BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Jual Beli menurut bahasa,
ialah menukarkan sesuatu dengan sesuatu. Menukarkan barang dengan barang
dinamai Jual Beli menurut bahasa sebagaimana
menukarkan barang dengan uang. Salah satu dari dua hal yang ditukar tadi
dinamai mabi’
(barang yang diJual) dan yang lain disebut tsaman (harga). Dilihat dari
segi bahasa tiada bedanya antara barang yang diJual dan harga, apakah
kedua-duanya itu suci ataupun najis.
Akad maupun Jual-Beli tak bisa lepas dari
kehidupan sehari-hari, karena dua hal tersebut merupakan salah satu kebiasaan
yang biasa kita lakukan, contohnya transaksi atau Jual-Beli yang dilakukan di
tengah masyarakat, sekolah dan sebagainya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, pasti
ada kalanya transaksi Jual-Beli disalahgunakan,
berbagai kasus yang kita jumpai di tengah masyarakat, seperti misalnya pedagang
ayam yang menJual ayam dagangannya kepada pemBeli. Biasanya pada hal
ini para pedagang menyalahgunakan rukun maupun syarat-syarat yang ada pada Jual-Beli
itu sendiri.
Untuk itu, pada kesempatan kali ini
kami sebagai kelompok yang mendapatkan tugas untuk membahas tentang akad dan Jual-Beli,
akan sedikit menyampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan
transaksi Jual Beli, di antaranya tentang definisi
dari akad maupun Jual-Beli, macam-macam akad dan Jual-Beli,
rukun akad dan Jual-Beli, hikmah diadakannya Jual-Beli
dan sebagainya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah definisi dari akad dan Jual-Beli?
2.
Sebutkan Rukun akad dan Jual-Beli?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud
dengan akad dan Jual-Beli.
2.
Agar pembaca dapat mengetahui rukun dari akad dan Jual-Beli.
BAB II
PEMBAHASAN
JUAL-BELI ATAU TRANSAKSI
A. AKAD (Transaksi)
1.
Pengertian Akad
Akad
(Arab : al-akdu = perikatan,
perjanjian dan pemufakatan). Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan
kabul (pernyataan penerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang
berpengaruh pada obyek perikatan. Demikian dijelaskan dalam Ensiklopedi Hukum
islam.
Semua
perikatan (transaksi) yang dilakukan
oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan
kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain,
transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh orang.
Mustafa
az-Zarqa’ menyatakan, bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas
dua bentuk, yaitu :
a.
Tindakan berupa perbuatan
b.
Tindakan berupa perkataan
Kemudian tindakan yang berupa perkataan, terbagi lagi kepada
dua, yaitu tindakan yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.
Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi, bila
dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian.
Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad, terbagi atas dua
bagian, yaitu :
1)
Ada menganduk kehendak pemilik untukmenetapkan melimpahkan
hak, membatalkannya, atau menggugurkannya, seperti waqaf, hibah dan talak.
Akad semacam ini tidak memrlukan kabul, sekalipun tindakan
seperti ini, oleh sebagian ulama fiqih termasuk akad. Oleh ulama Mazhab Hanafi
dikatakan, bahwa tindakan seperti ini, hanya mengikat pihak yang melakukan ijab
saja.
2)
Tidak ada mengandung kehendak pihak yang
menetapka atau menggugurkan suatu hak, tetapi perkataannya itu memunculkan
suatu tindakan hukum, seperti halnya gugatan yang diajukan kepada hakim dan
pengakuan seseorang di depan hakim (pengadilan). Tindakan semacam ini berakibat
timbul sesuatu ikatan secara hukum, tetapi sifatnya tidak mengikat. Oleh sebab
itu, ulama fiqih menetapkan, bahwa tindakan semacam ini, tidak dapat dikatakan
akad, karena tindakan tersebut tidak mengikat siapapun.
2.
Rukun Akad
Menurut Jumbur
(mayoritas) fukaha, rukun akad terdiri dari :
a.
Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah
al-aqd)
b.
Pihak-pihak yang berakad
c.
Obyek akad
Ulama
Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad itu hanya satu yaitu : shigah al-aqd, sedangkan pihak-pihak
yang berakad dan objek akad, tidak termasuk rukun akad, tapi syarat akad.
Sighah al-aqd
dinyatakan melaui ijab dan kabul, dengan suatu ketentuan:
1)
Tujuan akad itu harus jelas dan dapat di pahami.
2)
Antara ijab dan Kabul harusl dapat kesesuaian.
3)
Pernyataan ijab dan kabul itu harus sesuai
dengan kehendak masing-masing, dan tidak boleh ada yang meragukan.
Ijab dan kabul dapat dalam bentuk perkataan, perbuatan,
isyarat dan tulisan (biasanya transaksi yang besar nilainya). Namun, semua
bentuk ijab dan kabul itu mempunyai nilai kekuatan yang sama.
Contoh ijab kabul dalam perbuatan adalah seperti yang
terjadi di pasar swalayan. Seseorang mengambil barang, sesudah membayar
harganya kepada kasir sesuai dengan harga yang tercantum pada barang tersebut.
Kehendak penJual dan pemBeli sudah terpenuhi. Cara seperti
inilah sekarang yang sering kita jumpai di dunia dagang pada saat ini. Di dalam
fiqih Jual Beli semacam ini disebut : mab’ulma’atoh (Jual Beli dengan saling
memberi).
Ulama Maazhab Syafi’i dalam qaum qadim (pendapat lama) tidak
mwmbenarkan akad seperti ini, karena kedua belah pihak harus menatakan secara
jelas mengenai ijab dan kabul itu. Demikian juga Mazhab az-Zahiri dan syi’ah,
tidak membenarkannya. Namun jumur ulama fiqih, termasuk Mazhab seperti ini,
karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat sebagian besar umat islam.
Menurut Mustafa az-Zarqa’ suatu akad di pandang sempurna,
apabila telah memenuhi syarat-syarat yang disebutlan diatas. Namun, ada
akad-akad yang baru di pandang sempurna, apabila telah dilakukan timbang
terima, dan tidak memadai hnaya dengan ijab dan kabul saja, yang disebut dengan
al-uqud al-‘ainiyyah.
Akad semacam ini ada lima macam yaitu hibah, pinjam
meminjam, barang titipan, perserikatan dalam modal dan jaminan. Menurut ulama fiqih kelima macam akad
(transaksi) tersebut, harus diserahkan kepada yang berhak dan dikuasai
sepenuhnya, dan tidak boleh terlepas dari tanggung jawab.
3.
Syarat Umum Akad
Para ulama fiqih menetapkan, ada beberapa syarat umum yang
harus di penuhi dalam suatu akad, disamping suatu akad juga mempunyai
syarat-syarat khusus. Demikian juga halnya dengan akad al-wadi’ah, hibah,
ijarah (sewa menyewa).
Syarat-syarat
umum suatu akad adalah:
a.
Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang
mampu bertindak menurut hukum (mukallaf). Apabila belum mampu harus dilakukan
oleh walinya. Oleh sebab itu suatu akad yang dilakukan oleh orang yang kurang
waras (gila) atau anak kacil yang belum zmukallaf secara langsung, hukumnya
tidak sah.
b.
Obyek akad itu, diakui oleh syara’. Obyek akad
ini harus memenuhi syarat:
1)
Berbentuk harta
2)
Dimiliki seseorang
3)
Bernilai syara’ menurut syara’
Obyek akad harus ada dan dapat diserahkan ketika berlangsung
akad, kerena memperJualBelikan sesuatu yang belum ada dan tidak mampu diserahkan
hukumnya tidak sah. Contohnya: seperti menJual ikan yang maseh di dalam kolam,
menJual
padi yang belum berbuah,menJual janin hewan yang meseh di dalam
kandungan, dll.
Menurut fukaha, ketentuan di atas tidak berlaku terhadap ‘aqd salam (indent), istishna’ (pesanan barang), dan mussaqah (transaksi antara pemilik kebun
dan pengelolanya). Pengecualian ini dibenarkan atas dasar, bahwa akad-akad
semacam itu dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi akad kebiasaan yang
dilakukan oleh anggota masyarakat.
c.
Akad itu tidak dilarang oleh nash syara’. Atas
dasar ini, seorang wali (pemelihara anak kecil), tidak dibenarkan mengibahkan
harta tersebut. Seharrusnya harta anak kecil itu dikembangkan, dipelihara, dan
tidak diserahkan kepada seseorang tanpa ada imbalan (hibah). Apabila terjadi
akad, maka akad itu batal menurut syara’.
d.
Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat
khusus dengan akad yang bersangkutan, disampiing harus memenuhi syarat-syarat
umum. Syarat-syarat khusus, umpamanya: syarat Jual-Beli berbeda dengan
syarat sewa-menyewa dan gadai.
e.
Akad itu bermanfaat. Umpamanya: seorang suami
mengadakan akad dengan isterinya, bahwa suami akan memberi upah kepada
isterinya dalam urusan rumah tangga. Akad semacam ini batal, karena seorang
isteri memang berkewajiban mengurus rumah. Contoh lain, seorang mengadakan akad
dengan seseorang penjahat, bahwa penjahat itu akan menghentikan kejahatannya,
bila diberi imbalan. Akad semacam ini, juga tidak sah, sebab suatu tindakan
kejahatan memang harus dihentikan.
f.
Ijab tetap utuh sampai terjadi kabul. Umpamanya:
dua orang pedagang dari dua daerah yang berbeda, melakukan transaksi dagang
dengan surat (tulisan). Pedagang barang melakukan ijabnya melakukan ijabnya
melaui surat yang membutuhkan waktu beberapa hari. Sebelum surat itu sampai
kepada penJual, pemBeli telah wafat atau hilang ingatan
(gila). Transaksi semacam ini menjadi batalm sebab salah satu pihak telah
meninggal atau gila (tidak bisa bertindak lagi atas nama hukum).
g.
Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis,
yaitu suatu keadaaan yang menggambarkan proses suatu transaksi.
Menurut Mustafa az-Zarqa’, majelis itu dapat berbentuk tempat
dilangsungkan akad dan dapat juga berbentuk keadaan selama proses berlangsung
akad, sekalipun tidak pada satu tempat.
Berkenaan dengan masalah ini timbul perbedaan pendapat para ulama,
tentang ijab, apakah harus segera dijawab dengan kabul? Menurut Jumhur ulama
fikih selain Mazhab Syafi’I, tidak mengharuskan kabul segera dilaksanakan
setelah ijab. Sebab, pihak penerima memerlukan waktu untuk berpikir dan
meneliti segala persoalan yang berkaitan dengan transaksi (obyek akad). Bahkan
ulama Mazhab Maliki, bila pihak penerima meminta tenggang waktu, untuk mengucapkan
kabul, maka permintaan itu harus dipenuhi. Sedangkan menurut ulama Syafi’I,
kabul disyaratkan segera dilakukan setelah ijab. Bila terjadi suatu kegiatan
lain pada saat ijab dan kabul itu,maka transaksi menjadi batal. Hal ini
berarti, bahwa ijab harus segera diucapkan (dijawab) dengan kabul.
h.
Tujuan akad itu harus jelas dan diakui oleh
syara’. Umpamanya masalah Jual-Beli, jelas tujuannya
untuk memindahkan hak milik peJnJual kepada pemBeli dengan imbalan.
Begitu juga dengan akad-akad lainnya.
4.
Macam-Macam Akad
Menurut ulama fikih, akad dapat dibagi dari berbagai segi.
Apabila dilihat darisegi keabsahannya menurut syara’, maka akad di bagi dua,
yaitu:
a.
segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad
itu, berlaku kepada kedua belah pihak.
Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, membagi lagi akad
sahih ini menjadi dua macam:
1)
Akad yang nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu
akad yang langsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghlang
untuk melaksanakannya.
2)
Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang
yang mampu bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak bisa memiliki
kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan. Akad tersebut sepeerti akad
yang dilakukan dengan anak kecil yang menjelang akil baligh (mumayyiz). Akad
itu baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum setelah mendapat izin
dari wali anak itu.
b.
Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat
kekurangan pada rukun atau syaratnya, sehingga akibat hukum tidak belaku bagi
kedua belah pihak yang melakukan akad itu.
Kemudian Mazhab Hanafi membagi lagi akad yang tidak sah ini
kepada dua macam, yaitu : akad yang batil dan akad yang fasid.
Suatu akad dikatakan batil, apabila kedua akad itu tidak
memenuhi salah satu rukun dan larangan langsung dari syara’. Umpamanya: obyek
akad (Jual-Beli) itu tidak jelas seperti menJual
ikan dalam empang (lautan), atau salah satu oihak tidak mampu (belum pantas)
bertindak atas nam hukum seperti anak kecil atau orang gila.
Suatu akad dikatakan fasid, adalah suatu akad yang pada
dasarnya dibenarkan, tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas seperti menJual
mobil tidak disebutkan merknya, tahunnya dan sebagainya. Jual-Beli semacam ini tidak
lagi dianggap fasid, apabila mobil yang diJual itu lengkap diberikan datanya,
sehingga tidak merragukan lagi bagi pemBeli. Namun, jumhur ulama fikih
berpendapat, akad yang batil dan fasid, tetap tidak sah dan akad tersebut tidak
mengakibatkan hukkum apapun bagi kedua belah pihak.
5.
Berakhir Suatu Akad
Ulama fikih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir
apabila terjadi hal-hal seperti berikut:
a.
Berakhit masa berlaku akad itu, apabila akad itu
memiliki masa tenggang waktu.
b.
Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad,
apabila akad itu mengikat.
c.
Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad
dapat berakhir bila:
1)
Akad itu fasid
2)
Berlaku khiyar syarat, khiyar aib
3)
Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang
berakad
4)
Telah tercapai tujuan akd itu secara sempurna
d.
Wafat salah satu pihak yang berakad.
B. JUAL-BELI
1.
Pengertian Jual-Beli
Jual-Beli
(al-bai’u) artinya menJual, mengganti dan menukar (sesuatu
dengan sesuatu yang lain). Kata al-bai’u dalam bahasa Arab terkadang
digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata assiroou (Beli). Dengan demikian kata al-bai’u
berarti kata “Jual” dan sekaligus juga berarti kata “Beli”.
Perdagangan atau Jual Beli menurut bahasa
berarti al-bai’,al-tijarah, dan al-mubadalah sebagaimana Allah SWT berfirman :
¨bÎ)
tûïÏ%©!$#
cqè=÷Gt
|=»tGÏ.
«!$#
(#qãB$s%r&ur
no4qn=¢Á9$#
(#qà)xÿRr&ur
$£JÏB
öNßg»uZø%yu
#uÅ
ZpuÏRxtãur
cqã_öt
Zot»pgÏB
`©9
uqç7s?
ÇËÒÈ
“Sesungguhnya
orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan
menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami anuge- rahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi.”
Menurut istilah
terminology yang dimaksud Jual Beli adalah :
- Menukar barang dengan barang
atau barang dengan uangdenga jalan
melepaskan hak milik yang satu kepada yang lain atas dasar saling
merelakan (idris ahmad, fiqih al-syafi’iyah : 5)
- Penukaran benda dengan benda
lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik dengan ada penggantinya dengan cara yang
dibolehkan.
- Aqad yang tegak atas dasar
penukaran harta atas harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara
tetap.(Hasbi Ash-Shiddiqi, peng.Fiqh muamalah :97)
Dari beberapa definisi tersebut
penulis mengambil kesimpulan bahwasanya Jual Beli adalah suatu
perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara suka rela sehingga
keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah penukaran hak milik
secara tetap dengan jalan yang dibenarkan oleh syara’.Yang
dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum adalah memenuhu persyaratan-persyaratan,
rukun-rukun dalam Jual Beli, maka jika syarat dan rukunnya
tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentun syara.
2.
Dalil Hukum Jual-Beli
Jual-Beli sebagai sarana
tolong-menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam
Islam.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
…Padahal Allah telah mengahalalkan Jual-Beli dan mengharamkan riba…
(al-Baqarah: 275)
Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. .
. (al-Baqarah: 198)
…Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di
antara kamu… (An-Nisa’: 29)
Dan
persaksikanlah, apabila kamu berJual-Beli… (al-Baqarah: 282)
Dalam sabda Rasulullah disebutkan :
“Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya:
Apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab : “Usaha tangan manusia
sendiri dan setiap Jual-Beli yang di berkati”. (HR.
Al-Barzaar dan Al-Hakim)
Jual-Beli
yang mendapat berkah dari Allah adalah Jual-Beli yang jujur, yang
tidak curang, mengandung unsur penipuan dan pengkhianatan.
Sabda Rasulullah:
“Jual-Beli
itu atas dasar suka sama suka.” (HR. Baihaqi)
Sabda Rasulullah:
“pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya
di surga) dengan para Nabi, siddiqin dan syuhada’.” (HR. Tarmizdi)
3.
Hikmah Disyariatkannya Jual-Beli
a. Individu
1)
PenJual
a)
Mendapat rahmat dan keberkataan daripada Allah dengan
mengikut apa yang telah disyariatkan
b)
Dapat berniaga dengan aman tanpa berlakunya khianat
mengkhianati antara satu sama lain.
2)
PemBeli
a)
Berpuas hati di atas urusniaga yang dijalankan kerana
peniga menjalankan urusan mengikut syariat islam.
b)
Mendapat
keredhaan dan rahmat dari Allah di atas urusniaga yang berlandaskan syariat Islam
c)
Terhindar daripada siksaan api neraka.
b.
Masyarakat
1)
Menyenangkan manusia bertukar-tukarfaedah harta dalam
kehidupan seharian
2)
Menghindarkan kejadian rampas merampas dan ceroboh
mencerobohi dalam usaha memiliki harta
3)
Menggalakkan orang ramai supaya hidup berperaturan,
bertimbang rasa, jujur dan ikhlas.
c.
Negara
1)
Meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara ke tahap yang
lebih baik.
2)
Dapat menarik pelabur asing untuk melabur dalam ekonomi
negara.
3)
Menggalakkan persaingan ekonomi yang sihat sesama
negara islam
4.
Rukun dan Syarat Sah Jual-Beli
Menurut Mazhab
Hanafi rukun Jual-Beli hanya ijab dan kabul saja.
Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam Jual-Beli itu hanyalah
kelerelaan antara kedua belah pihak untuk berJual-Beli. Namun, karena
kerelaan berhubungan dengan hati yang sering tidak kelihatan, maka diperlukan
indikator (Qarinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak.
Dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan kabul) atau dalam bentuk perbuatan,
yaitu saling memberi (penyeran barang dan penerimaan uang).
Menurut jumhur Ulama rukun Jual Beli itu ada empat:
a.
Orang yang berakad
(penJual
dan pemBeli)
b.
Sighat (lafal ijab dan
kabul
c.
Ada barang yang diBeli
d.
Ada nilai tukar
pengganti barang
Menurut
Mazhab Hanafi orang yang berakad, barang yang diBeli dan nilai tukar
barang (a,c,d) di atas termasuk syarat Jual-Beli, bukan rukun.
Menurut
jumhur ulama, bahwa orang yang melakukan akad Jual-Beli sesuai dengan rukun Jual-Beli
yang disebutkan di atas dalah sebagai berikut:
1)
Syarat orang yang
berakad
Ulama
fikih sepakat, bahwa yang melakukan akad Jual-Beli harus memenuhi
syarat:
a)
Berakal. Dengan
demikian, Jual Beli yang dilakukan anak kecil yang
belum berakal hukumnya tidak sah. Anak kecil yang sudah mumayyiz (menjelang
baligh), apabila akad yang dilakukannya membawa keuntungan baginya, seperti
menerima hibah, Wasiat dan sedekah, maka akadnya sah menurut Mazhab Hanafi.
Sebaliknya apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan
harta kepada orang lain, mewakafkan atau menghibahkannya tidak dibenarkan
menurut hukum.
Transakasi
yang dilakukan anak kecil yang mumayyiz yang mengandung manfaat dan mudarat
sekaligus, seperti Jual-Beli, sewa-menyewa dan perserikatan
dagang, dipandang sah menurut hukum dengan ketentuan walinya mengizinkan
setelah dipertimbangkan dengan sematang-matangnya.
b)
Orang yang melakukan
akad itu, adalah orang yang berbeda. Maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak
sebagai pemBeli dan penJual dalam waktu yang bersamaan.
2)
Syarat yang terkait
dengan ijab dan Kabul
Ulama
fikih sepakat menyatakan, bahwa urusan utama dalam Jual-Beli adalah kerelaan
kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat terlihat pada saat akad berlangsung.
Menurut
jumhur ulama fikih, syarat ijab dan kabul itu adalah sebagai berikut:
a)
Orang mengucapkan
adalah orang yang telah akil baligh dan berkal atau telah berakal, sesuai
dengan perrbedaan mereka dalam menentukan syarat, syarat seperti yang telah
dikemukakan di atas.
b)
Kabul seduai dengan
ijab
c)
Ijab dan Kabul
dilakukan dalam satu majlis
3)
Syarat yang diperJualBelikan,
adalah sebagai berikut:
a)
Barang itu ada, atau
tidak ada di tempat, tetapi pihak penJual menyatakan kesanggupannya untuk
mengadakan barang itu. Umpamanya barang itu ada pada sebuah toko atau masih di
pabrik dan yang lainnya di sampan di gudang.
b)
Dapat dimanfaatkan dan
dapat bermanfaat bag manusia. Oleh sebab itum bangkai, khamar, dan benda-benda
haram lainnya, tidak sah menjadi obyek Jual-Beli, karena benda-benda
tersebut tidak bermanfaat bagi manusia dalam pandangan syara’.
c)
Milik seorang. Barang
yang sifatnya belum dimiliki seseorang, tidak boleh diperJual Belikan.
d)
Dapat diserahkan pada
saat akad berlangsung, atau pada waktu yang telah disepakati bersama ketika
akad berlangsung.
4)
Syarat nilai tukar
(harga barang).
Nilai
tukar barang adalah termasuk unsure yang terpenting. Zaman sekarang disebut
uang. Berkaitan dengan nilai tukar ini, ulama fikih membedakan antara as-tsamn
dan as-si’r.
Menurut
mereka, as-tsamn adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat,
sedangkan as-Si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang
sebelum diJual kepada konsumen. Dengan demikian ada dua harga, harga
antara sesama pedagang dan harga pedagang dan konsumen (harga Jual
pasar).
Disamping
syarat yang berkaitan dengan rukun Jual-Beli diatas, ulama fikih
juga mengemukakan beberapa syarat lain:
a)
Syarat sah Jual-Beli
Jual
Beli
itu terhindar dari cacat seperti barang yang diperJual Belikan tidak jelas, baik
jenis, kualitas maupun kuantitasnya. Begitu juga harga tidak jelas, Jual-Beli
itu mengandung unsur paksaan, penipuan dan syarat-syarat lain yang
mengakibatkan Jual-Beli rusak.
Apabila
barang yang diperJualBelikan itu benda bergerak, maka barang itu langsung
dikuasai pemBeli dan harga dikuasai penJual. Sedangkan barang yang tidak
bergerak, dapat dikuasai pemBeli setelah surat-menyuratnya
diselesaikan sesuai dengan kebiasaan setempat.
b)
Syarat yang berkenaan
dengan pelaksaan Jual-Beli.
Jual-Beli
baru dapat dilaksanakan apabila yang berakad tersebut mempunyai kekuasaan untuk
melakukan Jual-Beli. Umpamanya, barang itu milik
sendiri (bukan milik orang lain atau hak orang yang terkait dengan barang itu).
Akad
Jual-Beli
tidak dapat dilaksanakan, apabila orang yang melakukan akad itu tidak memiliki
kekuasaan secara langsung melakukan akad. Umpamanya ada orang lain yang bertindak
sebagai wakil dalam Jual-Beli. Dalam hal ini, pihak wakil
harus mendapat persetujuan (surat kuasa) dari orang yang diwakilinya.
c)
Syarat yang terkait
dengan kekuatan hokum Jual-Beli.
Ulama
fikih sepakat menyatakan, bahwa suatu Jual-Beli baru bersifat mengikat,
apabila Jual Beli itu terbebas dari segala macam:
khiyar, yaitu hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan Jual-Beli.
5.
Jual-Beli Yang Halal Dan Haram
a.
Jual Beli yang halal (sahih)
Apabila Jual-Beli itu di syari’atkan,
memenuhi rukun atau syarat yang ditentukan, barang itu bukan milik orang lain,
dan syarat tidak terikat dengan khiyar lagi, maka Jual Beli itu sahih (halal)
dan mengikat kedua belah pihak. Umpamannya, seseorang memBeli suatu barang.
Seluruh rukun dan syarat Jual-Beli telah terpenuhi. Barang
itu juga telah diperiksa oleh pemBeli dan tidak ada cacat, dan tidak
ada yang rusak. Uang sudah diserahkan dan barangpun sudah diterima dan tidak
ada lagi khiyar.
b.
Jual Beli yang haram (tidak
sahih)
1) MenJual
tanggungan dengan tanggungan
Telah diriwayatkan
larangan menJual tanggungan dengan tanggungan sebagaimana tersebut dalam
hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra. Yaitu menJual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran
yang ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan apa yang ada pada tanggungan
orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya
ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah bentuk riba yang paling jelas
dan paling jelek sekali.
2) Jual
Beli
disertai syarat
Jual
Beli
disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. Malikiyah menganggap syarat
ini sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi Jual Beli seperti agar pemBeli
tidak menJualnya kembali atau menggunakannya.
Hambaliyah memahami
syarat sebagai yang bertentangan dengan akad, seperti adanya bentuk usaha lain,
seperti Jual Beli lain atau peminjaman, dan
persyaratan yang membuat Jual Beli menjadi bergantung,
seperti ”Saya Jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sedangkan Hanafiyah
memahaminya sebagai syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi perjanjian Jual
Beli,
dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut tapi bermanfaat bagi salah satu
pihak.
3) Dua
perjanjian dalam satu transaksi Jual Beli
Tidak dibolehkan melakukan dua
perjanjian dalam satu transaksi, namun terdapat perbedaan dalam aplikasinya
sebagai berikut:
a) Jual
Beli
dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang lebih mahal. Mayoritas
ulama sepakat memperbolehkannya dengan ketentuan, sebelum berpisah, pemBeli
telah menetapkan pilihannya apakah kontan atau kredit.Jual Beli ’Inah, yaitu menJual
sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu si penJual memBelinya
kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah.
b) MenJual
barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar barang yang
masih ditawar orang lain. Mayoritas ulama fiqih mengharamkan Jual
Beli
ini. Hal ini didasarkan pada larangan dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim,
”Janganlah seseorang melakukan transaksi penJualan dalam transaksi
orang lain.
c) MenJual
anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah telah melarang mengambil untung
dari menJual anjing, melacur dan menjadi dukun (HR. Bukhari).
4) Jual
Beli
yang Diperdebatkan
a) Jual
Beli
’Inah. Yaitu Jual Beli manipulatif agar pinjaman uang
dibayar dengan lebih banyak (riba).
b)
Jual
Beli
Wafa. Yakni Jual Beli dengan syarat pengembalian barang
dan pembayaran, ketika si penJual mengembalikan uang bayaran dan
si pemBeli mengembalikan barang.
c) Jual
Beli
dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang muka (urbun) kepada
penJual
dengan perjanjian bila ia jadi memBelinya, uang itu dimasukkan ke
dalam harganya.
d) Jual
Beli
Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penJual secara bertahap,
selang beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas ulama membolehkannya,
bahkan bisa jadi lebih menyenangkan bagi pemBeli daripada Jual
Beli
dengan tawar menawar.
6.
Haqqul Khiyar Dalam Jual-Beli
Khiyar adalah kesempatan baik penJual
maupun pemBeli untuk memilih melanjutkan atau menghentikan Jual
Beli.
Jenis atau macam-macam khiyar yaitu :
a.
Khiyar majlis adalah pilihan menghantikan atau
melanjutkan Jual Beli ketika penJual maupun pemBeli
masih di tempat yang sama.
b.
Khiyar syarat adalah syarat tertentu untuk melanjutkan Jual
Beli
seperti pemBeli mensyaratkan garansi.
c.
Khiyar aibi adalah pemBeli boleh membatalkan
transaksi yang telah disepakati jika terdapat cacat pada barang yang diBeli.
d.
Khiyar Ru’yah adalah ada hak pilih bagi pemBeli
untuk menyatakan berlaku atau batal Jual Beli yang ia lakukan
terhadap suatu obyek yang belum ia lihat pada saat akad berlangsung.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pengertian dari akad dan Jual-Beli
Akad (Arab : al-akdu =
perikatan, perjanjian dan pemufakatan). Pertalian ijab (pernyataan melakukan
ikatan) dan kabul (pernyataan penerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at
yang berpengaruh pada obyek perikatan. Demikian dijelaskan dalam Ensiklopedi
Hukum islam
Jual Beli adalah suatu
perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara suka rela sehingga
keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah penukaran hak milik
secara tetap dengan jalan yang dibenarkan oleh syara’.Yang dimaksud sesuai
dengan ketetapan hukum adalah memenuhu persyaratan-persyaratan, rukun-rukun
dalam Jual Beli, maka jika syarat dan rukunnya
tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentun syara.
2.
Rukun akad dan rukun Jual-Beli
a. Rukun
akad
Menurut Jumbur
(mayoritas) fukaha, rukun akad terdiri dari :
1)
Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah
al-aqd)
2)
Pihak-pihak yang berakad
3)
Obyek akad
Ulama
Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad itu hanya satu yaitu : shigah al-aqd, sedangkan pihak-pihak
yang berakad dan objek akad, tidak termasuk rukun akad, tapi syarat akad.
Sighah al-aqd
dinyatakan melaui ijab dan kabul, dengan suatu ketentuan:
4)
Tujuan akad itu harus jelas dan dapat di pahami.
5)
Antara ijab dan Kabul harusl dapat kesesuaian.
6)
Pernyataan ijab dan kabul itu harus sesuai
dengan kehendak masing-masing, dan tidak boleh ada yang meragukan.
Ijab
dan kabul dapat dalam bentuk perkataan, perbuatan, isyarat dan tulisan
(biasanya transaksi yang besar nilainya). Namun, semua bentuk ijab dan kabul
itu mempunyai nilai kekuatan yang sama.
b. Rukun
Jual-Beli
Menurut Mazhab Hanafi rukun Jual-Beli hanya ijab dan kabul
saja. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam Jual-Beli itu hanyalah
kelerelaan antara kedua belah pihak untuk berJual-Beli. Namun, karena
kerelaan berhubungan dengan hati yang sering tidak kelihatan, maka diperlukan
indikator (Qarinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak.
Dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan kabul) atau dalam bentuk perbuatan,
yaitu saling memberi (penyeran barang dan penerimaan uang).
Menurut jumhur Ulama rukun Jual Beli itu ada empat:
a.
Orang yang berakad
(penJual
dan pemBeli)
b.
Sighat (lafal ijab dan
kabul
c.
Ada barang yang diBeli
d.
Ada nilai tukar
pengganti barang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar