Zakat
dalam syariat Islam dibagi dua macam, yaitu Zakat badan (Zakat
fithrah) dan Zakat harta (Zakat mal). Zakat adalah satu-satunya
ibadah yang tidak hanya berdimensi mahdlah (vertikal), yaitu hubungan
antara Allah dengan manusia, namun juga berdimensi muamalah (horizontal), yaitu
hubungan antar sesama manusia. Artinya, Zakat bisa digolongkan ke dalam
kajian fiqh ibadah dan fiqh muamalah. Zakat bisa masuk dalam bahasan fiqh
ibadah, karena memang syariat (al-Qur’an dan Hadits) telah mengatur secara
rinci dan jelas. Dalam Zakat mal misalnya, sudah diatur
dengan jelas; siapa yang wajib Zakat (muzaqqi); siapa yang
berhak menerima Zakat (mustahiq); harta apa saja yang harus dikeluarkan
Zakatnya
(amwâl al-zakâh); berapa jumlah atau kadar minimal harta yang wajib Zakat
(nishâb); berapa bagian yang dikeluarkan dari
masing-masing harta Zakat (nisbah al-zakâh); kapan harta wajib dikeluarkan
Zakatnya
(haul).
Namun dari sisi lain, Zakat lebih tepat bernuansa
muamalah (sosial), karena peran, fungsi dan manfaat Zakat yang lebih dominan
bersingungan dengan sesama manusia (masyarakat). Karena berperan sebagai sarana
pemerataan ekonomi, perekat kasih sayang dan kepedulian si kaya kepada si miskin,
bahkan bisa membuka peluang lapangan pekerjaan baru dengan Zakat produktif misalnya
dan lain-lain. Teks-teks tentang aturan main Zakat sangat terbatas dan
tidak mungkin berubah, karena wahyu sudah terhenti dengan wafatnya Nabi
Muhammad SAW. Sedangkan peradaban manusia terus bergerak dinamis
mengalami perubahan dari masa ke masa. Misalnya pada aspek amwâl
al-zakâh, keberadaan mata uang yang terbuat dari emas (dinâr)
dan perak (dirham) pada masa modern sudah tidak ditemukan lagi, bahkan
ada beberapa surat berharga yang bernilai sama seperti uang yang belum ada pada
masa Nabi Muhammad SAW dan imam-imam mujtahid fiqh dan masih banyak lagi.
Begitu juga bentuk-bentuk pekerjaan atau profesi; dahulu hanya pedagang dan
petani tetapi sekarang banyak profesi-profesi baru yang menghasilkan keuntungan
finansial seperti halnya pedagang dan petani bahkan terkadang lebih besar
keuntungannya, seperti dokter, pegawai negeri sipil atau swasta dan lain-lain.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para ulama kontemporer melakukan
ijtihad-ijtihad mu’âshir (kontemporer) dalam bidang Zakat
untuk menjawab perubahan fiqh Zakat masyarakat Islam. Antara lain
adalah fatwa wajibnya Zakat profesi bagi para pegawai
negeri atau swasta oleh beberapa ulama kontemporer, seperti Muhammad
al-Ghazâlî, Yusuf al-Qardlâwî, Wahbah al-Zuhaylî dan lain-lain. Walau antara
Muhammad al-Ghazâlî dengan Yusuf al-Qardlâwî dan Wahbah al-Zuhaylî ada
perbedaan cara pandang dalam mengambil qiyâs (analog) terhadap dasar
pertimbangan wajibnya Zakat profesi, yaitu “apakah
diqiyaskan kepada Zakat perdagangan atau Zakat pertanian?” Para ulama
kontemporer, baik nasional atau internasional belum mencapai kata sepakat atau ijmâ’
tentang wajibnya Zakat profesi.
Begitu juga ijtihad ulama kontemporer tentang pemaknaan ulang akan maksud
dari salah satu ashnaf (golongan penerima) Zakat, yaitu “fi sabilillah”,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Taubah: 60;
إنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا
وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ
اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya Zakat-Zakat itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus Zakat, Para mu’allaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk
jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”
Dari ayat di atas semaua ulama telah sepakat bahwa yang berhak menerima Zakat
itu ada 8 golongan, Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya,
tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang
miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3.
Pengurus Zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan
membagikan Zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan
orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. budak yang sedang
berusaha mengumpulkan uang untuk memerdekakan dirinya sendiri, mencakup
juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang
berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan pokok (kebutuhan
primer) yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang
berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan Zakat,
walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk
keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang
berpendapat bahwa “fi sabilillah” itu mencakup juga kepentingan-kepentingan
umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang
sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya. Untuk zaman sekarang sudah bisa dipastikan tidak ada lagi budak
dan perbudakan maka ashnaf Zakat berkurang menjadi 7 golongan
saja.
Namun definsi dari tiap-tiap golongan di atas masih kita dapati perbedaan
pendapat antara sesama ulama klasik apalagi antara ulama klasik dan kontemporer
yang salah satunya adalah kata “fi sabilillah (di jalan Allah)”. Dalam
literatur kitab-kitab fiqh klasik, hampir semua ulama berpendapat bahwa yang di
maksud “fi sabilillah” adalah para pejuang perang (tentara) muslim yang sedang
membela agama dan berperang melawan orang-orang kafir, tapi bagi tentara yang
sukarela saja yang berhak dapat Zakat. Sedangkan tentara yang resmi
mendapat gaji dari pemerintah muslim, tidak berhak mendapat Zakat,
karena ia sudah dapat gaji dari pemerintah (begitupun untuk amil; hanya amil
yang tidak dapat gaji dari pemerintah yang berhak dapat Zakat).
Berbeda dengan pendapat sebagian besar ulama kontemporer, seperti syekh
Yusuf al-Qardlâwî dalam bukunya “fiqh al-zakah” berpendapat bahwa: memaknai “fi
sabilillah” hanya kepada tentara adalah terlalu mempersempit maksud dan tujuan Zakat
untuk kemaslahatan umum atau jalan Allah, di samping itu untuk masa sekarang
sulit di temukan perang atas nama agama dan juga jarang di temukan tentara
sukarela. Maka beliau berpendapat maksud dari kata “fi sabilillah” itu tidak
hanya untuk tentara sukarelawan saja, namun semua bentuk ibadah yang berdimensi
“fi sabilillah” seperti guru ngaji, kemaslahatan atau beaya pembangunan masjid
atau madarsah dll. Karena kata “fi sabilillah” dalam ayat di atas
adalah general (mutlaq) dan tidak muqayyad (tidak di-spesifikasikan/dibatasi)
dengan kata penjelas lain, yaitu mujahid atau jund yang berarti tentara, maka
ketika kata dalam nash al-Qur’an itu mutlaq, hendaknya tidak dibatasi atau
dipersempit.
Oleh karena, dalam menanggapi pertanyaan di atas saya secara pribadi lebih
setuju dengan pendapat sebagain besar ulama kontemporer yang tidak mempersempit
kata “fi sabilillah” dan tidak hanya memberikan Zakat untuk tujuan
konsumtif saja, namun Zakat juga bisa diperuntukan untuk
tujuan produktif, seperti Zakat untuk modal usaha atau bangun
masjid/madrasah. Karena memberikan Zakat secara produktif lebih berarti
dan maslahat dari pada secara konsumtif yang habis begitu saja dipakai
makan-minum. Hanya saja Zakat yang bisa bernilai produktif
itu terbatas pada Zakat mal (harta) dan bukan Zakat badan (fithrah).
Karena Zakat fithrah yang terbaik (bahkan yang sah dalam mazhab Imam
Syafi’i) dengan makanan pokok dan bukan dengan uang. Namun perlu diingat,
penggunaan Zakat mal untuk produktif atau bangun masjid/madrasah tidak
boleh dihabiskan semua untuk satu kepentingan saja. Karena mazhab Syafi’i
berpendapat; distribusi Zakat itu harus minimal kepada tiga
golongan dari delapan ashbaf yang tiap-tiap ashnaf minimal harus tiga orang.
Hal ini dikarenakan dalam ayat di atas menggunakan kata jamak (plural), yaitu
shadaqât (jamak dari shadaqah) dan fuqarâ (jamak dari faqir), dst, sedangkan
kata jamak itu minimal untuk tiga orang. Wallahu a’alam bi al-shawab.
Malang, 11-8-2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar