan sholat misalnya, sebelum ia tahu persis rukun, syarat, dan cara-cara sholat tersebut.
- Mukallaf harus mengetahui sumber hukum, yakni Allah swt. Sehingga ia melaksanakannya
berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata.
- Perbuatan harus mungkin untuk
dilakukan atau ditinggalkan, dengan syarat:
Pertama, tidaklah sah
suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan,
baik berdasarkan zatnya atau dilihat dari luar zatnya.
Kedua, tidak sah
hukumnya seseorang melakukan perbuatan untuk orang lain.
Ketiga, tidak sah
tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang merupakan fitrah manusia seperti
gembira, marah, takut, dsb karena hal itu berada di luar kendali manusia.
- Mahkum ‘Alaih
- Pengertian
Mahkum 'alaih
yaitu orang mukallaf yang baginya telah dibebankan suatu hukum syari’at. Dengan demikian anak kecil, orang gila,
orang kafir, dan orang yang belum tahu syari’at tidak terbebani hukum syara’.
- Syarat-Syarat Taklif
- Orang itu telah mampu memahami khitab syar’i (tuntutan syar’i) yang terkandung dalam Al Quran dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Hal itu karena orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami tuntutan syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu hukum.
- Seseorang harus mampu dalam bertindak
hukum, dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah.
- Ahliyyah
Ahliyyah adalah
sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan rohaninya,
memiliki kemampuan untuk bertindak, sehingga seluruh perbuatannya dapat dinilai
oleh syara’. Oleh karena itu, kemampuan ini menjadi dasar adanya taklif.
Kemampuan
(ahliyyah) dibagi menjadi dua, yakni:
- Ahliyyah wujub, sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah wujub adala sifat kemanusiaan (tidak dibatasi umur, baligh, akal, dsb.)
Ahliyyah wujub
dibagi menjadi dua, yaitu
- Ahliyyah wujub naqishah, anak yang masih berada dalam
kandungan ibunya. Ada 4 hak bagi janin, hak keturunanan dari ayahnya,
warisan, wasiat, dan harta wakaf.
- Ahliyyah wujub kamilah, bagi anak yang telah lahir hingga
dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti
orang gila.
- Ahliyyah Ada’, sifat kecakapan
bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk
mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Bila perbuatannya sesuai
ketentuan syara’, telah dianggap memenuhi kewajiban dan berhak mendapatkan
pahala. Sebaliknya jika melanggar ketentuan, maka dianggap berdosa. Dan
yang menjadi ukuran penentuan ahliyyah ada’ adalah ‘aqil, baligh, dan
cerdas.
Penutup
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah tersaji dalam
bentuk tulisan ini, maka dapat dikemukakan kesipulan sebagai berikut:
- Hukum merupakan suatu aturan yang
mengatur tingkah laku atau perbuatan orang mukallaf dalam menjalankan
syari’at Islam.
- Sudah tidak perlu diperdebatkan lagi
bahwa hakim ialah Allah swt. Dialah yang merupakan sumber dari segala
hukum, yang mengatur segala urusan dan tata kehidupan manusia.
- Mahkum fiih yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i (objek hukum). Dan untuk bisa menjadi objek hukum, memiliki beberapa syarat tertentu yang harus dipenuhi. Sehingga akan benar-benar jelas dalam pelaksanaannya.
- Mahkum ‘alaih yaitu orang mukallaf yang baginya telah
dibebankan suatu hukum syari’at. Dengan demikian anak kecil, orang gila, orang kafir, dan orang yang
belum tahu syari’at tidak terbebani hukum syara’.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar