Selasa, 17 April 2012

Zakat


Delapan golongan mustahik Zakat
1. Fakir dan Miskin
Golongan yang pertama dan yang kedua disebutkan dalam Al-Qur’an adalah fakir miskin. ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang batasan yang membedakan antara fakir dan miskin. Tetapi para ulama sepakat bahwa baik fakir maupun miskin memiliki harta dibawah nishab Zakat, yaitu mereka yang tidak dapat mencukupi biaya dan kebutuhan hidup sehari-hari, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan, dan lainnya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak dan istri (Akutansi Zakat, DR.Husain Syahatah)
Islam menjadikan fakir miskin sebagai sasaran Zakat, membuktikan bahwa dengan Zakat Islam berusaha untuk mengentaskan kemiskinan. Bahkan dalam Al-Qur’an golongan fakir miskin ini disebutkan pertama kali sebelum golongan-golongan lainnya disebutkan.
Zakat bersifat konsumtif dan produktif
Menurut K.H. Didin Hafidhuddin,M.Sc., Zakat yang disalurkan kepada golongan ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usaha mereka. Zakat yang bersifat konsumtif antara lain dinyatakan antara lain dalam surah Al-Baqarah ayat 273

: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) dimuka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apasaja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui.”
Adapun penyaluran Zakat secara produktif sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Rosulullah dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rosulullah telah memberikan kepadanya Zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Dalam kaitan dengan penyaluran Zakat yang bersifat produktif, ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Syekh Yusuf Qardhawi, dalam bukunya yang fenomenal, yaitu Fiqh Zakat, bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang Zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Dan untuk saat ini peranan pemerintah dalam pengelolaan Zakat digantikan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat.
Menurut Didin Hafiduddin, BAZ ataupun LAZ, jika memberikan Zakat yang bersifat produktif, harus pula melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Disamping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik dalam kegiatan usahanya, BAZ dan LAZ juga harus memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keIslamanannya.
2. Amil (Petugas Zakat)
Petugas Zakat merupakan golongan ketiga yang disebutkan oleh Allah SWT  sebagai mustahik Zakat. Zakat diberikan kepada para petugasnya baik yang kaya maupun yang miskin. Karena Zakat yang diberikan kepada mereka bukan karena kemiskinan mereka, bukan juga karena ketidak mampuan mereka, tapi sebagai upah atau gaji atas kerja yang telah mereka lakukan dalam mengurus dan mengelola harta Zakat.
Batasan Zakat yang diberikan untuk petugas Zakat
Menurut sebagian ulama, Golongan ini berhak mendapatkan bagian dari Zakat sebanyak 1/8 atau 12,5 %. Tapi bukan berarti mutlak harus 12,5 %, menurut para ulama itu merupakan kadar maksimal. Dan Zakat untuk golongan ini  disesuaikan dengan seberapa besar tugas yang dijalankannya. Apakah petugas melakukan tugas-tugas keamilannya secara baik dan profesional, dan apakah petugas tersebut melakukan tugasnya secara fulltime, atau hanya melaksanakan tugas sekedarnya dan dengan waktu yang seadanya ?
Jika petugas tersebut melakukan tugas-tugas keamilannya dengan baik, profesional dan sebagian besar waktunya digunakan untuk mengurus dan mengelola Zakat, maka petugas tersebut berhak untuk mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Namun apabila melakukan tugas keamilannya sebagai sampingan, maka mereka tidak berhak untuk mendapatkan 12,5 %, mereka hanya diberi beberapa persen saja atau menurut kebijakan yang disesuaikan dengan seberapa besar dan seberapa banyak mereka melakukan tugas keamilannya.
Membayar Zakat secara langsung atau melalui petugas ?
Allah memasukan para petugas Zakat kedalam golongan mustahik Zakat menunjukan bahwa Zakat bukanlah tugas perseorangan, melainkan tugas kolektif. Harus ada dari suatu komunitas mengangkat orang-orang yang bekerja untuk mengurus dan mengelola Zakat, baik itu mengumpulkan, menyalurkan, mencatat, menghitung, dan sebagainya. Bila dalam pemerintahan Islam, tugas ini diatur oleh negara dan memasukan dana Zakat sebagai kas negara.
Menyalurkan Zakat secara langsung memang sah ditinjau dari hukum syariah, tetapi menyalurkan Zakat melalui lembaga pengelola Zakat akan jauh lebih efektif daripada menyalurkannya secara orang perorang. Ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan dengan menyalurkan Zakat kepada lembaga pengelola Zakat yang tidak akan diperoleh dengan membayarkan secara langsung oleh muzakki kepada mustahik Zakat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab potensi Zakat, yaitu :
1.         Menjamin kepastian dan disiplin muzakki dalam membayar Zakat
2.         Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik
3.         Memperlihatkan syi’ar Islam
4.         Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan dana Zakat menurut skala prioritas (Zakat Dalam Perekonomian Modern,K.H. Didin Hafidzuddin)
5.         Dapat digunakan untuk kemaslahatan umat Islam secara umum yang memerlukan dana yang tidak sedikit. Seperti mengantisipasi upaya pemurtadan dari pihak luar, upaya pembinaan kaum dhuafa baik dari segi ekonomi maupun pendidikannya, jihad melawan kaum kafir yang memerangi umat Islam sebagaimana yang terjadi dibeberapa wilayah yang ada didunia.
Jika Zakat diserahkan secara langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi Zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat secara umum, akan sulit diwujudkan.
Walaupun secara syariah sah menyerahkan Zakat secara langsung, tapi menyerahkan Zakat kepada petugas Zakat jauh lebih utama dari segi hukum syari’ah. Karena Disamping keutamaan yang telah disebutkan diatas,  menyerahkan Zakat kepada petugas  Zakat  merupakan hal yang biasa dilakukan dan dicontohkan oleh  Rosulullah dan para sahabat sesudahnya. Bahkan para ulama sesudahnya pun tetap mewajibkan penyerahan pengurusan dan pengelolaan Zakat kepada para petugas.
Disamping itu mengapa Allah memasukan Amil atau petugas Zakat sebagai salah satu mustahik Zakat ? karena memang Zakat itu sendiri harus ada yang mengurusnya, sehingga Allah memasukan Amil atau petugas Zakat sebagai mustahik Zakat, sebagai upah dari tugas yang telah mereka lakukan dalam mengelola Zakat.
Syarat-syarat Amil Zakat
Petugas Zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut  :
1. Seorang muslim. Zakat bagi kaum muslimin mempunyai nilai ibadah disamping nilai sosial. Zakat merupakan salah satu rukun agama Islam, yaitu rukun yang ketiga, dan Zakat merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketaatan seorang muslim kepada ajaran Islam, sehingga kepengurusannya pun tidak mungkin diserahkan kepada selain muslim yang notabene mereka tidak mengimani ajaran Islam. Menurut para ulama boleh menjadikan non muslim sebagai petugas, tapi tidak secara langsung mengelola dana Zakat, melainkan mereka hanya sekedar petugas penjaga atau sebagai sopir.
2.  Seorang mukallaf, yaitu orang dewasa dan  sehat akal fikirannya.
3. Memahami hukum-hukum Zakat. Para ulama mensyaratkan petugas Zakat harus memahami hukum-hukum Zakat, khususnya petugas yang secara langsung bergelut dengan Zakat, karena mereka yang nantinya akan mengambil, mencatat dan menyalurkan kepada para mustahik, dan semua itu membutuhkan kepada pengetahuan tentang Zakat supaya tidak salah dalam perhitungan dan salah dalam penyaluran. Adapun petugas yang tidak secara langsung bergelut dengan Zakat, maka tidak disyaratkan untuk mengetahui hukum-hukum Zakat.
Tapi alangkah lebih baiknya merekapun mengetahui hukum-hukum standar minimal Zakat, karena bagaimanapun masyarakat tetap melihat petugas tersebut adalah petugas Zakat. Pemahaman terhadap hukum-hukum Zakat bagi seorang petugas Zakat disebuah lembaga pengelola Zakat akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Ketika kita sebagai petugas Zakat tidak mengetahui suatu hukum Zakat yang ditanyakan oleh masyarakat, maka masyarakatpun akan bertanya-tanya, bagaimana para petugas Zakat akan mengelola dana Zakat, sedangkan mereka sendiri tidak tahu tentang Zakat ?
4. Jujur dan amanah. Kejujuran dan amanah adalah dua hal yang harus dimiliki oleh seorang petugas Zakat. Karena mereka sehari-harinya akan berhubungan dengan dana Zakat yang tidak sedikit. Kejujuran dan amanah juga akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Jika dihadapan masyarakat para petugas Zakat memperlihatkan sifat jujur dan amanah, maka masyarakat akan memberikan kepercayaannya kepada lembaga pengelola Zakat dimana petugas Zakat itu berada, yang dampaknya mereka akan semakin tenang untuk menyalurkan Zakatnya kepada lembaga tersebut, Begitupun sebaliknya.
5. Sanggup dan mampu melaksanakan tugas. Disamping syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, seorang petugas Zakat juga harus mampu melaksanakan tugas, dalam artian kompeten dengan tugas yang diembannya baik dari segi fisik maupun keilmuan dan pengetahuan. Allah menceritakan kisah nabi Yusuf yang berkata kepada raja, “ Jadikanlah aku bendaharawan negara (mesir) karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” Kata menjaga (hifzu) berarti kata kerja yang berhubungan dengan kemampuan dari segi fisik. Sedangkan kata alim, berarti mempunyai ilmu dan berpengetahuan.
Yang harus diperhatikan oleh lembaga pengelola Zakat
1.  Kelembagaan
-  Sistem
-  Visi Misi
-  Aliansi Strategis
-  Susunan Organisasi
-   Program
-   Legalitas
-   Rencana Kerja
-   Evaluasi Kerja
-  Sosialisasi
-  Publikasi  
2.  SDM
-  Jujur dan Amanah
-  Kompeten dan Kapabel
-  Kreatif dan Inovatif
-  Comunication skill
-  Manajerial Skill
-  Leadership Skill
-  Teamwork Building
-  Negotiation Skill
-  Making Decision  
3. Muallaf 
Muallafah qulubuhum sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur’an menurut para ulama diperuntukkan untuk dua jenis orang, yaitu kafir dan muslim dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1.  Orang kafir
-    Orang kafir yang diharapkan masuk Islam. Mereka diberi Zakat untuk mendorong mereka agar masuk Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw kepada Sofwan Bin Umayyah pada saat ia masih kafir.
-    Orang yang dikhawatirkan kejelekan atau kejahatannya dengan harapan pemberian Zakat tersebut menghentikan kejahatannya.

2.   Orang Islam
-   Golongan yang baru memeluk Islam. Zakat diberikan kepada mereka dalam rangka memperkuat dan menambah keyakinan mereka terhadap Islam.
-   Orang Islam yang lemah imannya dan dikhawatirkan akan menjadi murtad
-  Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam yang masih mempunyai sahabat-sahabat orang kafir. Dengan memberi mereka Zakat, diharapkan dapat menarik simpati sahabat-sahabatnya yang masih kafir untuk memeluk Islam. Diceritakan bahwa Abu Bakar pernah memberi Zakat kepada Adi Bin Hatim dan Zibriqan Bin Badr,  padahal keduanya muslim yang taat, akan tetapi mereka mempunyai posisi terhormat dikalangan masyarakatnya (Tafsir Al-Manar)

Menurut pakar Zakat Didin Hafidhuddin, pada saat sekarang bagian muallaf dapat diberikan kepada lembaga-lembaga da’wah yang mengkhususkan garapannya untuk menyebarkan Islam didaerah-daerah terpencil dan disuku-suku terasing yang belum mengenal Islam. Juga dapat dialokasikan pada lembaga-lembaga da’wah yang bertugas melakukan balasan dan jawaban dalam rangka mengcounter pemahaman-pemahaman buruk tentang Islam yang dilontarkan oleh misi-misi agama tertentu yang kini sudah semakin merajarela, Juga dapat diberikan kepada lembaga-lembaga yang biasa melakukan training-training keIslaman bagi orang-orang yang baru masuk Islam, Atau juga untuk mencetak berbagai brosur dan media informasi lainnya yang dikhususkan bagi mereka yang baru masuk Islam.

4. Riqab (memerdekakan budak)

Hendaklah Zakat difungsikan untuk membebaskan budak. Disamping dengan Zakat Islam berusaha untuk mengentaskan kemiskinan, juga berusaha untuk membebaskan perbudakan, dan sarana-sarana yang ada dalam Islam untuk membebaskan budak bukan hanya dengan Zakat saja, tapi juga ada sarana-sarana lainnya seperti kifarat sumpah. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 89 :  
“ …Maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak…” 
Juga dalam kifarat dzihar, sebagaimana yang tercantum dalam surah Al Mujadilah ayat 3 :

“Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, mak (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur….” 
Menurut para ulama, bahwa cara membebaskan perbudakan ini biasanya dilakukan dengan dua cara :
1. Pembebasan diri hamba mukatab, yaitu budak yang telah membuat kesepakatan dan perjanjian dengan tuannya, bahwa dia sanggup membayar sejumlah harta (misalnya uang) untuk membebaskan dirinya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surah Annur ayat 33 :

Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetaui ada kebaikan pada diri mereka, dan berikanla kepada mereka sebagian harta yang dikaruniakan Alla kepada kamu…”
2. Uang Zakat yang terkumpul dari para muzakki, dengan uang Zakat itu kemudian dipakai untuk membeli dan membebaskan budak.
Ada sebagian masyarakat yang salah persepsi tentang golongan ini dalam konteks kontemporer. Mereka menganggap bahwa tenaga kerja (TKI) berhak untuk mendapatkan Zakat dengan dianalogikan kepada golongan ini. sebenarnya jika TKI tersebut tidak mampu dari segi keuangan sedangkan dia sendiri mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, maka ia diberikan Zakat atas nama golongan fakir miskin dan bukan dari golongan Riqab. Jika ia memerlukan uang untuk pulang ke tanah airnya dikarenakan ada suatu hal, maka ia boleh dibantu atas nama Ibnu Sabil.
Jika kita menganggap bahwa TKI berhak mendapatkan Zakat dengan dianalogikan kepada golongan Riqab, maka akan banyak sekali dana Zakat yang disalurkan kepada orang yang tidak seharusnya menerima Zakat. Karena banyak sekali diantara TKI, mereka pulang ketanah air dengan membawa uang yang tidak sedikit sehingga mereka tidak perlu dibantu dari dana Zakat. Bahkan banyak diantara mereka yang lebih layak disebut muzakki dari pada disebut mustahik. Dana Zakat diberikan hanya untuk para TKI yang memang sangat membutuhkan, itupun diambil atas nama fakir miskin, karena keadaan mereka yang miskin.
Menurut DR. Husayn Syahatah dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Zakat, termasuk kategori pembebasan budak dalam konteks kontemporer adalah membantu pembebasan tawanan muslim dari tangan kaum kafir, disamping dalam pembebasan tersebut terdapat penjagaan terhadap kehormatan Islam dan penjagaan kaum muslimin dari kaum kafir.

5. Gharimin (orang yang berhutang)
Menurut Abu Hanifah, gharim adalah orang yang mempunyai hutang, dan dia tidak memiliki bagian yang lebih dari hutangnya.
Menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad, bahwa orang yang mempunyai hutang terbagi kepada dua golongan. Pertama, orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan diri dan keluarganya. Kemaslahatan ini adalah kemaslahatan yang digunakan untuk kebutuhan pokok bagi diri dan keluarganya, seperti kebutuhan makan, kebutuhan akan pakaian, untuk pengobatan, pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya. Kedua,  orang yang berutang untuk kemaslahatan umum. Contohnya orang yang mendamaikan dua pihak yang bersengketa, tetapi membutuhkan dana yang lumayan besar, sehingga ia harus berhutang. Atau orang yang melakukan amal-amal kebaikan, seperti memelihara anak-anak yatim, mengurus orang-orang lanjut usia, mendirikan tempat pendidikan untuk kaum dhuafa, dan lain sebagainya.
Menurut Syekh Yusuf  Qardhawi, orang yang mengalami musibah dan bencana dalam hartanya, sedangkan ia mempunyai kebutuhan yang mendesak sehingga ia harus meminjam dari orang lain, berhak untuk mendapatkan Zakat. Imam Mujahid berkata : “Tiga kelompok orang yang termasuk mempunyai hutang; orang yang hartanya terbawa banjir, orang yang hartanya musnah terbakar, dan orang yang mempunyai keluarga akan tetapi tidak mempunyai harta, sehingga ia berhutang untuk menafkahi keluarganya.”

6. Fisabilillah (dijalan Allah)
Secara umum makna dari fisabilillah ini segala amal perbuatan dalam rangka dijalan Allah. Pada zaman Rosulullah, fisabilillah adalah para sukarelawan perang yang ikut berjihad bersama beliau yang tidak mempunyai gaji tetap sehingga mereka diberi bagian dari Zakat.
Para ulama baik salaf maupun khalaf  berbeda pendapat tentang batasan fisabilillah. sebagian ada yang mempersempit, dan sebagian memperluas. Pendapat yang memperluas menyatakan bahwa segala amal perbuatan shaleh yang dilakukan secara ikhlas dalam rangka bertaqarrub kepada Allah, baik yang bersifat pribadi maupun kemasyarakatan, termasuk dalam kerangka fisabilillah. Adapun pendapat yang mempersempit menyatakan bahwa yang dimaksud dengan fisabilillah disini adalah khusus untuk jihad.
Menurut syekh yusuf Qardhawi, bahwa jihad itu sendiri bukan hanya dalam bentuk perang saja, tapi segala perbuatan yang dapat meninggikan kalimat Allah dimuka bumi ini dan merendahkan kalimat orang-orang kafir. Dalam konteks kontemporer, dana Zakat dari pos fisabilillah ini boleh digunakan untuk hal-hal seperti mendirikan pusat kegiatan bagi kepentingan da’wah Islam yang benar dalam rangka menyampaikan risalahnya pada orang-orang non-muslim diseluruh dunia yang didalamnya terdapat berbagai macam  agama dan aliran.
Juga untuk mendirikan pusat kegiatan Islam untuk mendidik generasi muda Islam, menjelaskan ajaran Islam yang benar, memelihara aqidah Islam dari kekufuran, menangkal pemikiran-pemikiran sesat yang sengaja dihembuskan oleh musuh-musuh Islam yang berusaha untuk menghancurkan Islam.
Juga untuk mendirikan percetakan surat kabar Islam, untuk menandingi berita-berita dari media-media yang merusak dan menyesatkan, membela Islam dari kebohongan-kebohongan musuh-musuh Islam yang menjelek-jelekkan Islam dengan media yang mereka miliki, serta menjelaskan Islam secara benar.
Menolong para da’I yang menyeru pada ajaran Islam yang benar, menolong mereka dari orang jahat dan zhalim, yang berusaha untuk menyiksa, membunuh, mengusir, maka menolong mereka agar tetap tegak dan istiqamah dalam menghadapi kekufuran dan kezaliman, juga termasuk fisabilillah.
Semua hal-hal yang telah disebutkan diatas apabila dilakukan dalam rangka meninggikan kalimat Allah, dan bukan dalam rangka fanatisme golongan, bukan dalam rangka kepentingan pribadi dan keluarga, maka termasuk fisabilillah.
7. Ibnu Sabil
Ibnu sabil adalah orang yang sedang melakukan perjalanan dan terputus bekalnya. Perjalanan disini adalah perjalanan yang mempunyai nilai ibadah dan bukan perjalanan dalam rangka maksiat. Perjalanan yang mempunyai nilai ibadah misalnya orang yang menuntut ilmu didaerah lain, atau orang yang melakukan da’wah disuatu daerah, atau orang yang mencari kerja disuatu negri untuk menafkahi keluarganya, kemudian apabila mereka semua terputus bekalnya dan mereka membutuhkan harta untuk sekedar mencukupi kebutuhan mereka, maka mereka diberi Zakat dari pos Ibnu Sabil.
Tetapi menurut para ulama, apabila orang tersebut adalah orang kaya, maka Zakat yang diberikan kepada mereka adalah dalam bentuk qordul hasan (pinjaman Cuma-Cuma) yang nantinya harus ia ganti apabila ia telah mendapatkan harta yang ia miliki. Adapun apabila orang yang terputus bekalnya bukan orang kaya, maka harta Zakat yang diberikan tidak harus dikembalikan.

Agu 17

Penyaluran Zakat

Oleh: Al Akh Iskandar Zulkarnaen


PENYALURAN ZAKAT
Allah telah menegaskan bahwa penyaluran Zakat hanyalah untuk orang-orang yang telah disebutkan dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60, yaitu sebanyak delapan golongan. Firman Allah :

Sesungguhnya shadaqah ( Zakat-Zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengeuru-penguru Zakat, para muallaf yang dibujuik hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk dijalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”
Para ulama telah sepakat atas delapan golongan penerima Zakat yang termaktub dalam ayat diatas, tetapi mereka berbeda pendapat tentang tafsir makna setiap golongan. Diantara mereka ada yang mempersempit makna, sebagian lainnya memperluas.
Terlepas dari itu semua, ada hikmah yang tersebunyi dibalik ashnaf atau golongan yang telah ditentukan Allah sebagai mustahik Zakat. Mengapa Allah yang secara langsung mengatur golongan yang berhak menerima Zakat ? padahal Allah telah menyebutkan Zakat dalam Al-Qur’an secara ringkas, sebagaimana halnya shalat, bahkan lebih ringkas dari shalat ? dalam Al-Qur’an Allah tidak menyebutkan berapa besar Zakat, apa syarat-syaratnya, tapi sunnahlah yang menjabarkan pelaksanaan, memperinci, dan menjelaskan dengan keterangan-keterangan, baik berupa perkataan atau perbuatan.
Tapi mengapa Allah dalam Al-Qur’an secara langsung menyebutkan dan memperinci orang-orang yang berhak menerima Zakat ? mengapa Allah tidak menyebutkannya secara umum saja, misalnya untuk orang-orang yang membutuhkan tanpa memperincinya satu persatu, sebagimana halnya kewajiban menunaikan Zakat yang disebutkan secara umum dalam Al-Qur’an tanpa memperincinya ?
Pada masa Rosulullah, orang-orang yang serakah dengan harta dunia, mereka tidak dapat menahan hawa nafsu ketika mereka melihat dana sedekah dan Zakat. Mereka mengharapkan percikan harta tersebut dari Rosulullah. Tetapi ternyata mereka tidak diperhatikan oleh Rosulullah. Mereka mulai menggunjing dan menyerang kedudukan beliau sebagai seorang Nabi. Kemudian turunlah ayat Al-Qur’an yang menyingkap sifat-sifat mereka yang munafik dan serakah itu dengan menunjukan kepalsuan mereka yang hanya mementingkan kepentingan pribadi. Dan sekaligus ayat itu menerangkan kemana sasaran Zakat itu harus dikeluarkan. Allah berfirman dalam surat At-Taubah ayat 58-60 :

Dan diantara mereka ada orang yang mencelamu tentang (pembagian) sedekah-sedekah. Jika mereka diberi sebagian daripadanya, mereka bersenang hati dan jika mereka tidak diberi sebagian daripadanya (maka) dengan serta merta mereka menjadi marah.

Jika mereka sungguh sungguh ridha dengan apa yang diberikan Allah dan Rosulnya kepada mereka, dan berkata: “cukuplah Allah bagi kami, Allah akan memberi kepada kami sebagian dari karuniaNya, dan dengan demikian (pula) RosulNya, sesungguhnya adalah orang-orang yang berharap kepada Allah,” (tentulah yang demikian itu lebih baik bagi mereka).
Sesungguhnya shadaqah ( Zakat-Zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengeuru-penguru Zakat, para muallaf yang dibujuik hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk dijalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah maha mengetahui lagi maha bijaksana.”  
Maka dengan turunnya ayat tersebut harapan merekapun menjadi buyar, sasaran Zakat menjadi jelas dan masing-masing mengetahui haknya.
Dengan dijelaskannya lebih rinci oleh Allah dalam Al Qur’an tentang penyaluran Zakat, maka para penguasa atau petugas Zakat, atau juga lembaga-lembaga pengelola Zakat tidak dapat membagikan Zakat sesuai dengan sekehendak hati mereka. Karena jika demikian, hal itu akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang akan mereka gunakan untuk kepentingan pribadi mereka atau juga kepentingan golongan mereka dan bukan untuk kepentingan Islam dan umat Islam.
Kalau kita perhatikan, sebelum Islam datang, sejarah keuangan sudah mengenal banyak sekali berbagai macam perpajakan. Pemungutan pajak sudah dilakukan oleh berbagai bangsa sejak dari zaman dahulu. Hasil pemungutan pajak kemudian disimpan diperbendaharaan kerajaan atau pemerintahan, untuk kemudian dibagikan kepada pejabat dan aparatnya dalam rangka memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka dan keluarganya, bahkan untuk kemewahan dan kebesaran mereka sendiri, tanpa pedulikan segala apa yang menjadi kebutuhan rakyat pekerja dan golongan fakir miskin yang lemah(Fiqhuzzakah, Syekh Yusuf Qardhawi).
Itulah penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan masyarakat sebelum datangnya Islam terhadap harta pajak. Itu semua terjadi karena tidak adanya hukum yang secara tegas sebagaimana halnya Al-Qur’an, yang memperinci dan mempertegas tentang penyaluran harta tersebut.

Delapan golongan mustahik Zakat
1. Fakir dan Miskin
Golongan yang pertama dan yang kedua disebutkan dalam Al-Qur’an adalah fakir miskin. ada perbedaan pendapat diantara ulama tentang batasan yang membedakan antara fakir dan miskin. Tetapi para ulama sepakat bahwa baik fakir maupun miskin memiliki harta dibawah nishab Zakat, yaitu mereka yang tidak dapat mencukupi biaya dan kebutuhan hidup sehari-hari, baik makanan, pakaian, tempat tinggal, pengobatan, pendidikan, dan lainnya, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti anak dan istri (Akutansi Zakat, DR.Husain Syahatah)
Islam menjadikan fakir miskin sebagai sasaran Zakat, membuktikan bahwa dengan Zakat Islam berusaha untuk mengentaskan kemiskinan. Bahkan dalam Al-Qur’an golongan fakir miskin ini disebutkan pertama kali sebelum golongan-golongan lainnya disebutkan.
Zakat bersifat konsumtif dan produktif
Menurut K.H. Didin Hafidhuddin,M.Sc., Zakat yang disalurkan kepada golongan ini dapat bersifat konsumtif, yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka, dan dapat pula bersifat produktif, yaitu untuk menambah modal usaha mereka. Zakat yang bersifat konsumtif antara lain dinyatakan antara lain dalam surah Al-Baqarah ayat 273

: “(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) dijalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) dimuka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari meminta-minta. Kamu mengenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apasaja harta yang baik yang kamu nafkahkan (dijalan Allah), maka sesungguhnya Allah maha mengetahui.”
Adapun penyaluran Zakat secara produktif sebagaimana yang pernah terjadi di zaman Rosulullah dikemukakan dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim dari Salim Bin Abdillah Bin Umar dari ayahnya, bahwa Rosulullah telah memberikan kepadanya Zakat lalu menyuruhnya untuk dikembangkan atau disedekahkan lagi.
Dalam kaitan dengan penyaluran Zakat yang bersifat produktif, ada pendapat menarik yang dikemukakan oleh Syekh Yusuf Qardhawi, dalam bukunya yang fenomenal, yaitu Fiqh Zakat, bahwa pemerintah Islam diperbolehkan membangun pabrik-pabrik atau perusahaan-perusahaan dari uang Zakat untuk kemudian kepemilikan dan keuntungannya bagi kepentingan fakir miskin, sehingga akan terpenuhi kebutuhan hidup mereka sepanjang masa. Dan untuk saat ini peranan pemerintah dalam pengelolaan Zakat digantikan oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat.
Menurut Didin Hafiduddin, BAZ ataupun LAZ, jika memberikan Zakat yang bersifat produktif, harus pula melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik agar kegiatan usahanya dapat berjalan dengan baik. Disamping melakukan pembinaan dan pendampingan kepada para mustahik dalam kegiatan usahanya, BAZ dan LAZ juga harus memberikan pembinaan ruhani dan intelektual keagamaannya agar semakin meningkat kualitas keimanan dan keIslamanannya.
2. Amil (Petugas Zakat)
Petugas Zakat merupakan golongan ketiga yang disebutkan oleh Allah SWT  sebagai mustahik Zakat. Zakat diberikan kepada para petugasnya baik yang kaya maupun yang miskin. Karena Zakat yang diberikan kepada mereka bukan karena kemiskinan mereka, bukan juga karena ketidak mampuan mereka, tapi sebagai upah atau gaji atas kerja yang telah mereka lakukan dalam mengurus dan mengelola harta Zakat.
Batasan Zakat yang diberikan untuk petugas Zakat
Menurut sebagian ulama, Golongan ini berhak mendapatkan bagian dari Zakat sebanyak 1/8 atau 12,5 %. Tapi bukan berarti mutlak harus 12,5 %, menurut para ulama itu merupakan kadar maksimal. Dan Zakat untuk golongan ini  disesuaikan dengan seberapa besar tugas yang dijalankannya. Apakah petugas melakukan tugas-tugas keamilannya secara baik dan profesional, dan apakah petugas tersebut melakukan tugasnya secara fulltime, atau hanya melaksanakan tugas sekedarnya dan dengan waktu yang seadanya ?
Jika petugas tersebut melakukan tugas-tugas keamilannya dengan baik, profesional dan sebagian besar waktunya digunakan untuk mengurus dan mengelola Zakat, maka petugas tersebut berhak untuk mendapatkan sesuai dengan apa yang telah dilakukannya. Namun apabila melakukan tugas keamilannya sebagai sampingan, maka mereka tidak berhak untuk mendapatkan 12,5 %, mereka hanya diberi beberapa persen saja atau menurut kebijakan yang disesuaikan dengan seberapa besar dan seberapa banyak mereka melakukan tugas keamilannya.
Membayar Zakat secara langsung atau melalui petugas ?
Allah memasukan para petugas Zakat kedalam golongan mustahik Zakat menunjukan bahwa Zakat bukanlah tugas perseorangan, melainkan tugas kolektif. Harus ada dari suatu komunitas mengangkat orang-orang yang bekerja untuk mengurus dan mengelola Zakat, baik itu mengumpulkan, menyalurkan, mencatat, menghitung, dan sebagainya. Bila dalam pemerintahan Islam, tugas ini diatur oleh negara dan memasukan dana Zakat sebagai kas negara.
Menyalurkan Zakat secara langsung memang sah ditinjau dari hukum syariah, tetapi menyalurkan Zakat melalui lembaga pengelola Zakat akan jauh lebih efektif daripada menyalurkannya secara orang perorang. Ada beberapa keuntungan yang bisa didapatkan dengan menyalurkan Zakat kepada lembaga pengelola Zakat yang tidak akan diperoleh dengan membayarkan secara langsung oleh muzakki kepada mustahik Zakat sebagaimana yang telah dijelaskan dalam bab potensi Zakat, yaitu :
1.         Menjamin kepastian dan disiplin muzakki dalam membayar Zakat
2.         Untuk menjaga perasaan rendah diri para mustahik
3.         Memperlihatkan syi’ar Islam
4.         Untuk mencapai efisiensi dan efektifitas, serta sasaran yang tepat dalam penggunaan dana Zakat menurut skala prioritas (Zakat Dalam Perekonomian Modern,K.H. Didin Hafidzuddin)
5.         Dapat digunakan untuk kemaslahatan umat Islam secara umum yang memerlukan dana yang tidak sedikit. Seperti mengantisipasi upaya pemurtadan dari pihak luar, upaya pembinaan kaum dhuafa baik dari segi ekonomi maupun pendidikannya, jihad melawan kaum kafir yang memerangi umat Islam sebagaimana yang terjadi dibeberapa wilayah yang ada didunia.
Jika Zakat diserahkan secara langsung dari muzakki kepada mustahik, meskipun secara hukum syariah adalah sah, akan tetapi disamping akan terabaikannya hal-hal tersebut diatas, juga hikmah dan fungsi Zakat, terutama yang berkaitan dengan kesejahteraan umat secara umum, akan sulit diwujudkan.
Walaupun secara syariah sah menyerahkan Zakat secara langsung, tapi menyerahkan Zakat kepada petugas Zakat jauh lebih utama dari segi hukum syari’ah. Karena Disamping keutamaan yang telah disebutkan diatas,  menyerahkan Zakat kepada petugas  Zakat  merupakan hal yang biasa dilakukan dan dicontohkan oleh  Rosulullah dan para sahabat sesudahnya. Bahkan para ulama sesudahnya pun tetap mewajibkan penyerahan pengurusan dan pengelolaan Zakat kepada para petugas.
Disamping itu mengapa Allah memasukan Amil atau petugas Zakat sebagai salah satu mustahik Zakat ? karena memang Zakat itu sendiri harus ada yang mengurusnya, sehingga Allah memasukan Amil atau petugas Zakat sebagai mustahik Zakat, sebagai upah dari tugas yang telah mereka lakukan dalam mengelola Zakat.
Syarat-syarat Amil Zakat
Petugas Zakat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut  :
1. Seorang muslim. Zakat bagi kaum muslimin mempunyai nilai ibadah disamping nilai sosial. Zakat merupakan salah satu rukun agama Islam, yaitu rukun yang ketiga, dan Zakat merupakan bentuk manifestasi keimanan dan ketaatan seorang muslim kepada ajaran Islam, sehingga kepengurusannya pun tidak mungkin diserahkan kepada selain muslim yang notabene mereka tidak mengimani ajaran Islam. Menurut para ulama boleh menjadikan non muslim sebagai petugas, tapi tidak secara langsung mengelola dana Zakat, melainkan mereka hanya sekedar petugas penjaga atau sebagai sopir.
2.  Seorang mukallaf, yaitu orang dewasa dan  sehat akal fikirannya.
3. Memahami hukum-hukum Zakat. Para ulama mensyaratkan petugas Zakat harus memahami hukum-hukum Zakat, khususnya petugas yang secara langsung bergelut dengan Zakat, karena mereka yang nantinya akan mengambil, mencatat dan menyalurkan kepada para mustahik, dan semua itu membutuhkan kepada pengetahuan tentang Zakat supaya tidak salah dalam perhitungan dan salah dalam penyaluran. Adapun petugas yang tidak secara langsung bergelut dengan Zakat, maka tidak disyaratkan untuk mengetahui hukum-hukum Zakat.
Tapi alangkah lebih baiknya merekapun mengetahui hukum-hukum standar minimal Zakat, karena bagaimanapun masyarakat tetap melihat petugas tersebut adalah petugas Zakat. Pemahaman terhadap hukum-hukum Zakat bagi seorang petugas Zakat disebuah lembaga pengelola Zakat akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut. Ketika kita sebagai petugas Zakat tidak mengetahui suatu hukum Zakat yang ditanyakan oleh masyarakat, maka masyarakatpun akan bertanya-tanya, bagaimana para petugas Zakat akan mengelola dana Zakat, sedangkan mereka sendiri tidak tahu tentang Zakat ?
4. Jujur dan amanah. Kejujuran dan amanah adalah dua hal yang harus dimiliki oleh seorang petugas Zakat. Karena mereka sehari-harinya akan berhubungan dengan dana Zakat yang tidak sedikit. Kejujuran dan amanah juga akan sangat mempengaruhi kepercayaan masyarakat. Jika dihadapan masyarakat para petugas Zakat memperlihatkan sifat jujur dan amanah, maka masyarakat akan memberikan kepercayaannya kepada lembaga pengelola Zakat dimana petugas Zakat itu berada, yang dampaknya mereka akan semakin tenang untuk menyalurkan Zakatnya kepada lembaga tersebut, Begitupun sebaliknya.
5. Sanggup dan mampu melaksanakan tugas. Disamping syarat-syarat yang telah disebutkan diatas, seorang petugas Zakat juga harus mampu melaksanakan tugas, dalam artian kompeten dengan tugas yang diembannya baik dari segi fisik maupun keilmuan dan pengetahuan. Allah menceritakan kisah nabi Yusuf yang berkata kepada raja, “ Jadikanlah aku bendaharawan negara (mesir) karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.” Kata menjaga (hifzu) berarti kata kerja yang berhubungan dengan kemampuan dari segi fisik. Sedangkan kata alim, berarti mempunyai ilmu dan berpengetahuan.
Yang harus diperhatikan oleh lembaga pengelola Zakat
1.  Kelembagaan
-  Sistem
-  Visi Misi
-  Aliansi Strategis
-  Susunan Organisasi
-   Program
-   Legalitas
-   Rencana Kerja
-   Evaluasi Kerja
-  Sosialisasi
-  Publikasi  
2.  SDM
-  Jujur dan Amanah
-  Kompeten dan Kapabel
-  Kreatif dan Inovatif
-  Comunication skill
-  Manajerial Skill
-  Leadership Skill
-  Teamwork Building
-  Negotiation Skill
-  Making Decision  
3. Muallaf 
Muallafah qulubuhum sebagaimana yang tercantum dalam ayat Al-Qur’an menurut para ulama diperuntukkan untuk dua jenis orang, yaitu kafir dan muslim dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
1.  Orang kafir
-    Orang kafir yang diharapkan masuk Islam. Mereka diberi Zakat untuk mendorong mereka agar masuk Islam sebagaimana yang dilakukan Rasulullah Saw kepada Sofwan Bin Umayyah pada saat ia masih kafir.
-    Orang yang dikhawatirkan kejelekan atau kejahatannya dengan harapan pemberian Zakat tersebut menghentikan kejahatannya.

2.   Orang Islam
-   Golongan yang baru memeluk Islam. Zakat diberikan kepada mereka dalam rangka memperkuat dan menambah keyakinan mereka terhadap Islam.
-   Orang Islam yang lemah imannya dan dikhawatirkan akan menjadi murtad
-  Pemimpin dan tokoh masyarakat yang telah memeluk Islam yang masih mempunyai sahabat-sahabat orang kafir. Dengan memberi mereka Zakat, diharapkan dapat menarik simpati sahabat-sahabatnya yang masih kafir untuk memeluk Islam. Diceritakan bahwa Abu Bakar pernah memberi Zakat kepada Adi Bin Hatim dan Zibriqan Bin Badr,  padahal keduanya muslim yang taat, akan tetapi mereka mempunyai posisi terhormat dikalangan masyarakatnya (Tafsir Al-Manar)

Menurut pakar Zakat Didin Hafidhuddin, pada saat sekarang bagian muallaf dapat diberikan kepada lembaga-lembaga da’wah yang mengkhususkan garapannya untuk menyebarkan Islam didaerah-daerah terpencil dan disuku-suku terasing yang belum mengenal Islam. Juga dapat dialokasikan pada lembaga-lembaga da’wah yang bertugas melakukan balasan dan jawaban dalam rangka mengcounter pemahaman-pemahaman buruk tentang Islam yang dilontarkan oleh misi-misi agama tertentu yang kini sudah semakin merajarela, Juga dapat diberikan kepada lembaga-lembaga yang biasa melakukan training-training keIslaman bagi orang-orang yang baru masuk Islam, Atau juga untuk mencetak berbagai brosur dan media informasi lainnya yang dikhususkan bagi mereka yang baru masuk Islam.

4. Riqab (memerdekakan budak)

Hendaklah Zakat difungsikan untuk membebaskan budak. Disamping dengan Zakat Islam berusaha untuk mengentaskan kemiskinan, juga berusaha untuk membebaskan perbudakan, dan sarana-sarana yang ada dalam Islam untuk membebaskan budak bukan hanya dengan Zakat saja, tapi juga ada sarana-sarana lainnya seperti kifarat sumpah. Sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 89 :  
“ …Maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang budak…” 
Juga dalam kifarat dzihar, sebagaimana yang tercantum dalam surah Al Mujadilah ayat 3 :

“Orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, mak (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur….” 
Menurut para ulama, bahwa cara membebaskan perbudakan ini biasanya dilakukan dengan dua cara :
1. Pembebasan diri hamba mukatab, yaitu budak yang telah membuat kesepakatan dan perjanjian dengan tuannya, bahwa dia sanggup membayar sejumlah harta (misalnya uang) untuk membebaskan dirinya. Hal ini sebagaimana yang difirmankan oleh Allah SWT dalam surah Annur ayat 33 :

Dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetaui ada kebaikan pada diri mereka, dan berikanla kepada mereka sebagian harta yang dikaruniakan Alla kepada kamu…”
2. Uang Zakat yang terkumpul dari para muzakki, dengan uang Zakat itu kemudian dipakai untuk membeli dan membebaskan budak.
Ada sebagian masyarakat yang salah persepsi tentang golongan ini dalam konteks kontemporer. Mereka menganggap bahwa tenaga kerja (TKI) berhak untuk mendapatkan Zakat dengan dianalogikan kepada golongan ini. sebenarnya jika TKI tersebut tidak mampu dari segi keuangan sedangkan dia sendiri mempunyai kebutuhan yang harus dipenuhi, maka ia diberikan Zakat atas nama golongan fakir miskin dan bukan dari golongan Riqab. Jika ia memerlukan uang untuk pulang ke tanah airnya dikarenakan ada suatu hal, maka ia boleh dibantu atas nama Ibnu Sabil.
Jika kita menganggap bahwa TKI berhak mendapatkan Zakat dengan dianalogikan kepada golongan Riqab, maka akan banyak sekali dana Zakat yang disalurkan kepada orang yang tidak seharusnya menerima Zakat. Karena banyak sekali diantara TKI, mereka pulang ketanah air dengan membawa uang yang tidak sedikit sehingga mereka tidak perlu dibantu dari dana Zakat. Bahkan banyak diantara mereka yang lebih layak disebut muzakki dari pada disebut mustahik. Dana Zakat diberikan hanya untuk para TKI yang memang sangat membutuhkan, itupun diambil atas nama fakir miskin, karena keadaan mereka yang miskin.
Menurut DR. Husayn Syahatah dalam bukunya yang berjudul Akuntansi Zakat, termasuk kategori pembebasan budak dalam konteks kontemporer adalah membantu pembebasan tawanan muslim dari tangan kaum kafir, disamping dalam pembebasan tersebut terdapat penjagaan terhadap kehormatan Islam dan penjagaan kaum muslimin dari kaum kafir.

5. Gharimin (orang yang berhutang)
Menurut Abu Hanifah, gharim adalah orang yang mempunyai hutang, dan dia tidak memiliki bagian yang lebih dari hutangnya.
Menurut Imam Malik, Syafi’I dan Ahmad, bahwa orang yang mempunyai hutang terbagi kepada dua golongan. Pertama, orang yang mempunyai hutang untuk kemaslahatan diri dan keluarganya. Kemaslahatan ini adalah kemaslahatan yang digunakan untuk kebutuhan pokok bagi diri dan keluarganya, seperti kebutuhan makan, kebutuhan akan pakaian, untuk pengobatan, pendidikan dan kebutuhan pokok lainnya. Kedua,  orang yang berutang untuk kemaslahatan umum. Contohnya orang yang mendamaikan dua pihak yang bersengketa, tetapi membutuhkan dana yang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar