Selasa, 17 April 2012

Al-ahkam al- syariyah


A.    Latar Belakang
Yang melatar belakangi masalah ini adalah bagaimana kita menyikapi definisi tentang ma’na hukum yang sebenarnya. Di sini diungkapkan oleh beberapa ulama ushul fiqh yang dengan pendapatnya masing-masing, di sana kita dapat menyimpulkan arti dari kata hukum tersebut. Karena Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih, karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam  syari’at Islam”; “siapakah yang menentukan hukum syara”, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu. Dalam ilmu ushul fiqh, hakim juga disebut dengan syar’i.
Adapun semua itu untuk memahami syari’at Islam yang dibawa Rasulullah, para ulama ushul fiqh mengemukakan dua bentuk pendekatan, yaitu melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pendekatan maqashid al-syari’ah (tujuan syar’a dalam menetapkan hukum).
B.     Permasalahan
Tujuan syar’a dalam menetapkan hukum, pendekatannya terdapat pada upaya menyingkap dan menjelaskan hukum dari suatu kasus yang dihadapi melalui pertimbangan maksud-maksud syar’a dalam menetapkan hukum.
Karena tidak jarang, perbedaan metode atau teori dalam memahami suatu dalil, tidak berpengaruh sama sekali terhadap hasil yang dicapai. Karena, berbagai metode yang digunakan para pakar ushul fiqh, tujuannya hanya satu yaitu untuk kemaslahatan umat manusia. Oleh sebab itu, sering ditemui literature ushul fiqh klasik dan pertengahan ungkapan yang menyatakan “Hal ini hanya perbedaan lafadz atau penamaan,” atau “pada prinsipnya perbedaan itu hanya bersifat lafzhi,” sehingga muncul ungkapan, “tidak ada pengaruh dalam perbedaan istilah.” Perbedaan pendapat merupakan khazanah intelektual para ulama Islam yang tak ternilai harganya.
Padahal kita pun butuh inti dari perbedaan pendapat tersebut, agar tidak keliru dalam menetapkan suatu masalah.
Untuk itu kami luruskan dalam makalah ushul fiqh ini yang memberi pengertian terhadap makna hakim yang akan di tuturkan dalam makalah ini, agar manusia tidak keliru dalam memaknai maksud dari hakim yang juga banyak dari pengertian tersebut perbedaan pendapat para ulama. Karena dengan berkembangnya zaman, manusia semakin tak peduli akan adanya hukum Islam di dunia. Karena mereka lebih dominan kepada hukum Negara ketimbang hukum Islam. Maka dari itu insya Allah kami ungkap masalah ini dalam kajian mata pelajaran ushul fiqh yang berkaitan dengan hakim.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hakim
Secara etimologi, hakim ( حاكم ) mempunyai dua pengetrian, yaitu:
a.        الا حكام ومثبتها ومنشئها  ومصدرهاواضع
Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum
b.      الذى يدرك الأحكام ويظهرها ويعرفها ويكشف عنها
Yang menemukan, yang menjelaskan, memperkenalka, dan menyingkapkan hukum
Hakim merupakan persoalan mendasar dalam ushul fiqih, karena berkaitan dengan “siapa pembuat hukum sebenarnya dalam  syari’at Islam”; “siapakah yang menentukan hukum syara”, yang mendatangkan pahala bagi pelakunya dan dosa bagi pelanggarnya selain wahyu. Dalam ilmu ushul fiqh, hakim juga disebut dengan syar’i.
Dari pengertian di atas, hakim adalah Allah swt.  Dialah pembuat hukum dan satu-satunya sumber hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf.

  1. Hakim
Hakim yaitu yang menjadi sandaran hukum (sumber hukum), yang membuat dan menetapkan hukum. Tidak ada perbedaan pendapat lagi bahwa hakim itu ialah Allah. Sebagaimana telah diketahui, bahwa untuk membawa dan menyampaikan hukum kepada manusia, maka hakim (Allah) mengutus para Rasul sebagai perantara.
Ulama’ berbeda pendapat tentang bagaimana ketentuan hukum syari’at terhadap perbuatan orang mukallaf. Apakah mungkin mereka mampu mengetahui tentang baik buruknya sesuatu (hukum Allah) sebelum sampainya dakwah Rasul hanya dengan menggunakan akal? Ataukah tidak mungkin bagi akal untuk mengetahui hukum Allah tentang perbuatan orang mukallaf sebelum sampainya dakwah Rasul? Dalam hal inilah para ulama’ berbeda pendapat, diantaranya:
  • Menurut Asy’ariyah, akal tidak memiliki kemampuan untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at. Akal hanya mampu menetapkan baik dan buruk melalui perantaraan Al Quran (wahyu) dan Rasul. Jadi perbuatan orang mukallaf sebelum sampainya dakwah Rasul, tidak dibebani oleh hukum syari’at dan baru dihitung sejak sampainya dakwah Rasul kepada mereka.
  • Menurut Mu’tazilah, akal mampu menentukan baik buruknya suatu pekerjaan sebelum datangnya syara’ meskipun tanpa perantara wahyu. Jadi perbuatan orang mukallaf sebelum sampainya dakwah Rasul, telah ditetapkan hukumnya oleh akal. Manusia sudah dibebani kewajiban melakukan perbuatan yang menurut akal baik, maka akan diberi imbalan. Sebaliknya, sesuatu yang menurut akal itu jelek, maka jelek menurut syara’ dan dilarang mengerjakannya.
  • Menurut Maturidiyah, akal tidak berdiri sendiri, namun harus dibarengi dengan nash (wahyu). Dengan kata lain, walaupun akal mampu mengetahui sesuatu itu baik ataupun buruk, namun wahyulah yang menetapkan keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Begitu pula dengan pemberian imbalan dan hukuman.
  1. Mahkum Fiih
    • Pengertian
Mahkum fiih yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i (objek hukum). Misalnya, firman Allah dalam surat Al An’am:151 yang artinya “Janganlah kamu membunuh jiwa yang telah diharamkan Allah melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar...”. dalam ayat ini terkandung suatu larangan yang terkait dengan perbuatan orang mukallaf, yaitu larangan melakukan pembunuhan tanpa hak, maka membunuh tanpa hak itu hukumnya haram.
    • Syarat-Syarat Mahkum Fiih
Syarat sahnya suatu taklif (pembebanan hukum) ada 3, yaitu:
  1. Mukallaf mengetahui perbuatan yang akan dilakukan, sehingga tujuannya dapat ditangkap dengan jelas dan dapat ia laksanakan. Maka seorang mukallaf tidak terkena tuntutan untuk melaksanakan sholat misalnya, sebelum ia tahu persis rukun, syarat, dan cara-cara sholat tersebut.
  2. Mukallaf harus mengetahui sumber hukum, yakni Allah swt. Sehingga ia melaksanakannya berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan titah Allah semata.
  3. Perbuatan harus mungkin untuk dilakukan atau ditinggalkan, dengan syarat:
Pertama, tidaklah sah suatu tuntutan yang dinyatakan mustahil untuk dikerjakan atau ditinggalkan, baik berdasarkan zatnya atau dilihat dari luar zatnya.
Kedua, tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan untuk orang lain.
Ketiga, tidak sah tuntutan yang berhubungan dengan perkara yang merupakan fitrah manusia seperti gembira, marah, takut, dsb karena hal itu berada di luar kendali manusia.

  1. Mahkum ‘Alaih
    • Pengertian
Mahkum 'alaih yaitu orang mukallaf yang baginya telah dibebankan suatu hukum syari’at. Dengan demikian anak kecil, orang gila, orang kafir, dan orang yang belum tahu syari’at tidak terbebani hukum syara’.
    • Syarat-Syarat Taklif
  1. Orang itu telah mampu memahami khitab syar’i (tuntutan syar’i) yang terkandung dalam Al Quran dan sunnah, baik secara langsung maupun melalui orang lain. Hal itu karena orang yang tidak mempunyai kemampuan untuk memahami tuntutan syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu hukum.
  2. Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqh disebut dengan ahliyah.
    • Ahliyyah
Ahliyyah adalah sifat yang menunjukkan bahwa seseorang telah sempurna jasmani dan rohaninya, memiliki kemampuan untuk bertindak, sehingga seluruh perbuatannya dapat dinilai oleh syara’. Oleh karena itu, kemampuan ini menjadi dasar adanya taklif.
Kemampuan (ahliyyah) dibagi menjadi dua, yakni:
  1. Ahliyyah wujub, sifat kecakapan seseorang untuk menerima hak-haknya, tetapi belum mampu untuk dibebani seluruh kewajiban. Ukuran yang digunakan dalam menentukan ahliyyah wujub adala sifat kemanusiaan (tidak dibatasi umur, baligh, akal, dsb.)
Ahliyyah wujub dibagi menjadi dua, yaitu
    • Ahliyyah wujub naqishah, anak yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ada 4 hak bagi janin, hak keturunanan dari ayahnya, warisan, wasiat, dan harta wakaf.
    • Ahliyyah wujub kamilah, bagi anak yang telah lahir hingga dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang, seperti orang gila.
  1. Ahliyyah Ada’, sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap sempurna untuk mempertanggungjawabkan seluruh perbuatannya. Bila perbuatannya sesuai ketentuan syara’, telah dianggap memenuhi kewajiban dan berhak mendapatkan pahala. Sebaliknya jika melanggar ketentuan, maka dianggap berdosa. Dan yang menjadi ukuran penentuan ahliyyah ada’ adalah ‘aqil, baligh, dan cerdas.
Penutup

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah tersaji dalam bentuk tulisan ini, maka dapat dikemukakan kesipulan sebagai berikut:
  1. Hukum merupakan suatu aturan yang mengatur tingkah laku atau perbuatan orang mukallaf dalam menjalankan syari’at Islam.
  2. Sudah tidak perlu diperdebatkan lagi bahwa hakim ialah Allah swt. Dialah yang merupakan sumber dari segala hukum, yang mengatur segala urusan dan tata kehidupan manusia.
  3. Mahkum fiih yaitu perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah syar’i (objek hukum). Dan untuk bisa menjadi objek hukum, memiliki beberapa syarat tertentu yang harus dipenuhi. Sehingga akan benar-benar jelas dalam pelaksanaannya.
  4. Mahkum ‘alaih yaitu orang mukallaf yang baginya telah dibebankan suatu hukum syari’at. Dengan demikian anak kecil, orang gila, orang kafir, dan orang yang belum tahu syari’at tidak terbebani hukum syara’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar