Delapan golongan mustahik Zakat
1. Fakir dan Miskin
Golongan yang pertama dan yang kedua disebutkan
dalam Al-Qur’an adalah fakir miskin. ada perbedaan pendapat diantara ulama
tentang batasan yang membedakan antara fakir dan miskin. Tetapi para ulama sepakat
bahwa baik fakir maupun miskin memiliki harta dibawah nishab Zakat,
yaitu mereka yang tidak dapat mencukupi biaya dan kebutuhan hidup sehari-hari,
baik makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan, dan lainnya,
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti
anak dan istri (Akutansi Zakat, DR.Husain Syahatah)
Islam menjadikan fakir miskin sebagai sasaran Zakat,
membuktikan bahwa dengan Zakat Islam berusaha untuk
mengentaskan kemiskinan. Bahkan dalam Al-Qur’an golongan fakir miskin ini
disebutkan pertama kali sebelum golongan-golongan lainnya disebutkan.
Zakat bersifat konsumtif dan produktif
Menurut K.H. Didin Hafidhuddin,M.Sc., Zakat
yang disalurkan kepada golongan ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, dan dapat pula bersifat produktif, yaitu
untuk menambah modal usaha mereka. Zakat yang bersifat konsumtif antara
lain dinyatakan antara lain dalam surah Al-Baqarah ayat 273
: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang
terikat (oleh jihad) dijalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) dimuka bumi,
orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari
meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak
meminta kepada orang secara mendesak. Dan apasaja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (dijalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui.”
Adapun penyaluran Zakat secara produktif
sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Rosulullah dikemukakan dalam sebuah
hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa
Rosulullah telah memberikan kepadanya Zakat lalu menyuruhnya untuk
dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Dalam kaitan dengan penyaluran
Zakat
yang bersifat produktif, ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Syekh Yusuf
Qardhawi, dalam bukunya yang fenomenal, yaitu Fiqh Zakat, bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun
pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang Zakat untuk kemudian
kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan
terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Dan untuk saat ini peranan pemerintah dalam
pengelolaan Zakat digantikan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat.
Menurut Didin Hafiduddin, BAZ ataupun LAZ, jika memberikan
Zakat
yang bersifat produktif, harus pula melakukan pembinaan dan pendampingan kepada
para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Disamping
melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik dalam kegiatan
usahanya, BAZ dan LAZ juga harus memberikan pembinaan ruhani dan intelektual
keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keIslamanannya.
2. Amil (Petugas Zakat)
Petugas Zakat merupakan golongan
ketiga yang disebutkan oleh Allah SWT sebagai mustahik Zakat.
Zakat diberikan kepada para petugasnya baik yang kaya
maupun yang miskin. Karena Zakat yang diberikan kepada mereka
bukan karena kemiskinan mereka, bukan juga karena ketidak mampuan mereka, tapi
sebagai upah atau gaji atas kerja yang telah mereka lakukan dalam mengurus dan
mengelola harta Zakat.
Batasan Zakat
yang diberikan untuk petugas Zakat
Menurut sebagian ulama, Golongan ini berhak
mendapatkan bagian dari Zakat sebanyak 1/8 atau 12,5 %. Tapi
bukan berarti mutlak harus 12,5 %, menurut para ulama itu merupakan kadar
maksimal. Dan Zakat untuk golongan ini disesuaikan dengan seberapa
besar tugas yang dijalankannya. Apakah petugas melakukan tugas-tugas
keamilannya secara baik dan profesional, dan apakah petugas tersebut melakukan
tugasnya secara fulltime, atau hanya melaksanakan tugas sekedarnya dan dengan
waktu yang seadanya ?
Jika petugas tersebut melakukan tugas-tugas
keamilannya dengan baik, profesional dan sebagian besar waktunya digunakan
untuk mengurus dan mengelola Zakat, maka petugas tersebut berhak
untuk mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Namun apabila
melakukan tugas keamilannya sebagai sampingan, maka mereka tidak berhak untuk
mendapatkan 12,5 %, mereka hanya diberi beberapa persen saja atau menurut
kebijakan yang disesuaikan dengan seberapa besar dan seberapa banyak mereka
melakukan tugas keamilannya.
Membayar Zakat
secara langsung atau melalui petugas ?
Allah memasukan para petugas Zakat kedalam golongan
mustahik Zakat menunjukan bahwa Zakat bukanlah tugas perseorangan,
melainkan tugas kolektif. Harus ada dari suatu komunitas mengangkat orang-orang
yang bekerja untuk mengurus dan mengelola Zakat, baik itu mengumpulkan,
menyalurkan, mencatat, menghitung, dan sebagainya. Bila dalam pemerintahan
Islam, tugas ini diatur oleh negara dan memasukan dana Zakat sebagai kas negara.
Menyalurkan Zakat secara langsung memang sah
ditinjau dari hukum syariah, tetapi menyalurkan Zakat melalui lembaga
pengelola Zakat akan jauh lebih efektif daripada menyalurkannya secara
orang perorang. Ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan dengan menyalurkan
Zakat
kepada lembaga pengelola Zakat yang tidak akan diperoleh
dengan membayarkan secara langsung oleh muzakki kepada mustahik Zakat
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab potensi Zakat, yaitu :
1.
Menjamin kepastian dan disiplin muzakki dalam membayar Zakat
2.
Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik
3.
Memperlihatkan syi’ar Islam
4.
Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam
penggunaan dana Zakat menurut skala prioritas (Zakat Dalam Perekonomian
Modern,K.H. Didin Hafidzuddin)
5.
Dapat digunakan untuk kemaslahatan umat Islam secara umum yang memerlukan dana
yang tidak sedikit. Seperti mengantisipasi upaya pemurtadan dari pihak luar,
upaya pembinaan kaum dhuafa baik dari segi ekonomi maupun pendidikannya, jihad
melawan kaum kafir yang memerangi umat Islam sebagaimana yang terjadi
dibeberapa wilayah yang ada didunia.
Jika Zakat diserahkan secara langsung
dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan
tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan
fungsi Zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat secara
umum, akan sulit diwujudkan.
Walaupun secara syariah sah menyerahkan Zakat
secara langsung, tapi menyerahkan Zakat kepada petugas Zakat
jauh lebih utama dari segi hukum syari’ah. Karena Disamping keutamaan yang
telah disebutkan diatas, menyerahkan Zakat kepada petugas Zakat
merupakan hal yang biasa dilakukan dan dicontohkan oleh Rosulullah dan
para sahabat sesudahnya. Bahkan para ulama sesudahnya pun tetap mewajibkan
penyerahan pengurusan dan pengelolaan Zakat kepada para petugas.
Disamping itu mengapa Allah memasukan Amil atau
petugas Zakat sebagai salah satu mustahik Zakat ? karena memang Zakat
itu sendiri harus ada yang mengurusnya, sehingga Allah memasukan Amil atau
petugas Zakat sebagai mustahik Zakat, sebagai upah dari tugas yang
telah mereka lakukan dalam mengelola Zakat.
Syarat-syarat Amil Zakat
Petugas Zakat harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Seorang muslim. Zakat bagi kaum muslimin
mempunyai nilai ibadah disamping nilai sosial. Zakat merupakan salah
satu rukun agama Islam, yaitu rukun yang ketiga, dan Zakat merupakan bentuk
manifestasi keimanan dan ketaatan seorang muslim kepada ajaran Islam, sehingga
kepengurusannya pun tidak mungkin diserahkan kepada selain muslim yang notabene
mereka tidak mengimani ajaran Islam. Menurut para ulama boleh menjadikan non
muslim sebagai petugas, tapi tidak secara langsung mengelola dana Zakat,
melainkan mereka hanya sekedar petugas penjaga atau sebagai sopir.
2. Seorang mukallaf, yaitu orang dewasa
dan sehat akal fikirannya.
3. Memahami hukum-hukum Zakat. Para ulama
mensyaratkan petugas Zakat harus memahami hukum-hukum Zakat,
khususnya petugas yang secara langsung bergelut dengan Zakat, karena mereka yang
nantinya akan mengambil, mencatat dan menyalurkan kepada para mustahik, dan
semua itu membutuhkan kepada pengetahuan tentang Zakat supaya tidak salah
dalam perhitungan dan salah dalam penyaluran. Adapun petugas yang tidak secara
langsung bergelut dengan Zakat, maka tidak disyaratkan untuk
mengetahui hukum-hukum Zakat.
Tapi alangkah lebih baiknya merekapun mengetahui
hukum-hukum standar minimal Zakat, karena bagaimanapun
masyarakat tetap melihat petugas tersebut adalah petugas Zakat. Pemahaman terhadap
hukum-hukum Zakat bagi seorang petugas Zakat disebuah lembaga pengelola Zakat
akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
Ketika kita sebagai petugas Zakat tidak mengetahui suatu hukum Zakat
yang ditanyakan oleh masyarakat, maka masyarakatpun akan bertanya-tanya,
bagaimana para petugas Zakat akan mengelola dana Zakat,
sedangkan mereka sendiri tidak tahu tentang Zakat ?
4. Jujur dan amanah. Kejujuran dan amanah adalah
dua hal yang harus dimiliki oleh seorang petugas Zakat. Karena mereka
sehari-harinya akan berhubungan dengan dana Zakat yang tidak sedikit.
Kejujuran dan amanah juga akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Jika
dihadapan masyarakat para petugas Zakat memperlihatkan sifat jujur dan
amanah, maka masyarakat akan memberikan kepercayaannya kepada lembaga pengelola
Zakat
dimana petugas Zakat itu berada, yang dampaknya mereka akan semakin tenang untuk
menyalurkan Zakatnya kepada lembaga tersebut, Begitupun sebaliknya.
5. Sanggup dan mampu melaksanakan tugas. Disamping
syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, seorang petugas Zakat
juga harus mampu melaksanakan tugas, dalam artian kompeten dengan tugas yang
diembannya baik dari segi fisik maupun keilmuan dan pengetahuan. Allah
menceritakan kisah nabi Yusuf yang berkata kepada raja, “ Jadikanlah aku
bendaharawan negara (mesir) karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga lagi berpengetahuan.” Kata menjaga (hifzu) berarti kata kerja yang
berhubungan dengan kemampuan dari segi fisik. Sedangkan kata alim,
berarti mempunyai ilmu dan berpengetahuan.
Yang harus diperhatikan oleh lembaga pengelola Zakat
1. Kelembagaan
- Sistem
- Visi Misi
- Aliansi Strategis
- Susunan Organisasi
- Program
- Legalitas
- Rencana Kerja
- Evaluasi Kerja
- Sosialisasi
- Publikasi
2. SDM
- Jujur dan Amanah
- Kompeten dan Kapabel
- Kreatif dan Inovatif
- Comunication skill
- Manajerial Skill
- Leadership Skill
- Teamwork Building
- Negotiation Skill
- Making
Decision
3. Muallaf
Muallafah qulubuhum
sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur’an menurut para ulama
diperuntukkan untuk dua jenis orang, yaitu kafir dan muslim dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Orang kafir
- Orang kafir yang diharapkan masuk Islam. Mereka
diberi Zakat untuk mendorong mereka agar masuk Islam sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah Saw kepada Sofwan Bin Umayyah pada saat ia masih kafir.
- Orang yang dikhawatirkan
kejelekan atau kejahatannya dengan harapan pemberian Zakat tersebut
menghentikan kejahatannya.
2. Orang
Islam
- Golongan yang baru memeluk
Islam. Zakat diberikan kepada mereka dalam rangka memperkuat dan
menambah keyakinan mereka terhadap Islam.
- Orang Islam yang lemah imannya
dan dikhawatirkan akan menjadi murtad
- Pemimpin dan tokoh masyarakat yang
telah memeluk Islam yang masih mempunyai sahabat-sahabat orang kafir. Dengan
memberi mereka Zakat, diharapkan dapat menarik simpati sahabat-sahabatnya yang
masih kafir untuk memeluk Islam. Diceritakan bahwa Abu Bakar pernah memberi Zakat
kepada Adi Bin Hatim dan Zibriqan Bin Badr, padahal keduanya muslim yang
taat, akan tetapi mereka mempunyai posisi terhormat dikalangan masyarakatnya
(Tafsir Al-Manar)
Menurut pakar Zakat
Didin Hafidhuddin, pada saat sekarang bagian muallaf dapat diberikan kepada
lembaga-lembaga da’wah yang mengkhususkan garapannya untuk menyebarkan Islam
didaerah-daerah terpencil dan disuku-suku terasing yang belum mengenal Islam.
Juga dapat dialokasikan pada lembaga-lembaga da’wah yang bertugas melakukan
balasan dan jawaban dalam rangka mengcounter pemahaman-pemahaman buruk tentang
Islam yang dilontarkan oleh misi-misi agama tertentu yang kini sudah semakin
merajarela, Juga dapat diberikan kepada lembaga-lembaga yang biasa melakukan
training-training keIslaman bagi orang-orang yang baru masuk Islam, Atau juga
untuk mencetak berbagai brosur dan media informasi lainnya yang dikhususkan
bagi mereka yang baru masuk Islam.
4. Riqab (memerdekakan
budak)
Hendaklah Zakat difungsikan untuk membebaskan
budak. Disamping dengan Zakat Islam berusaha untuk
mengentaskan kemiskinan, juga berusaha untuk membebaskan perbudakan, dan
sarana-sarana yang ada dalam Islam untuk membebaskan budak bukan hanya dengan Zakat
saja, tapi juga ada sarana-sarana lainnya seperti kifarat sumpah. Sebagaimana
yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 89 :
“ …Maka kafarat (melanggar)
sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau
memerdekakan seorang budak…”
Juga dalam kifarat dzihar, sebagaimana yang
tercantum dalam surah Al Mujadilah ayat 3 :
“Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, mak (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur….”
Menurut para ulama, bahwa cara membebaskan
perbudakan ini biasanya dilakukan dengan dua cara :
1. Pembebasan diri hamba mukatab, yaitu budak yang
telah membuat kesepakatan dan perjanjian dengan tuannya, bahwa dia sanggup
membayar sejumlah harta (misalnya uang) untuk membebaskan dirinya. Hal
ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surah Annur ayat 33 :
“Dan budak-budak yang kamu miliki yang
menginginkan perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetaui ada kebaikan pada
diri mereka, dan berikanla kepada mereka sebagian harta yang dikaruniakan Alla
kepada kamu…”
2. Uang Zakat yang terkumpul dari para
muzakki, dengan uang Zakat itu kemudian dipakai untuk
membeli dan membebaskan budak.
Ada sebagian masyarakat yang salah persepsi
tentang golongan ini dalam konteks kontemporer. Mereka menganggap bahwa tenaga
kerja (TKI) berhak untuk mendapatkan Zakat dengan dianalogikan kepada
golongan ini. sebenarnya jika TKI tersebut tidak mampu dari segi keuangan sedangkan
dia sendiri mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, maka ia diberikan Zakat
atas nama golongan fakir miskin dan bukan dari golongan Riqab. Jika ia
memerlukan uang untuk pulang ke tanah airnya dikarenakan ada suatu hal, maka ia
boleh dibantu atas nama Ibnu Sabil.
Jika kita menganggap bahwa TKI berhak mendapatkan Zakat
dengan dianalogikan kepada golongan Riqab, maka akan banyak sekali dana Zakat
yang disalurkan kepada orang yang tidak seharusnya menerima Zakat.
Karena banyak sekali diantara TKI, mereka pulang ketanah air dengan membawa
uang yang tidak sedikit sehingga mereka tidak perlu dibantu dari dana Zakat.
Bahkan banyak diantara mereka yang lebih layak disebut muzakki dari pada
disebut mustahik. Dana Zakat diberikan hanya untuk para TKI
yang memang sangat membutuhkan, itupun diambil atas nama fakir miskin, karena
keadaan mereka yang miskin.
Menurut DR. Husayn Syahatah dalam bukunya yang
berjudul Akuntansi Zakat, termasuk kategori pembebasan budak dalam konteks
kontemporer adalah membantu pembebasan tawanan muslim dari tangan kaum kafir,
disamping dalam pembebasan tersebut terdapat penjagaan terhadap kehormatan
Islam dan penjagaan kaum muslimin dari kaum kafir.
5. Gharimin (orang yang berhutang)
Menurut Abu Hanifah, gharim adalah orang yang
mempunyai hutang, dan dia tidak memiliki bagian yang lebih dari hutangnya.
Menurut Imam Malik, Syafi’I
dan Ahmad, bahwa orang yang mempunyai hutang terbagi kepada dua golongan. Pertama, orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan
diri dan keluarganya. Kemaslahatan ini adalah kemaslahatan yang digunakan untuk
kebutuhan pokok bagi diri dan keluarganya, seperti kebutuhan makan, kebutuhan
akan pakaian, untuk pengobatan, pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya. Kedua,
orang yang berutang untuk kemaslahatan umum. Contohnya orang yang
mendamaikan dua pihak yang bersengketa, tetapi membutuhkan dana yang lumayan
besar, sehingga ia harus berhutang. Atau orang yang melakukan amal-amal
kebaikan, seperti memelihara anak-anak yatim, mengurus orang-orang lanjut usia,
mendirikan tempat pendidikan untuk kaum dhuafa, dan lain sebagainya.
Menurut Syekh Yusuf Qardhawi, orang yang
mengalami musibah dan bencana dalam hartanya, sedangkan ia mempunyai kebutuhan
yang mendesak sehingga ia harus meminjam dari orang lain, berhak untuk
mendapatkan Zakat. Imam Mujahid berkata : “Tiga kelompok orang yang
termasuk mempunyai hutang; orang yang hartanya terbawa banjir, orang yang
hartanya musnah terbakar, dan orang yang mempunyai keluarga akan tetapi tidak
mempunyai harta, sehingga ia berhutang untuk menafkahi keluarganya.”
6. Fisabilillah (dijalan Allah)
Secara umum makna dari fisabilillah ini segala
amal perbuatan dalam rangka dijalan Allah. Pada zaman Rosulullah, fisabilillah
adalah para sukarelawan perang yang ikut berjihad bersama beliau yang tidak
mempunyai gaji tetap sehingga mereka diberi bagian dari Zakat.
Para ulama baik salaf maupun khalaf berbeda
pendapat tentang batasan fisabilillah. sebagian ada yang mempersempit, dan
sebagian memperluas. Pendapat yang memperluas menyatakan bahwa segala amal
perbuatan shaleh yang dilakukan secara ikhlas dalam rangka bertaqarrub kepada
Allah, baik yang bersifat pribadi maupun kemasyarakatan, termasuk dalam
kerangka fisabilillah. Adapun pendapat yang mempersempit menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan fisabilillah disini adalah khusus untuk jihad.
Menurut syekh yusuf Qardhawi, bahwa jihad itu
sendiri bukan hanya dalam bentuk perang saja, tapi segala perbuatan yang dapat
meninggikan kalimat Allah dimuka bumi ini dan merendahkan kalimat orang-orang
kafir. Dalam konteks kontemporer, dana Zakat dari pos fisabilillah ini
boleh digunakan untuk hal-hal seperti mendirikan pusat kegiatan bagi
kepentingan da’wah Islam yang benar dalam rangka menyampaikan risalahnya pada
orang-orang non-muslim diseluruh dunia yang didalamnya terdapat berbagai
macam agama dan aliran.
Juga untuk mendirikan pusat kegiatan Islam untuk
mendidik generasi muda Islam, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara
aqidah Islam dari kekufuran, menangkal pemikiran-pemikiran sesat yang sengaja
dihembuskan oleh musuh-musuh Islam yang berusaha untuk menghancurkan Islam.
Juga untuk mendirikan percetakan surat kabar
Islam, untuk menandingi berita-berita dari media-media yang merusak dan
menyesatkan, membela Islam dari kebohongan-kebohongan musuh-musuh Islam yang
menjelek-jelekkan Islam dengan media yang mereka miliki, serta menjelaskan
Islam secara benar.
Menolong para da’I yang menyeru pada ajaran Islam
yang benar, menolong mereka dari orang jahat dan zhalim, yang berusaha untuk
menyiksa, membunuh, mengusir, maka menolong mereka agar tetap tegak dan
istiqamah dalam menghadapi kekufuran dan kezaliman, juga termasuk fisabilillah.
Semua hal-hal yang telah disebutkan diatas apabila
dilakukan dalam rangka meninggikan kalimat Allah, dan bukan dalam rangka
fanatisme golongan, bukan dalam rangka kepentingan pribadi dan keluarga, maka
termasuk fisabilillah.
7. Ibnu Sabil
Ibnu sabil adalah orang yang sedang melakukan
perjalanan dan terputus bekalnya. Perjalanan disini adalah perjalanan yang
mempunyai nilai ibadah dan bukan perjalanan dalam rangka maksiat. Perjalanan
yang mempunyai nilai ibadah misalnya orang yang menuntut ilmu didaerah lain,
atau orang yang melakukan da’wah disuatu daerah, atau orang yang mencari kerja
disuatu negri untuk menafkahi keluarganya, kemudian apabila mereka semua
terputus bekalnya dan mereka membutuhkan harta untuk sekedar mencukupi
kebutuhan mereka, maka mereka diberi Zakat dari pos Ibnu Sabil.
Tetapi menurut para ulama,
apabila orang tersebut adalah orang kaya, maka Zakat yang diberikan
kepada mereka adalah dalam bentuk qordul hasan (pinjaman Cuma-Cuma) yang
nantinya harus ia ganti apabila ia telah mendapatkan harta yang ia miliki. Adapun apabila orang yang terputus
bekalnya bukan orang kaya, maka harta Zakat yang diberikan tidak harus
dikembalikan.
Agu 17
Penyaluran Zakat
Oleh: Al Akh Iskandar Zulkarnaen
PENYALURAN ZAKAT
Allah telah menegaskan bahwa
penyaluran Zakat hanyalah untuk orang-orang yang telah disebutkan dalam
Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60, yaitu sebanyak delapan golongan. Firman
Allah :
“Sesungguhnya shadaqah ( Zakat-Zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,
pengeuru-penguru Zakat, para muallaf
yang dibujuik hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang,
untuk dijalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
Para ulama telah sepakat atas delapan golongan
penerima Zakat yang termaktub dalam ayat diatas, tetapi mereka berbeda
pendapat tentang tafsir makna setiap golongan. Diantara mereka ada yang
mempersempit makna, sebagian lainnya memperluas.
Terlepas dari itu semua, ada hikmah yang
tersebunyi dibalik ashnaf atau golongan yang telah ditentukan Allah sebagai
mustahik Zakat. Mengapa Allah yang secara langsung mengatur golongan
yang berhak menerima Zakat ? padahal Allah telah
menyebutkan Zakat dalam Al-Qur’an secara ringkas, sebagaimana halnya
shalat, bahkan lebih ringkas dari shalat ? dalam Al-Qur’an Allah tidak
menyebutkan berapa besar Zakat, apa syarat-syaratnya, tapi
sunnahlah yang menjabarkan pelaksanaan, memperinci, dan menjelaskan dengan
keterangan-keterangan, baik berupa perkataan atau perbuatan.
Tapi mengapa Allah dalam Al-Qur’an secara langsung
menyebutkan dan memperinci orang-orang yang berhak menerima Zakat
? mengapa Allah tidak menyebutkannya secara umum saja, misalnya untuk
orang-orang yang membutuhkan tanpa memperincinya satu persatu, sebagimana
halnya kewajiban menunaikan Zakat yang disebutkan secara umum
dalam Al-Qur’an tanpa memperincinya ?
Pada masa Rosulullah, orang-orang yang serakah
dengan harta dunia, mereka tidak dapat menahan hawa nafsu ketika mereka melihat
dana sedekah dan Zakat. Mereka mengharapkan percikan harta tersebut dari
Rosulullah. Tetapi ternyata mereka tidak diperhatikan oleh Rosulullah. Mereka
mulai menggunjing dan menyerang kedudukan beliau sebagai seorang Nabi. Kemudian
turunlah ayat Al-Qur’an yang menyingkap sifat-sifat mereka yang munafik dan
serakah itu dengan menunjukan kepalsuan mereka yang hanya mementingkan
kepentingan pribadi. Dan sekaligus ayat itu menerangkan kemana sasaran Zakat
itu harus dikeluarkan. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 58-60 :
“Dan diantara mereka ada orang yang mencelamu
tentang (pembagian) sedekah-sedekah. Jika mereka diberi sebagian daripadanya,
mereka bersenang hati dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya (maka)
dengan serta merta mereka menjadi marah.
Jika mereka sungguh sungguh ridha dengan apa yang
diberikan Allah dan Rosulnya kepada mereka, dan berkata: “cukuplah Allah bagi
kami, Allah akan memberi kepada kami sebagian dari karuniaNya, dan dengan
demikian (pula) RosulNya, sesungguhnya adalah orang-orang yang berharap kepada
Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).
Sesungguhnya shadaqah ( Zakat-Zakat) itu
hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengeuru-penguru Zakat, para muallaf yang dibujuik
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk dijalan
Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
Maka dengan turunnya ayat tersebut harapan
merekapun menjadi buyar, sasaran Zakat menjadi jelas dan
masing-masing mengetahui haknya.
Dengan dijelaskannya lebih rinci oleh Allah dalam
Al Qur’an tentang penyaluran Zakat, maka para penguasa atau
petugas Zakat, atau juga lembaga-lembaga pengelola Zakat tidak dapat
membagikan Zakat sesuai dengan sekehendak hati mereka. Karena jika
demikian, hal itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, yang akan mereka gunakan untuk kepentingan pribadi mereka atau juga kepentingan
golongan mereka dan bukan untuk kepentingan Islam dan umat Islam.
Kalau kita perhatikan, sebelum Islam datang,
sejarah keuangan sudah mengenal banyak sekali berbagai macam perpajakan.
Pemungutan pajak sudah dilakukan oleh berbagai bangsa sejak dari zaman dahulu.
Hasil pemungutan pajak kemudian disimpan diperbendaharaan kerajaan atau
pemerintahan, untuk kemudian dibagikan kepada pejabat dan aparatnya dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka dan keluarganya, bahkan untuk
kemewahan dan kebesaran mereka sendiri, tanpa pedulikan segala apa yang menjadi
kebutuhan rakyat pekerja dan golongan fakir miskin yang lemah(Fiqhuzzakah,
Syekh Yusuf Qardhawi).
Itulah penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan
masyarakat sebelum datangnya Islam terhadap harta pajak. Itu semua terjadi
karena tidak adanya hukum yang secara tegas sebagaimana halnya Al-Qur’an, yang
memperinci dan mempertegas tentang penyaluran harta tersebut.
Delapan golongan mustahik Zakat
1. Fakir dan Miskin
Golongan yang pertama dan yang kedua disebutkan
dalam Al-Qur’an adalah fakir miskin. ada perbedaan pendapat diantara ulama
tentang batasan yang membedakan antara fakir dan miskin. Tetapi para ulama
sepakat bahwa baik fakir maupun miskin memiliki harta dibawah nishab Zakat,
yaitu mereka yang tidak dapat mencukupi biaya dan kebutuhan hidup sehari-hari,
baik makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan, dan lainnya,
baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti
anak dan istri (Akutansi Zakat, DR.Husain Syahatah)
Islam menjadikan fakir miskin sebagai sasaran Zakat,
membuktikan bahwa dengan Zakat Islam berusaha untuk
mengentaskan kemiskinan. Bahkan dalam Al-Qur’an golongan fakir miskin ini
disebutkan pertama kali sebelum golongan-golongan lainnya disebutkan.
Zakat bersifat konsumtif dan produktif
Menurut K.H. Didin Hafidhuddin,M.Sc., Zakat
yang disalurkan kepada golongan ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, dan dapat pula bersifat produktif, yaitu
untuk menambah modal usaha mereka. Zakat yang bersifat konsumtif antara
lain dinyatakan antara lain dalam surah Al-Baqarah ayat 273
: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang
terikat (oleh jihad) dijalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) dimuka bumi,
orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari
meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak
meminta kepada orang secara mendesak. Dan apasaja harta yang baik yang kamu
nafkahkan (dijalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui.”
Adapun penyaluran Zakat secara produktif
sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Rosulullah dikemukakan dalam sebuah
hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa
Rosulullah telah memberikan kepadanya Zakat lalu menyuruhnya untuk
dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Dalam kaitan dengan penyaluran
Zakat
yang bersifat produktif, ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Syekh Yusuf
Qardhawi, dalam bukunya yang fenomenal, yaitu Fiqh Zakat, bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun
pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang Zakat untuk kemudian
kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan
terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Dan untuk saat ini peranan pemerintah dalam
pengelolaan Zakat digantikan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat.
Menurut Didin Hafiduddin, BAZ ataupun LAZ, jika
memberikan Zakat yang bersifat produktif, harus pula melakukan pembinaan
dan pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan
dengan baik. Disamping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para
mustahik dalam kegiatan usahanya, BAZ dan LAZ juga harus memberikan pembinaan
ruhani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanan
dan keIslamanannya.
2. Amil (Petugas Zakat)
Petugas Zakat merupakan golongan
ketiga yang disebutkan oleh Allah SWT sebagai mustahik Zakat.
Zakat diberikan kepada para petugasnya baik yang kaya
maupun yang miskin. Karena Zakat yang diberikan kepada mereka
bukan karena kemiskinan mereka, bukan juga karena ketidak mampuan mereka, tapi
sebagai upah atau gaji atas kerja yang telah mereka lakukan dalam mengurus dan
mengelola harta Zakat.
Batasan Zakat
yang diberikan untuk petugas Zakat
Menurut sebagian ulama, Golongan ini berhak
mendapatkan bagian dari Zakat sebanyak 1/8 atau 12,5 %. Tapi
bukan berarti mutlak harus 12,5 %, menurut para ulama itu merupakan kadar
maksimal. Dan Zakat untuk golongan ini disesuaikan dengan seberapa
besar tugas yang dijalankannya. Apakah petugas melakukan tugas-tugas
keamilannya secara baik dan profesional, dan apakah petugas tersebut melakukan
tugasnya secara fulltime, atau hanya melaksanakan tugas sekedarnya dan dengan
waktu yang seadanya ?
Jika petugas tersebut melakukan tugas-tugas
keamilannya dengan baik, profesional dan sebagian besar waktunya digunakan
untuk mengurus dan mengelola Zakat, maka petugas tersebut berhak
untuk mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Namun apabila
melakukan tugas keamilannya sebagai sampingan, maka mereka tidak berhak untuk
mendapatkan 12,5 %, mereka hanya diberi beberapa persen saja atau menurut
kebijakan yang disesuaikan dengan seberapa besar dan seberapa banyak mereka
melakukan tugas keamilannya.
Membayar Zakat
secara langsung atau melalui petugas ?
Allah memasukan para petugas Zakat kedalam golongan
mustahik Zakat menunjukan bahwa Zakat bukanlah tugas perseorangan,
melainkan tugas kolektif. Harus ada dari suatu komunitas mengangkat orang-orang
yang bekerja untuk mengurus dan mengelola Zakat, baik itu mengumpulkan,
menyalurkan, mencatat, menghitung, dan sebagainya. Bila dalam pemerintahan
Islam, tugas ini diatur oleh negara dan memasukan dana Zakat sebagai kas negara.
Menyalurkan Zakat secara langsung memang sah
ditinjau dari hukum syariah, tetapi menyalurkan Zakat melalui lembaga
pengelola Zakat akan jauh lebih efektif daripada menyalurkannya secara
orang perorang. Ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan dengan menyalurkan
Zakat
kepada lembaga pengelola Zakat yang tidak akan diperoleh
dengan membayarkan secara langsung oleh muzakki kepada mustahik Zakat
sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab potensi Zakat, yaitu :
1.
Menjamin kepastian dan disiplin muzakki dalam membayar Zakat
2.
Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik
3.
Memperlihatkan syi’ar Islam
4.
Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam
penggunaan dana Zakat menurut skala prioritas (Zakat Dalam Perekonomian
Modern,K.H. Didin Hafidzuddin)
5.
Dapat digunakan untuk kemaslahatan umat Islam secara umum yang memerlukan dana
yang tidak sedikit. Seperti mengantisipasi upaya pemurtadan dari pihak luar,
upaya pembinaan kaum dhuafa baik dari segi ekonomi maupun pendidikannya, jihad
melawan kaum kafir yang memerangi umat Islam sebagaimana yang terjadi
dibeberapa wilayah yang ada didunia.
Jika Zakat diserahkan secara langsung
dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan
tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan
fungsi Zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat secara
umum, akan sulit diwujudkan.
Walaupun secara syariah sah menyerahkan Zakat
secara langsung, tapi menyerahkan Zakat kepada petugas Zakat
jauh lebih utama dari segi hukum syari’ah. Karena Disamping keutamaan yang
telah disebutkan diatas, menyerahkan Zakat kepada petugas Zakat
merupakan hal yang biasa dilakukan dan dicontohkan oleh Rosulullah dan
para sahabat sesudahnya. Bahkan para ulama sesudahnya pun tetap mewajibkan
penyerahan pengurusan dan pengelolaan Zakat kepada para petugas.
Disamping itu mengapa Allah memasukan Amil atau
petugas Zakat sebagai salah satu mustahik Zakat ? karena memang Zakat
itu sendiri harus ada yang mengurusnya, sehingga Allah memasukan Amil atau
petugas Zakat sebagai mustahik Zakat, sebagai upah dari tugas yang
telah mereka lakukan dalam mengelola Zakat.
Syarat-syarat Amil Zakat
Petugas Zakat harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
1. Seorang muslim. Zakat bagi kaum muslimin
mempunyai nilai ibadah disamping nilai sosial. Zakat merupakan salah
satu rukun agama Islam, yaitu rukun yang ketiga, dan Zakat merupakan bentuk
manifestasi keimanan dan ketaatan seorang muslim kepada ajaran Islam, sehingga
kepengurusannya pun tidak mungkin diserahkan kepada selain muslim yang notabene
mereka tidak mengimani ajaran Islam. Menurut para ulama boleh menjadikan non
muslim sebagai petugas, tapi tidak secara langsung mengelola dana Zakat,
melainkan mereka hanya sekedar petugas penjaga atau sebagai sopir.
2. Seorang mukallaf, yaitu orang dewasa
dan sehat akal fikirannya.
3. Memahami hukum-hukum Zakat. Para ulama
mensyaratkan petugas Zakat harus memahami hukum-hukum Zakat,
khususnya petugas yang secara langsung bergelut dengan Zakat, karena mereka yang
nantinya akan mengambil, mencatat dan menyalurkan kepada para mustahik, dan
semua itu membutuhkan kepada pengetahuan tentang Zakat supaya tidak salah
dalam perhitungan dan salah dalam penyaluran. Adapun petugas yang tidak secara
langsung bergelut dengan Zakat, maka tidak disyaratkan untuk
mengetahui hukum-hukum Zakat.
Tapi alangkah lebih baiknya merekapun mengetahui
hukum-hukum standar minimal Zakat, karena bagaimanapun
masyarakat tetap melihat petugas tersebut adalah petugas Zakat. Pemahaman terhadap
hukum-hukum Zakat bagi seorang petugas Zakat disebuah lembaga pengelola Zakat
akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut.
Ketika kita sebagai petugas Zakat tidak mengetahui suatu hukum Zakat
yang ditanyakan oleh masyarakat, maka masyarakatpun akan bertanya-tanya,
bagaimana para petugas Zakat akan mengelola dana Zakat,
sedangkan mereka sendiri tidak tahu tentang Zakat ?
4. Jujur dan amanah. Kejujuran dan amanah adalah
dua hal yang harus dimiliki oleh seorang petugas Zakat. Karena mereka
sehari-harinya akan berhubungan dengan dana Zakat yang tidak sedikit.
Kejujuran dan amanah juga akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Jika
dihadapan masyarakat para petugas Zakat memperlihatkan sifat jujur dan
amanah, maka masyarakat akan memberikan kepercayaannya kepada lembaga pengelola
Zakat
dimana petugas Zakat itu berada, yang dampaknya mereka akan semakin tenang
untuk menyalurkan Zakatnya kepada lembaga tersebut, Begitupun sebaliknya.
5. Sanggup dan mampu melaksanakan tugas. Disamping
syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, seorang petugas Zakat
juga harus mampu melaksanakan tugas, dalam artian kompeten dengan tugas yang
diembannya baik dari segi fisik maupun keilmuan dan pengetahuan. Allah
menceritakan kisah nabi Yusuf yang berkata kepada raja, “ Jadikanlah aku
bendaharawan negara (mesir) karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai
menjaga lagi berpengetahuan.” Kata menjaga (hifzu) berarti kata kerja yang
berhubungan dengan kemampuan dari segi fisik. Sedangkan kata alim,
berarti mempunyai ilmu dan berpengetahuan.
Yang harus diperhatikan oleh lembaga pengelola Zakat
1. Kelembagaan
- Sistem
- Visi Misi
- Aliansi Strategis
- Susunan Organisasi
- Program
- Legalitas
- Rencana Kerja
- Evaluasi Kerja
- Sosialisasi
- Publikasi
2. SDM
- Jujur dan Amanah
- Kompeten dan Kapabel
- Kreatif dan Inovatif
- Comunication skill
- Manajerial Skill
- Leadership Skill
- Teamwork Building
- Negotiation Skill
- Making
Decision
3. Muallaf
Muallafah qulubuhum
sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur’an menurut para ulama
diperuntukkan untuk dua jenis orang, yaitu kafir dan muslim dengan
ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1. Orang kafir
- Orang kafir yang diharapkan masuk Islam. Mereka
diberi Zakat untuk mendorong mereka agar masuk Islam sebagaimana yang
dilakukan Rasulullah Saw kepada Sofwan Bin Umayyah pada saat ia masih kafir.
- Orang yang dikhawatirkan
kejelekan atau kejahatannya dengan harapan pemberian Zakat tersebut menghentikan
kejahatannya.
2. Orang
Islam
- Golongan yang baru memeluk
Islam. Zakat diberikan kepada mereka dalam rangka memperkuat dan
menambah keyakinan mereka terhadap Islam.
- Orang Islam yang lemah imannya
dan dikhawatirkan akan menjadi murtad
- Pemimpin dan tokoh masyarakat yang
telah memeluk Islam yang masih mempunyai sahabat-sahabat orang kafir. Dengan
memberi mereka Zakat, diharapkan dapat menarik simpati sahabat-sahabatnya yang
masih kafir untuk memeluk Islam. Diceritakan bahwa Abu Bakar pernah memberi Zakat
kepada Adi Bin Hatim dan Zibriqan Bin Badr, padahal keduanya muslim yang
taat, akan tetapi mereka mempunyai posisi terhormat dikalangan masyarakatnya
(Tafsir Al-Manar)
Menurut pakar Zakat
Didin Hafidhuddin, pada saat sekarang bagian muallaf dapat diberikan kepada
lembaga-lembaga da’wah yang mengkhususkan garapannya untuk menyebarkan Islam
didaerah-daerah terpencil dan disuku-suku terasing yang belum mengenal Islam.
Juga dapat dialokasikan pada lembaga-lembaga da’wah yang bertugas melakukan
balasan dan jawaban dalam rangka mengcounter pemahaman-pemahaman buruk tentang
Islam yang dilontarkan oleh misi-misi agama tertentu yang kini sudah semakin
merajarela, Juga dapat diberikan kepada lembaga-lembaga yang biasa melakukan
training-training keIslaman bagi orang-orang yang baru masuk Islam, Atau juga
untuk mencetak berbagai brosur dan media informasi lainnya yang dikhususkan
bagi mereka yang baru masuk Islam.
4. Riqab (memerdekakan
budak)
Hendaklah Zakat difungsikan untuk membebaskan
budak. Disamping dengan Zakat Islam berusaha untuk
mengentaskan kemiskinan, juga berusaha untuk membebaskan perbudakan, dan
sarana-sarana yang ada dalam Islam untuk membebaskan budak bukan hanya dengan Zakat
saja, tapi juga ada sarana-sarana lainnya seperti kifarat sumpah. Sebagaimana
yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 89 :
“ …Maka kafarat (melanggar)
sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang
biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau
memerdekakan seorang budak…”
Juga dalam kifarat dzihar, sebagaimana yang
tercantum dalam surah Al Mujadilah ayat 3 :
“Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian
mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, mak (wajib atasnya)
memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur….”
Menurut para ulama, bahwa cara membebaskan
perbudakan ini biasanya dilakukan dengan dua cara :
1. Pembebasan diri hamba mukatab, yaitu budak yang
telah membuat kesepakatan dan perjanjian dengan tuannya, bahwa dia sanggup
membayar sejumlah harta (misalnya uang) untuk membebaskan dirinya. Hal
ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surah Annur ayat 33 :
“Dan budak-budak yang kamu miliki yang
menginginkan perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetaui ada kebaikan pada
diri mereka, dan berikanla kepada mereka sebagian harta yang dikaruniakan Alla
kepada kamu…”
2. Uang Zakat yang terkumpul dari para
muzakki, dengan uang Zakat itu kemudian dipakai untuk
membeli dan membebaskan budak.
Ada sebagian masyarakat yang salah persepsi
tentang golongan ini dalam konteks kontemporer. Mereka menganggap bahwa tenaga
kerja (TKI) berhak untuk mendapatkan Zakat dengan dianalogikan kepada golongan
ini. sebenarnya jika TKI tersebut tidak mampu dari segi keuangan sedangkan dia
sendiri mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, maka ia diberikan Zakat
atas nama golongan fakir miskin dan bukan dari golongan Riqab. Jika ia
memerlukan uang untuk pulang ke tanah airnya dikarenakan ada suatu hal, maka ia
boleh dibantu atas nama Ibnu Sabil.
Jika kita menganggap bahwa TKI berhak mendapatkan Zakat
dengan dianalogikan kepada golongan Riqab, maka akan banyak sekali dana Zakat
yang disalurkan kepada orang yang tidak seharusnya menerima Zakat.
Karena banyak sekali diantara TKI, mereka pulang ketanah air dengan membawa
uang yang tidak sedikit sehingga mereka tidak perlu dibantu dari dana Zakat.
Bahkan banyak diantara mereka yang lebih layak disebut muzakki dari pada
disebut mustahik. Dana Zakat diberikan hanya untuk para TKI
yang memang sangat membutuhkan, itupun diambil atas nama fakir miskin, karena
keadaan mereka yang miskin.
Menurut DR. Husayn Syahatah dalam bukunya yang
berjudul Akuntansi Zakat, termasuk kategori pembebasan budak dalam konteks
kontemporer adalah membantu pembebasan tawanan muslim dari tangan kaum kafir,
disamping dalam pembebasan tersebut terdapat penjagaan terhadap kehormatan
Islam dan penjagaan kaum muslimin dari kaum kafir.
5. Gharimin (orang yang berhutang)
Menurut Abu Hanifah, gharim adalah orang yang
mempunyai hutang, dan dia tidak memiliki bagian yang lebih dari hutangnya.
Menurut Imam Malik, Syafi’I
dan Ahmad, bahwa orang yang mempunyai hutang terbagi kepada dua golongan. Pertama, orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan
diri dan keluarganya. Kemaslahatan ini adalah kemaslahatan yang digunakan untuk
kebutuhan pokok bagi diri dan keluarganya, seperti kebutuhan makan, kebutuhan
akan pakaian, untuk pengobatan, pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya. Kedua,
orang yang berutang untuk kemaslahatan umum. Contohnya orang yang
mendamaikan dua pihak yang bersengketa, tetapi membutuhkan dana yang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar