Selasa, 17 April 2012

Jual beli hukum figh


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Jual Beli menurut bahasa, ialah menukarkan sesuatu dengan sesuatu. Menukarkan barang dengan barang dinamai Jual Beli menurut bahasa sebagaimana menukarkan barang dengan uang. Salah satu dari dua hal yang ditukar tadi dinamai mabi’ (barang yang diJual) dan yang lain disebut tsaman (harga). Dilihat dari segi bahasa tiada bedanya antara barang yang diJual dan harga, apakah kedua-duanya itu suci ataupun najis.
Akad maupun Jual-Beli tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari, karena dua hal tersebut merupakan salah satu kebiasaan yang biasa kita lakukan, contohnya transaksi atau Jual-Beli yang dilakukan di tengah masyarakat, sekolah dan sebagainya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, pasti ada kalanya transaksi Jual-Beli disalahgunakan, berbagai kasus yang kita jumpai di tengah masyarakat, seperti misalnya pedagang ayam yang menJual ayam dagangannya kepada pemBeli. Biasanya pada hal ini para pedagang menyalahgunakan rukun maupun syarat-syarat yang ada pada Jual-Beli itu sendiri.
Untuk itu, pada kesempatan kali ini kami sebagai kelompok yang mendapatkan tugas untuk membahas tentang akad dan Jual-Beli, akan sedikit menyampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan transaksi Jual Beli, di antaranya tentang definisi dari akad maupun Jual-Beli, macam-macam akad dan Jual-Beli, rukun akad dan Jual-Beli, hikmah diadakannya Jual-Beli dan sebagainya.






B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah definisi dari akad dan Jual-Beli?
2.      Sebutkan Rukun akad dan Jual-Beli?

C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan akad dan Jual-Beli.
2.      Agar pembaca dapat  mengetahui rukun dari akad dan Jual-Beli.














BAB II
PEMBAHASAN
JUAL-BELI ATAU TRANSAKSI
A.    AKAD (Transaksi)
1.      Pengertian Akad
Akad (Arab : al-akdu = perikatan, perjanjian dan pemufakatan). Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan. Demikian dijelaskan dalam Ensiklopedi Hukum islam.
Semua perikatan (transaksi) yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih, tidak boleh menyimpang dan harus sejalan dengan kehendak syari’at. Tidak boleh ada kesepakatan untuk menipu orang lain, transaksi barang-barang yang diharamkan dan kesepakatan untuk membunuh orang.
Mustafa az-Zarqa’ menyatakan, bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk, yaitu :
a.       Tindakan berupa perbuatan
b.      Tindakan berupa perkataan
Kemudian tindakan yang berupa perkataan, terbagi lagi kepada dua, yaitu tindakan yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.
Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi, bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad, terbagi atas dua bagian, yaitu :
1)      Ada menganduk kehendak pemilik untukmenetapkan melimpahkan hak, membatalkannya, atau menggugurkannya, seperti waqaf, hibah dan talak.
Akad semacam ini tidak memrlukan kabul, sekalipun tindakan seperti ini, oleh sebagian ulama fiqih termasuk akad. Oleh ulama Mazhab Hanafi dikatakan, bahwa tindakan seperti ini, hanya mengikat pihak yang melakukan ijab saja.
2)      Tidak ada mengandung kehendak pihak yang menetapka atau menggugurkan suatu hak, tetapi perkataannya itu memunculkan suatu tindakan hukum, seperti halnya gugatan yang diajukan kepada hakim dan pengakuan seseorang di depan hakim (pengadilan). Tindakan semacam ini berakibat timbul sesuatu ikatan secara hukum, tetapi sifatnya tidak mengikat. Oleh sebab itu, ulama fiqih menetapkan, bahwa tindakan semacam ini, tidak dapat dikatakan akad, karena tindakan tersebut tidak mengikat siapapun.

2.      Rukun Akad
Menurut Jumbur (mayoritas) fukaha, rukun akad terdiri dari :
a.       Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al-aqd)
b.      Pihak-pihak yang berakad
c.       Obyek akad
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad itu hanya satu yaitu : shigah al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad, tidak termasuk rukun akad, tapi syarat akad.
Sighah al-aqd dinyatakan melaui ijab dan kabul, dengan suatu ketentuan:
1)      Tujuan akad itu harus jelas dan dapat di pahami.
2)      Antara ijab dan Kabul harusl dapat kesesuaian.
3)      Pernyataan ijab dan kabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing, dan tidak boleh ada yang meragukan.
Ijab dan kabul dapat dalam bentuk perkataan, perbuatan, isyarat dan tulisan (biasanya transaksi yang besar nilainya). Namun, semua bentuk ijab dan kabul itu mempunyai nilai kekuatan yang sama.
Contoh ijab kabul dalam perbuatan adalah seperti yang terjadi di pasar swalayan. Seseorang mengambil barang, sesudah membayar harganya kepada kasir sesuai dengan harga yang tercantum pada barang tersebut. Kehendak penJual dan pemBeli sudah terpenuhi. Cara seperti inilah sekarang yang sering kita jumpai di dunia dagang pada saat ini. Di dalam fiqih Jual Beli semacam ini disebut : mab’ulma’atoh (Jual Beli dengan saling memberi).
Ulama Maazhab Syafi’i dalam qaum qadim (pendapat lama) tidak mwmbenarkan akad seperti ini, karena kedua belah pihak harus menatakan secara jelas mengenai ijab dan kabul itu. Demikian juga Mazhab az-Zahiri dan syi’ah, tidak membenarkannya. Namun jumur ulama fiqih, termasuk Mazhab seperti ini, karena telah menjadi adat kebiasaan dalam masyarakat sebagian besar umat islam.
Menurut Mustafa az-Zarqa’ suatu akad di pandang sempurna, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang disebutlan diatas. Namun, ada akad-akad yang baru di pandang sempurna, apabila telah dilakukan timbang terima, dan tidak memadai hnaya dengan ijab dan kabul saja, yang disebut dengan al-uqud al-‘ainiyyah.
Akad semacam ini ada lima macam yaitu hibah, pinjam meminjam, barang titipan, perserikatan dalam modal dan jaminan.  Menurut ulama fiqih kelima macam akad (transaksi) tersebut, harus diserahkan kepada yang berhak dan dikuasai sepenuhnya, dan tidak boleh terlepas dari tanggung jawab.

3.      Syarat Umum Akad
Para ulama fiqih menetapkan, ada beberapa syarat umum yang harus di penuhi dalam suatu akad, disamping suatu akad juga mempunyai syarat-syarat khusus. Demikian juga halnya dengan akad al-wadi’ah, hibah, ijarah (sewa menyewa).
Syarat-syarat umum suatu akad adalah:
a.       Pihak-pihak yang melakukan akad telah dipandang mampu bertindak menurut hukum (mukallaf). Apabila belum mampu harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab itu suatu akad yang dilakukan oleh orang yang kurang waras (gila) atau anak kacil yang belum zmukallaf secara langsung, hukumnya tidak sah.
b.      Obyek akad itu, diakui oleh syara’. Obyek akad ini harus memenuhi syarat:
1)      Berbentuk harta
2)      Dimiliki seseorang
3)      Bernilai syara’ menurut syara’
Obyek akad harus ada dan dapat diserahkan ketika berlangsung akad, kerena memperJualBelikan sesuatu yang belum ada dan tidak mampu diserahkan hukumnya tidak sah. Contohnya: seperti menJual ikan yang maseh di dalam kolam, menJual padi yang belum berbuah,menJual janin hewan yang meseh di dalam kandungan, dll.
Menurut fukaha, ketentuan di atas tidak berlaku terhadap ‘aqd salam (indent), istishna’ (pesanan barang), dan mussaqah (transaksi antara pemilik kebun dan pengelolanya). Pengecualian ini dibenarkan atas dasar, bahwa akad-akad semacam itu dibutuhkan masyarakat dan telah menjadi akad kebiasaan yang dilakukan oleh anggota masyarakat.
c.       Akad itu tidak dilarang oleh nash syara’. Atas dasar ini, seorang wali (pemelihara anak kecil), tidak dibenarkan mengibahkan harta tersebut. Seharrusnya harta anak kecil itu dikembangkan, dipelihara, dan tidak diserahkan kepada seseorang tanpa ada imbalan (hibah). Apabila terjadi akad, maka akad itu batal menurut syara’.
d.      Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus dengan akad yang bersangkutan, disampiing harus memenuhi syarat-syarat umum. Syarat-syarat khusus, umpamanya: syarat Jual-Beli berbeda dengan syarat sewa-menyewa dan gadai.
e.       Akad itu bermanfaat. Umpamanya: seorang suami mengadakan akad dengan isterinya, bahwa suami akan memberi upah kepada isterinya dalam urusan rumah tangga. Akad semacam ini batal, karena seorang isteri memang berkewajiban mengurus rumah. Contoh lain, seorang mengadakan akad dengan seseorang penjahat, bahwa penjahat itu akan menghentikan kejahatannya, bila diberi imbalan. Akad semacam ini, juga tidak sah, sebab suatu tindakan kejahatan memang harus dihentikan.
f.       Ijab tetap utuh sampai terjadi kabul. Umpamanya: dua orang pedagang dari dua daerah yang berbeda, melakukan transaksi dagang dengan surat (tulisan). Pedagang barang melakukan ijabnya melakukan ijabnya melaui surat yang membutuhkan waktu beberapa hari. Sebelum surat itu sampai kepada penJual, pemBeli telah wafat atau hilang ingatan (gila). Transaksi semacam ini menjadi batalm sebab salah satu pihak telah meninggal atau gila (tidak bisa bertindak lagi atas nama hukum).
g.      Ijab dan kabul dilakukan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaaan yang menggambarkan proses suatu transaksi.

Menurut Mustafa az-Zarqa’, majelis itu dapat berbentuk tempat dilangsungkan akad dan dapat juga berbentuk keadaan selama proses berlangsung akad, sekalipun tidak pada satu tempat.
Berkenaan dengan masalah ini timbul perbedaan pendapat para ulama, tentang ijab, apakah harus segera dijawab dengan kabul? Menurut Jumhur ulama fikih selain Mazhab Syafi’I, tidak mengharuskan kabul segera dilaksanakan setelah ijab. Sebab, pihak penerima memerlukan waktu untuk berpikir dan meneliti segala persoalan yang berkaitan dengan transaksi (obyek akad). Bahkan ulama Mazhab Maliki, bila pihak penerima meminta tenggang waktu, untuk mengucapkan kabul, maka permintaan itu harus dipenuhi. Sedangkan menurut ulama Syafi’I, kabul disyaratkan segera dilakukan setelah ijab. Bila terjadi suatu kegiatan lain pada saat ijab dan kabul itu,maka transaksi menjadi batal. Hal ini berarti, bahwa ijab harus segera diucapkan (dijawab) dengan kabul.
h.      Tujuan akad itu harus jelas dan diakui oleh syara’. Umpamanya masalah Jual-Beli, jelas tujuannya untuk memindahkan hak milik peJnJual kepada pemBeli dengan imbalan. Begitu juga dengan akad-akad lainnya.

4.      Macam-Macam Akad
Menurut ulama fikih, akad dapat dibagi dari berbagai segi. Apabila dilihat darisegi keabsahannya menurut syara’, maka akad di bagi dua, yaitu:
a.       segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad itu, berlaku kepada kedua belah pihak.
Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, membagi lagi akad sahih ini menjadi dua macam:
1)      Akad yang  nafiz (sempurna untuk dilaksanakan), yaitu akad yang langsungkan dengan memenuhi rukun dan syarat dan tidak ada penghlang untuk melaksanakannya.
2)      Akad mauquf, yaitu akad yang dilakukan seseorang yang mampu bertindak atas kehendak hukum, tetapi dia tidak bisa memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan. Akad tersebut sepeerti akad yang dilakukan dengan anak kecil yang menjelang akil baligh (mumayyiz). Akad itu baru sah secara sempurna dan memiliki akibat hukum setelah mendapat izin dari wali anak itu.
b.      Akad yang tidak sahih, yaitu akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syaratnya, sehingga akibat hukum tidak belaku bagi kedua belah pihak yang melakukan akad itu.
Kemudian Mazhab Hanafi membagi lagi akad yang tidak sah ini kepada dua macam, yaitu : akad yang batil dan akad yang fasid.
Suatu akad dikatakan batil, apabila kedua akad itu tidak memenuhi salah satu rukun dan larangan langsung dari syara’. Umpamanya: obyek akad (Jual-Beli) itu tidak jelas seperti menJual ikan dalam empang (lautan), atau salah satu oihak tidak mampu (belum pantas) bertindak atas nam hukum seperti anak kecil atau orang gila.
Suatu akad dikatakan fasid, adalah suatu akad yang pada dasarnya dibenarkan, tetapi sifat yang diakadkan tidak jelas seperti menJual mobil tidak disebutkan merknya, tahunnya dan sebagainya. Jual-Beli semacam ini tidak lagi dianggap fasid, apabila mobil yang diJual itu lengkap diberikan datanya, sehingga tidak merragukan lagi bagi pemBeli. Namun, jumhur ulama fikih berpendapat, akad yang batil dan fasid, tetap tidak sah dan akad tersebut tidak mengakibatkan hukkum apapun bagi kedua belah pihak.
5.      Berakhir Suatu Akad
Ulama fikih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila terjadi hal-hal seperti berikut:
a.       Berakhit masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki masa tenggang waktu.
b.      Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu mengikat.
c.       Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir bila:
1)      Akad itu fasid
2)      Berlaku khiyar syarat, khiyar aib
3)      Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad
4)      Telah tercapai tujuan akd itu secara sempurna
d.      Wafat salah satu pihak yang berakad.
B.     JUAL-BELI
1.      Pengertian Jual-Beli
Jual-Beli (al-bai’u) artinya menJual, mengganti dan menukar (sesuatu dengan sesuatu yang lain). Kata al-bai’u dalam bahasa Arab terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yaitu kata assiroou (Beli). Dengan demikian kata al-bai’u berarti kata “Jual” dan sekaligus juga berarti kata “Beli”.
Perdagangan atau Jual Beli menurut bahasa berarti al-bai’,al-tijarah, dan al-mubadalah sebagaimana Allah SWT berfirman :
¨bÎ) tûïÏ%©!$# šcqè=÷Gtƒ |=»tGÏ. «!$# (#qãB$s%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qà)xÿRr&ur $£JÏB öNßg»uZø%yu #uŽÅ  ZpuŠÏRŸxtãur šcqã_ötƒ Zot»pgÏB `©9 uqç7s? ÇËÒÈ   
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.”
Menurut istilah terminology yang dimaksud Jual Beli adalah :
  1. Menukar barang dengan barang atau barang  dengan uangdenga jalan melepaskan hak milik yang satu kepada yang lain atas dasar saling merelakan (idris ahmad, fiqih al-syafiiyah : 5)
  2. Penukaran benda dengan benda lain dengan jalan saling merelakan atau memindahkan hak milik  dengan ada penggantinya dengan cara yang dibolehkan.
  3. Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta atas harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.(Hasbi Ash-Shiddiqi, peng.Fiqh muamalah :97)
Dari beberapa definisi tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwasanya Jual Beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara suka rela sehingga keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah penukaran hak milik secara tetap dengan jalan yang dibenarkan oleh syara.Yang dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum adalah memenuhu persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dalam Jual Beli, maka jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentun syara.
2.      Dalil Hukum Jual-Beli
Jual-Beli sebagai sarana tolong-menolong antara sesama manusia mempunyai landasan yang amat kuat dalam Islam.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
Padahal Allah telah mengahalalkan Jual-Beli dan mengharamkan riba… (al-Baqarah: 275)
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. . . (al-Baqarah: 198)
Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu… (An-Nisa’: 29)
Dan persaksikanlah, apabila kamu berJual-Beli(al-Baqarah: 282)
Dalam sabda Rasulullah disebutkan :
“Nabi Muhammad SAW, pernah ditanya: Apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab : “Usaha tangan manusia sendiri dan setiap Jual-Beli yang di berkati”. (HR. Al-Barzaar dan Al-Hakim)
Jual-Beli yang mendapat berkah dari Allah adalah Jual-Beli yang jujur, yang tidak curang, mengandung unsur penipuan dan pengkhianatan.
Sabda Rasulullah:
Jual-Beli itu atas dasar suka sama suka.” (HR. Baihaqi)
Sabda Rasulullah:
“pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para Nabi, siddiqin dan syuhada’.” (HR. Tarmizdi)

3.      Hikmah Disyariatkannya Jual-Beli
a.       Individu
1)      PenJual
a)      Mendapat rahmat dan keberkataan daripada Allah dengan mengikut apa yang telah disyariatkan
b)      Dapat berniaga dengan aman tanpa berlakunya khianat mengkhianati antara satu sama lain.
2)      PemBeli
a)      Berpuas hati di atas urusniaga yang dijalankan kerana peniga menjalankan urusan mengikut syariat islam.
b)       Mendapat keredhaan dan rahmat dari Allah di atas urusniaga yang berlandaskan syariat Islam
c)      Terhindar daripada siksaan api neraka.
b.      Masyarakat
1)      Menyenangkan manusia bertukar-tukarfaedah harta dalam kehidupan seharian
2)      Menghindarkan kejadian rampas merampas dan ceroboh mencerobohi dalam usaha memiliki harta
3)      Menggalakkan orang ramai supaya hidup berperaturan, bertimbang rasa, jujur dan ikhlas.

c.       Negara
1)      Meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara ke tahap yang lebih baik.
2)      Dapat menarik pelabur asing untuk melabur dalam ekonomi negara.
3)      Menggalakkan persaingan ekonomi yang sihat sesama negara islam
4.      Rukun dan Syarat Sah  Jual-Beli
Menurut Mazhab Hanafi rukun Jual-Beli hanya ijab dan kabul saja. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam Jual-Beli itu hanyalah kelerelaan antara kedua belah pihak untuk berJual-Beli. Namun, karena kerelaan berhubungan dengan hati yang sering tidak kelihatan, maka diperlukan indikator (Qarinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak. Dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan kabul) atau dalam bentuk perbuatan, yaitu saling memberi (penyeran barang dan penerimaan uang).
Menurut  jumhur Ulama rukun Jual Beli itu ada empat:
a.       Orang yang berakad (penJual dan pemBeli)
b.      Sighat (lafal ijab dan kabul
c.       Ada barang yang diBeli
d.      Ada nilai tukar pengganti barang

Menurut Mazhab Hanafi orang yang berakad, barang yang diBeli dan nilai tukar barang (a,c,d) di atas termasuk syarat Jual-Beli, bukan rukun.
Menurut jumhur ulama, bahwa orang yang melakukan akad Jual-Beli sesuai dengan rukun Jual-Beli yang disebutkan di atas dalah sebagai berikut:
1)      Syarat orang yang berakad
Ulama fikih sepakat, bahwa yang melakukan akad Jual-Beli harus memenuhi syarat:
a)      Berakal. Dengan demikian, Jual Beli yang dilakukan anak kecil yang belum berakal hukumnya tidak sah. Anak kecil yang sudah mumayyiz (menjelang baligh), apabila akad yang dilakukannya membawa keuntungan baginya, seperti menerima hibah, Wasiat dan sedekah, maka akadnya sah menurut Mazhab Hanafi. Sebaliknya apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya, seperti meminjamkan harta kepada orang lain, mewakafkan atau menghibahkannya tidak dibenarkan menurut hukum.
Transakasi yang dilakukan anak kecil yang mumayyiz yang mengandung manfaat dan mudarat sekaligus, seperti Jual-Beli, sewa-menyewa dan perserikatan dagang, dipandang sah menurut hukum dengan ketentuan walinya mengizinkan setelah dipertimbangkan dengan sematang-matangnya.
b)      Orang yang melakukan akad itu, adalah orang yang berbeda. Maksudnya, seseorang tidak dapat bertindak sebagai pemBeli dan penJual dalam waktu yang bersamaan.

2)      Syarat yang terkait dengan ijab dan Kabul
Ulama fikih sepakat menyatakan, bahwa urusan utama dalam Jual-Beli adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat terlihat pada saat akad berlangsung.
Menurut jumhur ulama fikih, syarat ijab dan kabul itu adalah sebagai berikut:
a)      Orang mengucapkan adalah orang yang telah akil baligh dan berkal atau telah berakal, sesuai dengan perrbedaan mereka dalam menentukan syarat, syarat seperti yang telah dikemukakan di atas.
b)      Kabul seduai dengan ijab
c)      Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis



3)      Syarat yang diperJualBelikan, adalah sebagai berikut:
a)      Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penJual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu. Umpamanya barang itu ada pada sebuah toko atau masih di pabrik dan yang lainnya di sampan di gudang.
b)      Dapat dimanfaatkan dan dapat bermanfaat bag manusia. Oleh sebab itum bangkai, khamar, dan benda-benda haram lainnya, tidak sah menjadi obyek Jual-Beli, karena benda-benda tersebut tidak bermanfaat bagi manusia dalam pandangan syara’.
c)      Milik seorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang, tidak boleh diperJual Belikan.
d)     Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung, atau pada waktu yang telah disepakati bersama ketika akad berlangsung.

4)      Syarat nilai tukar (harga barang).
Nilai tukar barang adalah termasuk unsure yang terpenting. Zaman sekarang disebut uang. Berkaitan dengan nilai tukar ini, ulama fikih membedakan antara as-tsamn dan as-si’r.
Menurut mereka, as-tsamn adalah harga pasar yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, sedangkan as-Si’r adalah modal barang yang seharusnya diterima para pedagang sebelum diJual kepada konsumen. Dengan demikian ada dua harga, harga antara sesama pedagang dan harga pedagang dan konsumen (harga Jual pasar).
Disamping syarat yang berkaitan dengan rukun Jual-Beli diatas, ulama fikih juga mengemukakan beberapa syarat lain:
a)      Syarat sah Jual-Beli
Jual Beli itu terhindar dari cacat seperti barang yang diperJual Belikan tidak jelas, baik jenis, kualitas maupun kuantitasnya. Begitu juga harga tidak jelas, Jual-Beli itu mengandung unsur paksaan, penipuan dan syarat-syarat lain yang mengakibatkan Jual-Beli rusak.
Apabila barang yang diperJualBelikan itu benda bergerak, maka barang itu langsung dikuasai pemBeli dan harga dikuasai penJual. Sedangkan barang yang tidak bergerak, dapat dikuasai pemBeli setelah surat-menyuratnya diselesaikan sesuai dengan kebiasaan setempat.
b)      Syarat yang berkenaan dengan pelaksaan Jual-Beli.
Jual-Beli baru dapat dilaksanakan apabila yang berakad tersebut mempunyai kekuasaan untuk melakukan Jual-Beli. Umpamanya, barang itu milik sendiri (bukan milik orang lain atau hak orang yang terkait dengan barang itu).
Akad Jual-Beli tidak dapat dilaksanakan, apabila orang yang melakukan akad itu tidak memiliki kekuasaan secara langsung melakukan akad. Umpamanya ada orang lain yang bertindak sebagai wakil dalam Jual-Beli. Dalam hal ini, pihak wakil harus mendapat persetujuan (surat kuasa) dari orang yang diwakilinya.
c)      Syarat yang terkait dengan kekuatan hokum Jual-Beli.
Ulama fikih sepakat menyatakan, bahwa suatu Jual-Beli baru bersifat mengikat, apabila Jual Beli itu terbebas dari segala macam: khiyar, yaitu hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan Jual-Beli.

5.      Jual-Beli Yang Halal Dan Haram
a.       Jual Beli yang halal (sahih)
Apabila Jual-Beli itu di syari’atkan, memenuhi rukun atau syarat yang ditentukan, barang itu bukan milik orang lain, dan syarat tidak terikat dengan khiyar lagi, maka Jual Beli itu sahih (halal) dan mengikat kedua belah pihak. Umpamannya, seseorang memBeli suatu barang. Seluruh rukun dan syarat Jual-Beli telah terpenuhi. Barang itu juga telah diperiksa oleh pemBeli dan tidak ada cacat, dan tidak ada yang rusak. Uang sudah diserahkan dan barangpun sudah diterima dan tidak ada lagi khiyar.
b.      Jual Beli yang haram (tidak sahih)
1)      MenJual tanggungan dengan tanggungan
Telah diriwayatkan larangan menJual tanggungan dengan tanggungan sebagaimana tersebut dalam hadits Nabi dari Ibnu ’Umar Ra. Yaitu menJual harga yang ditangguhkan dengan pembayaran yang ditangguhkan juga. Misalnya, menggugurkan apa yang ada pada tanggungan orang yang berhutang dengan jaminan nilai tertentu yang pengambilannya ditangguhkan dari waktu pengguguran. Ini adalah bentuk riba yang paling jelas dan paling jelek sekali.
2)      Jual Beli disertai syarat
Jual Beli disertai syarat tidak diijinkan dalam hukum Islam. Malikiyah menganggap syarat ini sebagai syarat yang bertentangan dengan konsekuensi Jual Beli seperti agar pemBeli tidak menJualnya kembali atau menggunakannya.
Hambaliyah memahami syarat sebagai yang bertentangan dengan akad, seperti adanya bentuk usaha lain, seperti Jual Beli lain atau peminjaman, dan persyaratan yang membuat Jual Beli menjadi bergantung, seperti ”Saya Jual ini kepadamu, kalau si Fulan ridha.”
Sedangkan Hanafiyah memahaminya sebagai syarat yang tidak termasuk dalam konsekuensi perjanjian Jual Beli, dan tidak relevan dengan perjanjian tersebut tapi bermanfaat bagi salah satu pihak.
3)      Dua perjanjian dalam satu transaksi Jual Beli
Tidak dibolehkan melakukan dua perjanjian dalam satu transaksi, namun terdapat perbedaan dalam aplikasinya sebagai berikut:
a)      Jual Beli dengan dua harga; harga kontan dan harga kredit yang lebih mahal. Mayoritas ulama sepakat memperbolehkannya dengan ketentuan, sebelum berpisah, pemBeli telah menetapkan pilihannya apakah kontan atau kredit.Jual Beli ’Inah, yaitu menJual sesuatu dengan pembayaran tertunda, lalu si penJual memBelinya kembali dengan pembayaran kontan yang lebih murah.
b)      MenJual barang yang masih dalam proses transaksi dengan orang atau menawar barang yang masih ditawar orang lain. Mayoritas ulama fiqih mengharamkan Jual Beli ini. Hal ini didasarkan pada larangan dalam hadits shahih Bukhari dan Muslim, ”Janganlah seseorang melakukan transaksi penJualan dalam transaksi orang lain. 
c)      MenJual anjing. Dalam hadits Ibnu Mas’ud, Rasulullah telah melarang mengambil untung dari menJual anjing, melacur dan menjadi dukun (HR. Bukhari).

4)      Jual Beli yang Diperdebatkan
a)       Jual Beli ’Inah. Yaitu Jual Beli manipulatif agar pinjaman uang dibayar dengan lebih banyak (riba).
b)       Jual Beli Wafa. Yakni Jual Beli dengan syarat pengembalian barang dan pembayaran, ketika si penJual mengembalikan uang bayaran dan si pemBeli mengembalikan barang. 
c)       Jual Beli dengan uang muka. Yaitu dengan membayarkan sejumlah uang muka (urbun) kepada penJual dengan perjanjian bila ia jadi memBelinya, uang itu dimasukkan ke dalam harganya.
d)       Jual Beli Istijrar. Yaitu mengambil kebutuhan dari penJual secara bertahap, selang beberapa waktu kemudian membayarnya. Mayoritas ulama membolehkannya, bahkan bisa jadi lebih menyenangkan bagi pemBeli daripada Jual Beli dengan tawar menawar.

6.      Haqqul Khiyar Dalam Jual-Beli
Khiyar adalah kesempatan baik penJual maupun pemBeli untuk memilih melanjutkan atau menghentikan Jual Beli. Jenis atau macam-macam khiyar yaitu :
a.       Khiyar majlis adalah pilihan menghantikan atau melanjutkan Jual Beli ketika penJual maupun pemBeli masih di tempat yang sama.
b.      Khiyar syarat adalah syarat tertentu untuk melanjutkan Jual Beli seperti pemBeli mensyaratkan garansi.
c.       Khiyar aibi adalah pemBeli boleh membatalkan transaksi yang telah disepakati jika terdapat cacat pada barang yang diBeli.
d.      Khiyar Ru’yah adalah ada hak pilih bagi pemBeli untuk menyatakan berlaku atau batal Jual Beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat pada saat akad berlangsung.










BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Pengertian dari akad dan Jual-Beli
Akad (Arab : al-akdu = perikatan, perjanjian dan pemufakatan). Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan penerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari’at yang berpengaruh pada obyek perikatan. Demikian dijelaskan dalam Ensiklopedi Hukum islam
Jual Beli adalah suatu perjanjian yang dilakukan oleh kedua belah pihak dengan cara suka rela sehingga keduanya dapat saling menguntungkan, maka akan terjadilah penukaran hak milik secara tetap dengan jalan yang dibenarkan oleh syara’.Yang dimaksud sesuai dengan ketetapan hukum adalah memenuhu persyaratan-persyaratan, rukun-rukun dalam Jual Beli, maka jika syarat dan rukunnya tidak terpenuhi berarti tidak sesuai dengan ketentun syara.
2.      Rukun akad dan rukun Jual-Beli
a.       Rukun akad
Menurut Jumbur (mayoritas) fukaha, rukun akad terdiri dari :
1)      Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighah al-aqd)
2)      Pihak-pihak yang berakad
3)      Obyek akad
Ulama Mazhab Hanafi berpendapat, bahwa rukun akad itu hanya satu yaitu : shigah al-aqd, sedangkan pihak-pihak yang berakad dan objek akad, tidak termasuk rukun akad, tapi syarat akad.
Sighah al-aqd dinyatakan melaui ijab dan kabul, dengan suatu ketentuan:
4)      Tujuan akad itu harus jelas dan dapat di pahami.
5)      Antara ijab dan Kabul harusl dapat kesesuaian.
6)      Pernyataan ijab dan kabul itu harus sesuai dengan kehendak masing-masing, dan tidak boleh ada yang meragukan.

Ijab dan kabul dapat dalam bentuk perkataan, perbuatan, isyarat dan tulisan (biasanya transaksi yang besar nilainya). Namun, semua bentuk ijab dan kabul itu mempunyai nilai kekuatan yang sama.
b.      Rukun Jual-Beli
Menurut Mazhab Hanafi rukun Jual-Beli hanya ijab dan kabul saja. Menurut mereka, yang menjadi rukun dalam Jual-Beli itu hanyalah kelerelaan antara kedua belah pihak untuk berJual-Beli. Namun, karena kerelaan berhubungan dengan hati yang sering tidak kelihatan, maka diperlukan indikator (Qarinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut dari kedua belah pihak. Dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan kabul) atau dalam bentuk perbuatan, yaitu saling memberi (penyeran barang dan penerimaan uang).
Menurut  jumhur Ulama rukun Jual Beli itu ada empat:
a.       Orang yang berakad (penJual dan pemBeli)
b.      Sighat (lafal ijab dan kabul
c.       Ada barang yang diBeli
d.      Ada nilai tukar pengganti barang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar