BAB I
Pendahuluan
1.
Latar
belakang
Manusia membutuhkan pedoman atau panduan untuk
mengatur tata laku kehidupannya. Pedoman itu menentukan perbuatan yang boleh
dan tidak boleh dilakukan. Sebagai umat Islam, pedoman itu kita dapat dari
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kita wajib mentaatinya. Al-Qur’an adalah sumber pokok
hukum Islam yang pertama dan As-Sunnah berfungsi untuk memperkuat, memperjelas
dan menetapkan yang belum disebut dalam Al-Qur’an. Rasulullah SAW menjadi
uswatun hasanah bagi kita.
Al-Qur’an mengandung hukum-hukum yang kebanyakan
bersifat universal. Hukum suatu masalah kadang berada di beberapa surat dan
ayat yang berbeda. Misalnya, hukum pernikahan terdapat pada surat Al-Baqarah,
surat Ath-Thalaq dan lain-lain sehingga kadang hukum-hukum dalam Al-Qur’an
tidak mudah dipahami.
Ketika
nabi Muhammad SAW masih ada, setiap muncul masalah baru atau para sahabat
kesulitan mamahami kandungan Al-Qur’an, mereka langsung bertanya kepada
Rasulullah SAW. Begitu juga pada masa sahabat dan tabiin, hal itu masih mudah
dilakukan.
Ketika
Islam sudah tersiar keluar negara Arab, tidak semua orang dengan mudah memahami
Bahasa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Di sinilah Islam memberi ruang bagi akal
manusia untuk menafsirkannya. Beruntunglah kita pada awal abad pertama banyak
fatwa Imam Abu Hanifah (80-150 H) tentang kaidah-kaidah memahami ayat-ayat
Al-Qur’an dan As-Sunnah
Salah seorang muridnya yang bernama Abu Yusuf pernah
mencatatkan fatwa-fatwa itu yang kemudian dikenal sebagai aggaran Ushul Fiqih.
Pada abad kedua, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I (150-204H) termasyhur
sebagai yang pertama menyusun Ushul Fiqih secara sempurna. Catatan-catatan itu
sampai sekarang tetap terpelihara dalam kitab Ar-Risalah. Sehingga meskipun
muncul masalah baru yang belum ditentukan hukumnya dalam Al-Qur’an dan
As-Sunnah, kita akan lebih mudah menentukannya untuk kemaslahatan kehidupan
manusia.
2.
Rumusan
masalah
1) Apa
pengertian dari hokum syar’i?
2) Bagaimana
pembagian hokum syar’i menurut ushul figh?
3) Apa
pengertian hukum Taklifi dan pembagiannya?
4) Apa
pengertian hukum Wadh’i dan pembagiannya?
3.
Tujuaan
1) Untuk
mengetahui pengertian hokum menurut ushul figh tentunya.
2) Mendiskripsikan
pembagian hokum.
3) Untuk
mengetahui pengertian hukum Taklifi dan pembagiannya.
4) Untuk
mengetahui pengertian hukum Wadh’i dan pembagiannya.
BAB II
Pembahasan
A.
Hukum
syar’i
Pengertian secara bahasa adalah :
اِثْباَتُ شَيءٍ الِىَ شَيءٍ
“Menetapkan
sesuatu atas sesuatu, atau memindahkan sesuatu daripadanya.”
Syar’i
atau syari’at dari segi bahasa berarti jalan,[1]
sedangkan menurut istilah Ahli Ushul Fiqih, hukum ialah :
خِطَابُ اللهِ اْلمُتَعَلِّقُ بِأَفْعَالِ الْمُكَلِّفِيْنَ
طَلَبًا اَوْ تَخْيِيْرًا اَوْ وَضْعًا
“Khitab
(titah) Allah atau sabda Nabi Muhammad SAW yang berhubungan dengan perbuatan
mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik tuntutan )suruhan,
larangan( atau takhyir (pilihan mengerjakan atau meninggalkan), atau Wadh’i
(menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang bagi suatu hukum.)”
Berdasar definisi ini,Ulama Ushul Fiqih membagi
hukum syariat menjadi dua macam, yaitu hukum Taklifi (thalaban wa
takhyiran) dan Wadh’i.
B.
Klasifikasi
hukum syar’i
1. Hukum Taklifi
Pengertian hukum Taklifi adalah :
كَلِّفِيْنَ المُكَلِّفِيْنَ بِأَفْعَالِ بِأَفْعَالِ المُتَعَلِّقُ
الشَرْعِ خِطَابُ اقْتَضَاه مَا تَخيِيْرٍ اَوْ طَلَبٍ مِنْ
(عَنْهُ وَالتَّرْكِ
لفِعْلِ ا بَيْنَ )
“Hukum
yang menetapkan tuntutan melakukan sesuatu, atau tuntutan meninggalkan sesuatu,
atau pilihan melakukan atau meninggalkan sesuatu, kepada seorang mukallaf.”
Maka
hukum Taklifi ada tiga yakni:
1) tuntutan melakukan,
2)
tuntutan meninggalkan,
3)
pilihan: melakukan atau meninggalkan
Contoh
hukum Taklifi:
a. Tuntutan
mengerjakan suatu perbuatan : berpuasa pada bulan Ramadhan. QS Al Baqarah :
183.
$ygr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6øn=tæ ãP$uÅ_Á9$# $yJx. |=ÏGä. n?tã úïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS Al-Baqarah/2 : 183)
b. Tuntutan
meninggalkan suatu perbuatan : Berkata tidak sopan kepada orang tua.
…فَلَا تَقُلْ لَهُمَا
أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا ….
…Maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka… (QS Al-Isra’/17 : 23)
Macam- macam hukum Taklifi
WAJIB ( Iijab)
ialah tuntutan syarak ke atas mukallaf supaya
melakukan sesuatu perbuatan dengan tuntutan pasti (jazmun). Sekiranya tidak
dilaksanakan, dia akan berdosa. Jika dilaksanakan mendapat pahala. Contohnya
solat lima waktu.
Firman
Allah SWT :
"Dirikanlah
solat dan keluarkan zakat".
Ayat di atas menjelaskan bahawa solat dan zakat itu
adalah WAJIB kerana ia satu bentuk tuntutan yang pasti (jazmun) iaitu
berdasarkan dalil qat'i, al-Quran al-Kariim.
Para
ulama' mazhab Hanafi membezakan di antara wajib dan fardhu. Jika tuntutan
supaya melakukan sesuatu dalam bentuk pasti (jazmun) berdasarkan al-Quran dan
Hadis Mutawatir, maka ia dinamakan FARDHU. Jika berdasarkan dalil-dalil lain,
selain drp al-Quran dan Hadis, maka ia dinamakan WAJIB.
Contohnya,
membaca mana-mana surah dalam solat adalah FARDHU kerana ia berdasarkan dalil
qat'i iaitu al-Quran. Sementara membaca surah al-Fatihah pula adalah wajib
kerana ia berdasarkan dalil yang zanni iaitu HADIS AHAD.
HARAM
ialah tuntutan syarak supaya meninggalkan sesuatu
perbuatan dengan tuntutan pasti (jazmun). Sekiranya seseorang mukallaf itu
melakukannya, dia akan berdosa. sebaliknya jika ditinggalkan berdosa.
Contohnya,
larangan mengumpat.
Firman
Allah SWT;
."..
dan janganlah sebahagian drp kamu mengumpat sebahagian yang lain" ayat 12
surah al-Hujarat
Ayat
di atas menjelaskan bahawa mengumpat itu adalah HARAM kerana ia satu bentuk
tuntutan yang pasti (jazmun) iaitu berdasarkan dalil qat'i, al-Quran al-Kariim.
MAKRUH
Sesuatu perkara yang mana lebih afdhal (utama)
ditinggalkan dari dilakukan atau apa yg
dituntut oleh syarak kepada setiap mukallaf supaya ditinggalkan (bukan dgn ilzam), di mana lafaz adalah lafaz benci larangan tetapi terdapat qarinah yang
menunjukkan ia bukanlah haram, tetapi Makruh.
Contoh.
1. Wahai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu menanyakan (kepada Nabimu) hal-hal yang jika diterangkan kepadamu akan
menyusahkan kamu dan jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan,
niscaya akan diterangkan kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu.
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Al-Maidah : 101.
Qarinah daripada hukum Haram kepada hukum
Makruh berdasarkan..
Dan
jika kamu menanyakan di waktu Al Quran itu diturunkan, niscaya akan diterangkan
kepadamu, Allah memaafkan (kamu) tentang hal-hal itu. Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyantun. Al-Maidah : 101.
Hukum
Makruh ialah pembuatnya tidak berdosa, tetapi hanya dicela. Sesiapa yang
meninggalkannya (tidak membuat perkara tersebut) akan mendapat pahala dan
pujian drp Allah SWT.
HARUS
Sesuatu
perkara yang mana Syarak telah memberi pilihan kepada setiap mukallaf sama ada
untuk melakukannya atau meninggalkannya. Tidak ada pujian dan celaan kepada
sesiapa yang melakukannya atau
meninggalkannya… jadi hukumnya adalah HALAL.
Contohnya…
Pada hari Ini
dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi
Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan
dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan[402] diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu Telah membayar mas
kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak
(pula) menjadikannya gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman
(Tidak menerima hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari
kiamat termasuk orang-orang merugi. Al-Maidah ; 5
Dan tidak ada
dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui
bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu
mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf dan janganlah kamu ber'azam
(bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan Ketahuilah
bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah
kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.
Al-Baqarah : 235
Tidak ada
halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang pincang, tidak (pula) bagi
orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka)
dirumah kamu sendiri atau dirumah bapak-bapakmu, dirumah ibu-ibumu, dirumah
saudara- saudaramu yang laki-laki, di rumah saudaramu yang perempuan, dirumah
saudara bapakmu yang laki-laki, dirumah saudara bapakmu yang perempuan, dirumah
saudara ibumu yang laki-laki, dirumah saudara ibumu yang perempuan, dirumah
yang kamu miliki kuncinya[1051] atau dirumah kawan-kawanmu. tidak ada halangan
bagi kamu makan bersama-sama mereka atau sendirian. Maka apabila kamu memasuki
(suatu rumah dari) rumah- rumah (ini) hendaklah kamu memberi salam kepada
(penghuninya yang berarti memberi salam) kepada dirimu sendiri, salam yang
ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi berkat lagi baik. Demikianlah Allah
menjelaskan ayat-ayatnya(Nya) bagimu, agar kamu memahaminya. An-Nuur : 61
SUNAT (MANDUB)
Apa yang
dituntut oleh syarak utk melakukannya dengan lafaz tidak jazmun (tidak
qat'ie), iaitu dengan memuji org yang
melakukannya dengan mengurniakan pahala, tidak mencela dan tidak berdosa org
yang meninggalkannya.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Al-Baqarah : 282.
Lafaz di atas menunjukkan lafaz tuntutan yang
pasti (jazmun) tetapi terdapat qarinah ….
. …..
Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) Al-Baqarah : 283
Nas al-Quran di atas (al-Baqarah : 283)
menunjukkan bahawa tuntutan untuk menulis/mencatat hutang adalah Sunat (Mandub)
bukannya Wajib.
"hendaklah kamu buat perjanjian dengan
mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka". An-Nuur : 33.
Ayat
di atas juga menunjukkan TIDAK WAJIB menulis/membuat perjanjian dengan adanya
Qarinah berdasarkan kaedah syarak “Sesungguhnya pemilik harta mempunyai
kebebasan dalam mengurus/membelanjakan hartanya”
2. Hukum Wadh’i
Allah SWT
menjadikan syariat itu kabar gembira dan kemudahan bagi hambanya, dari keadaan
yang lemah, dan segala urusan yang darurat. Hukum Wadh’ie sebagaimana telah
disebutkan dalam kitab Al-wadhih, fii Usulil Fiqih,yang ditulis oleh Muhammad
Sulaiman Abdullah al-Assqar. Bahwasannya titah Allah SWT dalam kitabnya, dengan
menjadikan sebuah perintah, sebagai tanda atas perintah yang lainnya.
Adapun menurut pendapat yang lainnya,dalam buku
Ushul Fikih Bagi Pemula yang ditulis oleh; Abdul Mughits, M.Ag hukum Wadh’ie
adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab)
dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara
penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan
hukum yang tidak sah.
3. Macam-macam Hukum Wadh’i
1. Sebab (al-Sabab)
Sabab yang dalam bahasa Indonesia disebut “sebab’,
secara etimologis, artinya adalah “sesuatu yang memungkinkan dengannya sampai
pada suatu tujuan. “dari kata inilah dinamakan “jalan”, itu sebagai sabab,
karena “jalan” bisa menyampaikan seseorang kepada tujuan. Menurut terminoogi,
Imam al-Amidi, mendefinisikan dengan sifat Zhahir yang dapat diukur yang
ditunjukkan oleh dalil Sam’I (al-Qur’an dan sunnah) bahwa keberadaannya sebagai
pengenal bagi hukum syari’.
Sedangkan menurut Prof.DR. Rachmat Syafii, M.A dalam
bukunya Ilmu Ushul Fiqih, bahwa Sebab menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat
menyampaikan kepada sesuatu yang lain berarti jalan yang dapat menyampaikan
kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah adalam suatu sifat yang dijadikan sari’
sebagai tanda dari hukum. [2]
Pengertian ini menunjukan bahwa sebab sama dengan
Illat walaupun sebenarnya ada perbedaan antara sebab dengan Illat tersebut.
Akan tetapi tidak setiap sebab disebut Illat. Jadi sebab itu masih bersifat
umum sedangkan Illat itu sudah bersifat khusus. Contoh dari adanya sebab
sesuatu adalah sebagaiman Allah SWT berfirman;
$pkr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä #sÎ) óOçFôJè% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qè=Å¡øî$$sù
Nä3ydqã_ãr öNä3tÏ÷r&ur n<Î) È,Ïù#tyJø9$# (#qßs|¡øB$#ur öNä3ÅrâäãÎ/ öNà6n=ã_ör&ur n<Î) Èû÷üt6÷ès3ø9$# 4
Artinya; Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan
siku,… (Al-Maidah:6)
Adapun secara terminologi al-sabab adalah sesuatu
yang dijadikan oleh Syari’ untuk mengetahui hukum syariat tertentu, artinya
hukum syariat tersebut akan muncul jika al-sabab tersebut ada, sebaliknya hukum
syariat akan hilang dengan tidak adanya al-sabab tersebut. Seperti firman Allah
Swt. dalam surat al-Isra`:
ÉOÏ%r& no4qn=¢Á9$# Ï8qä9à$Î! ħôJ¤±9$# 4n<Î) È,|¡xî È@ø©9$# tb#uäöè%ur Ìôfxÿø9$# ( ¨bÎ) tb#uäöè% Ìôfxÿø9$# c%x. #Yqåkô¶tB ÇÐÑÈ
Artinya:
Dirikanlah salat dari sesudah matahari tergelincir. (QS. Al-Isrâ`: 78)
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa condongnya
matahari menjadi al-sabab adanya kewajiban salat dzuhur.
2. Syarat (al-Syarthu)
Syarat adalah sesuatu yang berada di luar hukum
syari’, tetapi keberadaan hukum syara’ bergantung kepadanya. Apabila syarat
tidak ada maka hukum pun tidak ada, tetapi adanya syarat tidak mengharuskan
adanya hukum syara’. Contohnya seperti ketika kita akan melaksanakan shalat,
maka syarat yang harus dipenuhi adalah berwudhu. Akan tetapi ketika kita
berwudhu, kita tidak harus melaksanakan shalat.
Macam-macam
Syarat
1) Dilihat dari segi hubungannya dengan al-sabab dan
al-musabbab, al-syarthu dibagi menjadi dua macam:
Al-Syarthu
yang menjadi pelengkap al-sabab, artinya al-syarthu menguatkan akan makna sebab
akibat (al-sababiyyah) yang terdapat dalam hukum tersebut. Sebagai contoh,
penjagaan harta benda adalah syarat untuk melaksanakan hadd dalam pencurian.
Al-Syarthu
yang menjadi pelengkap al-musabbab, artinya menguatkan hakikat al-musabbab atau
rukunnya. Sebagai contoh, menghadap kiblat menjadi syarat sahnya salat.
3. Pencegah (Al-Mani’)
Definisi al-mani’ secara etimologi berarti
“penghalang dari sesuatu”. Secara terminologi; sesuatu yang ditetapkan syariat
sebagai penghalang bagi adanya hukum atau penghalang bagi berfungsinya sesuatu
sebab. Sebuah akad perkawinan yang sah karena telah mencukupi syarat dan
rukunnya adalah sebagai sebab waris mewarisi. Tetapi masalah waris mewarisi itu
bisa terhalang di sebabkan suami misasnya membunuh istrinya.
Macam-macam
al-Mani’
Al-Mâni’
terbagi menjadi dua macam:
Mâni’ al-hukmi, yaitu al-mani’ yang dapat
menghilangkan suatu hukum syariat. Seperti tidak berlakunya qishâsh bagi
seorang ayah yang telah membunuh anaknya.
Mani’ al-sabab, yaitu al-mani’ yang dapat
menghilangkan al-sabab yang telah memunculkan suatu hukum syariat. Seperti
mengurangi nisab dalam zakat yang menjadi al-mâni’ dari kewajiban zakat.
4. Sah (Al-Shihhah)
As-sihhah adalah suatu hukum yang sesuai dengan
ketentuan syari’ yaitu terpenuhinya sebab, syarat dan tidak ada mani’.
Misalnya, mengerjakan shalat duhur setelah tergelincir matahari (sebab) dan
telah berwudu (syarat), dan tidak ada halangan bagi orang yang mengerjakannya
(tidak haid, nifas, dan sebagainya). Dalam hal ini, pekerjaan yang dilaksanakan
itu hukumnya sah.
Daripenjelasan di atas bahwa As-sihhah adalah
apabila kita akan mengerjakan sesuatu dikatakan sah apabila sudah ada sebab dan
syarat itu terpenuhi, dan tidak ada penghalang dari kedua hal tersebut.
5. Batal (al-Buthlan)
al-Buthlan adalah sesuatu yang dilakukan atau hal
yang diadakan oleh orang mukallaf yang tidak sesuai dengan tuntunan syara’
adalah tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum, baik tidak sahnya itu karena
cacat pada rukun, maupun tidak terpenuhi syarat-syarat yang diperlukan dan baik
dalam soal ibadah, maupun dalam soal mu’amalah. Maka atas dasar ini sebagian
para ahli ushultidak membedakan antara pengertian Bathil dan Fasid.
Jadi al-Buthlan adalah sesuatu perbuatan yang tidak
disyariatkan oleh Islam, oleh sebab itu segala perbuatan yang tidak
disyariatkan Islam adalah batal, seperti halnya; Memperjualkan minuman keras,
Narkoba. Akad ini dipandang batal , karena minuman keras dan narkoba tidak
bernilai harta dalam pandangan syara.
6. Al-‘Azimah
Secara etimologi ‘azimah berarti al-iradah
al-muakkidah atau al-qashdu al-muakkid, yaitu keinginan yang kuat.akan tetapi
Azimah dalam hukum-hukum yang disyariatkan Allah kepada hamba-hambanya sejak
semula. Jadi Azimah adalah peraturan yang telah ditetapkan oleh Allah sejak
dulu (asli) yang berlaku umum.
Adapun secara terminologi ‘azimah berarti hukum
syariat bagi sorang mukallaf yang berlaku dalam segala situasi dan kondisi.
Seperti kewajiban salat, zakat, puasa, dan lain-lain.
Misalnya bangkai, menurut aslinya, adalah haram
dimakan oleh semua orang mukallaf . akan tetapi bagi orang yang dalam keadaan
terpaksa, ia diperkenankan untuk memakannya, asal tidak berlebih-lebihan
ataudengan maksud untuk menentang ketentuan Allah. Haram memakan bangkai itu
azimah, sedangkan boleh memakan bangkai itu adalah rukhsah.
7. al-Rukhshah
Al-rukhsah ialah ketentuan yang disyaruatkan oleh
Allah sebagai peringatan terhadap orang mukallaf dalam hal-hal yang khusus.
Secara etimologi rukhshah berarti al-suhulah dan al-yusru, atau al-tashil dan
al-taisir yang berarti memudahkan atau meringankan. Adapun secara terminologi
rukhshah adalah hukum syariat yang telah ditetapkan oleh Syari’ sebagai
peringanan beban bagi seorang mukallaf dalam kondisi tertentu, atau hukum
syariat yang ditetapkan karena adanya halangan atau masyaqqah dalam keadaan
tertentu.
Macam-macam
Rukhshah
Pembolehan sesuatu yang haram pada waktu darurat
atau terpaksa. Seperti makan bangkai atau makanan yang diharamkan syariat
ketika dalam keadaan sangat lapar, tidak ada makanan lain, dan takut akan
kematian.
Pembolehan
meninggalkan kewajiban. Seperti berbuka puasa bagi seorang musafir atau seorang
yang sedang sakit di bulan ramadhan dikarenakan adanya masyaqqah.
Pembolehan
suatu akad muamalat yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti akad jual beli
pemesanan. Pada dasarnya akad jual beli pemesanan tidak diperbolehkan, karena
barang yang dibeli tidak ada ketika akad berlangsung. Syâri’ telah
membolehkannya karena adanya kebutuhan manusia dan telah menjadi hukum
kebiasaan yang telah berlaku.
BAB III
Penutup
Simpulan
Berdasarkan makalah diatas kami dapat menyimpulkan
bahwa hukum Taklifi adalah Hukum yang menetapkan tuntutan melakukan
sesuatu, atau tuntutan meninggalkan sesuatu, atau pilihan melakukan atau
meninggalkan sesuatu, kepada seorang mukallaf.
Macam
– macam hukum Taklifi
1. Wajib
2. Haram
3. Makruh
4. Harus
5. Sunnat
hukum
Wadh’ie
adalah hukum yang berhubungan dengan dua hal, yakni antara dua sebab (sabab)
dan yang disebabi (musabbab), antara syarat dan disyarati (masyrut), antara
penghalang (mani’) dan yang menghalangi (mamnu), antara hukum yang sah dan
hukum yang tidak sah.
Macam- macam huku
Wadh’i
1. Sebab
(al-Sabab)
2. Syarat
(al-Syarthu)
3. Pencegah
(Al-Mani’)
4. Sah (Al-Shihhah)
5. Batal
(al-Buthlan)
6. Al-‘Azimah
7. Al-Rukhshah
Daftar pustaka
-
Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqih; Sejarah Dan Kaidah Asasi. Jakarta: Grafindo
-
Abu
Zahrah Muhammad Prof, Ushul Fiqih, (Jakarta;2005), Pustaka Firh.
-
http://opickel-fadl.blogspot.com/2011/05/makalah-hukum-wadhi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar