BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kelahiran
Ushul
Fikih tidak terlepas dari Sejarah kelahirannya. Ilmu ini tidak
berdiri sendiri melainkan melalui proses panjang hingga terbentuklah Ushul
Fikih. Kajian historis mengenai bidang ini perlu dipelajari mengingat
betapa pentingnya ilmu fikih. Oleh karenanya, melalui makalah sederhana ini,
penulis mencoba menguraikan histografi Ushul Fikih dan fase-fase
perkembangannya hingga mencapain kematangan sebagai suatu disiplin ilmu islam.
B.
Rumusan Masalah
Beberapa
rumusan masalah yang hendak dikaji oleh dalam makalah ini adalah sebagai
berikut.
1.
Bagaimana
Sejarah
lahirnya ilmu Ushul Fikih?
2.
Bagaimana
fase-fase pekembangan Ushul Fikih?
C.
Tujuan
Adapun
tujuan dari disusunnya makalah ini adalah.
1.
Menjelaskan
Sejarah
lahirnya ilmu Ushul Fikih
2.
Menjelaskan
fase-fase perkembangan Ushul Fikih
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Kaidah Fiqih
Beberapa
peneliti menjelaskan Sejarah kaidah dengan menentukan
periodesasinya menjadi tiga bagian: zaman pertumbuhan dean pembentukan (tawr
al-nusyu’wa al-takwin), zaman perkembangan dan kodifikasi (tawr al-namu
wa al tadwin), dan zaman kematangan dan penyempurnaan (tawr al-rusukh wa
al-tansiq). Dengan demikian, fase-fase tersebut beserta cirri-ciri
khususnya kita jelaskan pada bagian berikut.
1.
Fase
pertumbuhan dan pembentukan (Abad 1-3 H)
Masa
pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih; dari zaman
kerasulan hingga zaman hijrah. Peroide ini dari segi fase Sejarah hukum islam,
dapat dibagi menjadi tiga decade; zaman Nabi Muhammad SAW yang berlangsung 22
tahun (610-632 M/12SH-10H); zaman tabiin’ dan zaman tabi’ al-tabiín yang
berlangsung selam 250 tahun (724-974 M/100-351 H). Tahun 351 H dianggap sebagai
zaman kejumudan karena tidak ada lagi ulama pendiri mazhab. Ulama mazhab
terakhir adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H/734 M) yang mendirikan mazhab
Jahiriah. Artinya bahwa ketika islam ada pada puncakm kejayaan, kaidah fiqih
baru dibentuk dan ditumbuhkan. Cirri kaidah yang dominan adalah jawamil
kamil (kalimatnya ringkas tapi maknanya luas). Atas dasar cirri dominan
tersebut, hadits yang mempunyai cirri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqih.
Oleh karena itulah, periodesasi Sejarah fiqih dimulai sejak zaman
Nabi Muhammad SAW.
Beberapa
sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fikih adalah.
“Pajak itu disertai imbalan jaminan”
“Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak dipersulit (oleh
orang lain).”
“Bukti dibebankan kepada penggugat dan sampah dibebankan kepada
tergugat.”
“Benda
yang memabukkan ketika banyak (dinakan atau diminum), sedikitpun (memakan atau
meminumnya) adalah haram.”
Demikian
sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fikih. Sebagaimana telah
dikatakan sebelumnya bahwa periode ini berlangsung selama tiga abad. Generasi
setelah Nabi Muhammad SAW disebut sebagai generasi sahabat. Sahabat berjasa
dalam ilmu fikih karena turut serta membentuk kaidah fikih.
2.
Fase
perkembangan dan kodifikasi
Dalam
Sejarah
hukum islam, abad ke-4 H dikenal sebagai zaman taqlid. Taqlid adalah
mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui alasannya (qabul qawl man la yadri
min ayna yaqul). Pada zaman ini, sebagian ulama melakukan tarjih pendapat
imam mazhabnya masing-masing. Yang dilakukan ulama pengikut mazhab adalah ilhaq
(melakukan analogi atau qiyas). Menurut
Ibnu Khaldun, ketika mazhab tiap imam fikih menjadi ilmu khusus bagi pengikutnya
dan tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad, ulama melakukan tandzir (penyamaan) masalah-masalah
untuk dihubungkan serta memilahnya ketika terjadi ketidakjelasan setelah
menyederhanakannya kepada dasar-dasar tertentu dari mazhab mereka.
Sebagai
contoh kaidah fikih yang berkembang pada masa ini adalah kaidah-kaidah fikih
Abu Thahir al-Dabbas.
“Setiap perkara bergantung pada niatnya”
“keyakinan
tidak hilang dengan keraguan”
“Kesulitan mendatangkan
kemudahan”
“Kesulitan (harus) dihilangkan”
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
3.
Fase
kematangan dan penyempurnaan
Aliran
hukum Sunni yang berjasa dalam pembentukan kaidah fiqih pada zaman pertumbuhan
adalah hanafiah. Tokohnya adalah al-Karkhi dan al-Dabusi. Tetapi peran ini
bergeser pada abad VI dan VII H, aliran Hanafi mengalami stignasi. Pada zaman
stagnasi ini muncul kitab Syarah Ushul al-Karkhi yang disusun oleh Najm
al-Din Abu Hafs al-Nasafi (w.537).
Sekalipun
dikatakan sebagai aliran stagnasi, tidak berarti dalam aliran ini tidak
terdapat pengembangan kaidah fikih sama sekali. Pada zaman ini, muncul pengikut
Hanafi lainnya seperti Qadhi Khan dan Husairi yang menjadikan fikih salah satu
media dalam menentukan illat dan mentarjih pendapat ulama. Abad VII H merupakan
zaman kejayaan mazhab Syafií.
Sekalipun
ditulis sejak lama, kaidah fikih masih bercampur dengan displin ilmu-ilmu
lainnya. Oleh karena itu, pada abad XII H muncul Majallat al-ahkam al-‘adiyat yang disusun oleh Laznah Fuqaha
Ustmaniyah. Para fuqaha merangkum dan memilah kaidah fikih dari
sumber-sumbernya, seperti al-Asybab wa
al-Nazha’ir karya Ibnu Nujaim, dan Majmu’
al-Haqa’iq karya al-Khadimi.
Abad
X H dianggap sebagai periodesasi kesenmpurnaan kaidah fikih. Meskipun demikian
tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fikih pada zaman
sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah.
“Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain kecuali ada
izin dari pemiliknya.”
Kadiah
tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih nenjadi idzn. Oleh
karena itu, kaidah fikih tersebut adalah.
“Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
Kaidah
pertama menunjukkan bahwa izin diperoleh hanya dari pemilik harta, sedangkan
menurut kaidah kedua izin boleh dari pemilik benda, syar’, atau al-urf.
B.
Sumber-sumber
Kaidah Fiqih
Berikut ini akan disajikan rujukan-rujukan
terpenting dalam disiplin ilmu kaidah fikih dalam mazhab hokum Sunni, yaitu
Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali.
1. Buku-Buku kaidah Fikih Hanafiah
a. Ushul al-karkhi karya al-karkhi (260-340)
b. Ta’sis al-Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi
(w.430 H)
c. Al-Asybab wa al-Nazhar karya Ibnu Nujaim
(w.970 H)
2. Buku-Buku kaidah Fikih Malikiah
a. Ushul al-Futuya karya Muhammad Ibnu Haris
al-Husyni (w. 361 H)
b. Al-Furuq karya al-Qurafi (w. 684 H)
c. Al-Qawaid karya al-Maqqari (w. 758 H)
3. Buku-Buku kaidah Fikih Syafi’iah
a. Qawaid al-ahkam fi Mashalih al-anam karya
Ibnu “Abd al-Salam (w. 660 H)
b. Al-Asybab wa al-Nazha’ir karya Ibnu Wakil
(w. 716 H)
c. Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Qawaid al-Madzhab
karya al-ala’I (w. 761 H)
4. Buku-Buku kaidah Fikih Hanabilah
a. Al-Qawaid al-Nuranniyyat al-Fiqhiyyat
karya Ibnu Taimah (w. 728 H)
b. Al-Qawaid al-Fiqhiyyat dinisbatkan kepada
Ibnu Qadhi al-jabal (w. 771 H)
c. Al-Qawaid karya Ibnu Rajab (w. 795 H)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.
Kaidah fikih pada masa Rasulullah SAW dikenal sebagai fase
pertumbuhan dan pembentukan kaidah fikih. Pada masa ini dikenal sebagai
2.
Memasuki abad ke-4 H, usul fikih mengalami fase kodifikasi dan
perkembangan.
3.
Fase kematangan dimulai sejak abad XI, dimana lahir ulama’-ulama’
yang menciptakan kitab-kitab Ushul Fikih.
B.
Saran
Ushul Fikih merupakan jantung hokum islam. Mempelajarinya untuk mendalam ilmu
fikih adalah wajib hukumnya.
Daftar Pustaka
Mubarok, Jaih.
2002. Kaidah Fiqih; Sejarah Dan Kaidah Asasi. Jakarta: Grafindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar