Selasa, 17 April 2012

HUKUM TASHARRUF (DISTRIBUSI) ZAKAT UNTUK MASJID ATAU MADRASAH

Zakat dalam syariat Islam dibagi dua macam, yaitu Zakat badan (Zakat fithrah) dan Zakat harta (Zakat mal). Zakat adalah satu-satunya ibadah yang tidak hanya berdimensi mahdlah (vertikal), yaitu hubungan antara Allah dengan manusia, namun juga berdimensi muamalah (horizontal), yaitu hubungan antar sesama manusia. Artinya, Zakat bisa digolongkan ke dalam kajian fiqh ibadah dan fiqh muamalah. Zakat bisa masuk dalam bahasan fiqh ibadah, karena memang syariat (al-Qur’an dan Hadits) telah mengatur secara rinci dan jelas. Dalam Zakat mal misalnya, sudah diatur dengan jelas; siapa yang wajib Zakat (muzaqqi); siapa yang berhak menerima Zakat (mustahiq); harta apa saja yang harus dikeluarkan Zakatnya (amwâl al-zakâh); berapa jumlah atau kadar minimal harta yang wajib Zakat (nishâb);   berapa bagian yang dikeluarkan dari masing-masing harta Zakat (nisbah al-zakâh); kapan harta wajib dikeluarkan Zakatnya (haul).

Namun dari sisi lain, Zakat lebih  tepat bernuansa muamalah (sosial), karena peran, fungsi dan manfaat Zakat yang lebih dominan bersingungan dengan sesama manusia (masyarakat). Karena berperan sebagai sarana pemerataan ekonomi, perekat kasih sayang dan kepedulian si kaya kepada si miskin, bahkan bisa membuka peluang lapangan pekerjaan baru dengan Zakat produktif misalnya dan lain-lain. Teks-teks tentang aturan main Zakat sangat terbatas dan tidak mungkin berubah, karena wahyu sudah terhenti dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW. Sedangkan peradaban manusia  terus bergerak dinamis mengalami perubahan dari masa ke masa.  Misalnya pada aspek amwâl al-zakâh,  keberadaan mata uang yang terbuat dari emas (dinâr) dan perak (dirham) pada masa modern sudah tidak ditemukan lagi, bahkan ada beberapa surat berharga yang bernilai sama seperti uang yang belum ada pada masa Nabi Muhammad SAW dan imam-imam mujtahid fiqh dan masih banyak lagi. Begitu juga bentuk-bentuk pekerjaan atau profesi; dahulu hanya pedagang dan petani tetapi sekarang banyak profesi-profesi baru yang menghasilkan keuntungan finansial  seperti halnya pedagang dan petani bahkan terkadang lebih besar keuntungannya, seperti dokter, pegawai negeri sipil atau swasta dan lain-lain. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika para ulama kontemporer melakukan ijtihad-ijtihad mu’âshir (kontemporer) dalam bidang Zakat untuk menjawab perubahan fiqh Zakat masyarakat Islam. Antara lain adalah fatwa wajibnya Zakat profesi bagi para pegawai negeri atau swasta oleh beberapa ulama kontemporer, seperti Muhammad al-Ghazâlî, Yusuf al-Qardlâwî, Wahbah al-Zuhaylî dan lain-lain. Walau antara Muhammad al-Ghazâlî dengan Yusuf al-Qardlâwî dan Wahbah al-Zuhaylî ada perbedaan cara pandang dalam mengambil qiyâs (analog) terhadap dasar pertimbangan wajibnya Zakat profesi, yaitu “apakah diqiyaskan kepada Zakat perdagangan atau Zakat pertanian?” Para ulama kontemporer, baik nasional atau internasional belum mencapai kata sepakat atau ijmâ’ tentang wajibnya Zakat profesi.

Begitu juga ijtihad ulama kontemporer tentang pemaknaan ulang akan maksud dari salah satu ashnaf (golongan penerima) Zakat, yaitu “fi sabilillah”, sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Taubah: 60;

إنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاء وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ



“Sesungguhnya Zakat-Zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus Zakat, Para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”



Dari ayat di atas semaua ulama telah sepakat bahwa yang berhak menerima Zakat itu ada 8 golongan, Ialah: 1. orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya. 2. orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam Keadaan kekurangan. 3. Pengurus Zakat: orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan Zakat. 4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah. 5. budak yang sedang berusaha mengumpulkan uang untuk memerdekakan dirinya sendiri,  mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. 6. orang berhutang: orang yang berhutang karena untuk kepentingan pokok (kebutuhan primer) yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan Zakat, walaupun ia mampu membayarnya. 7. pada jalan Allah (sabilillah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa “fi sabilillah” itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain. 8. orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya. Untuk zaman sekarang sudah bisa dipastikan tidak ada lagi budak dan perbudakan maka ashnaf Zakat berkurang menjadi 7 golongan saja.

Namun definsi dari tiap-tiap golongan di atas masih kita dapati perbedaan pendapat antara sesama ulama klasik apalagi antara ulama klasik dan kontemporer yang salah satunya adalah kata “fi sabilillah (di jalan Allah)”. Dalam literatur kitab-kitab fiqh klasik, hampir semua ulama berpendapat bahwa yang di maksud “fi sabilillah” adalah para pejuang perang (tentara) muslim yang sedang membela agama dan berperang melawan orang-orang kafir, tapi bagi tentara yang sukarela saja yang berhak dapat Zakat. Sedangkan tentara yang resmi mendapat gaji dari pemerintah muslim, tidak berhak mendapat Zakat, karena ia sudah dapat gaji dari pemerintah (begitupun untuk amil; hanya amil yang tidak dapat gaji dari pemerintah yang berhak dapat Zakat).

Berbeda dengan pendapat sebagian besar ulama kontemporer, seperti syekh Yusuf al-Qardlâwî dalam bukunya “fiqh al-zakah” berpendapat bahwa: memaknai “fi sabilillah” hanya kepada tentara adalah terlalu mempersempit maksud dan tujuan Zakat untuk kemaslahatan umum atau jalan Allah, di samping itu untuk masa sekarang sulit di temukan perang atas nama agama dan juga jarang di temukan tentara sukarela. Maka beliau berpendapat maksud dari kata “fi sabilillah” itu tidak hanya untuk tentara sukarelawan saja, namun semua bentuk ibadah yang berdimensi “fi sabilillah” seperti guru ngaji, kemaslahatan atau beaya pembangunan masjid atau  madarsah dll. Karena kata “fi sabilillah”  dalam ayat di atas adalah general (mutlaq) dan tidak muqayyad (tidak di-spesifikasikan/dibatasi) dengan kata penjelas lain, yaitu mujahid atau jund yang berarti tentara, maka ketika kata dalam nash al-Qur’an itu mutlaq, hendaknya tidak dibatasi atau dipersempit.

Oleh karena, dalam menanggapi pertanyaan di atas saya secara pribadi lebih setuju dengan pendapat sebagain besar ulama kontemporer yang tidak mempersempit kata “fi sabilillah” dan tidak hanya memberikan Zakat untuk tujuan konsumtif saja, namun Zakat juga bisa diperuntukan untuk tujuan produktif, seperti Zakat untuk modal usaha atau bangun masjid/madrasah. Karena memberikan Zakat secara produktif lebih berarti dan maslahat dari pada secara konsumtif yang habis begitu saja dipakai makan-minum. Hanya saja Zakat yang bisa bernilai produktif itu terbatas pada Zakat mal (harta) dan bukan Zakat badan (fithrah). Karena Zakat fithrah yang terbaik (bahkan yang sah dalam mazhab Imam Syafi’i) dengan makanan pokok dan bukan dengan uang. Namun perlu diingat, penggunaan Zakat mal untuk produktif atau bangun masjid/madrasah tidak boleh dihabiskan semua untuk satu kepentingan saja. Karena mazhab Syafi’i berpendapat; distribusi Zakat itu harus minimal kepada tiga golongan dari delapan ashbaf yang tiap-tiap ashnaf minimal harus tiga orang. Hal ini dikarenakan dalam ayat di atas menggunakan kata jamak (plural), yaitu shadaqât (jamak dari shadaqah) dan fuqarâ (jamak dari faqir), dst, sedangkan kata jamak itu minimal untuk tiga orang. Wallahu a’alam bi al-shawab.

Malang, 11-8-2011


Tidak ada komentar:

Posting Komentar