. USHUL FIGH
a. Pengertian Ushul Figh
Secara etimologi Ushul Figh terdiri atas dua kata, Ushul yang berarti suatu pondasi baik bersifat Materi maupun non materi sedangkan Figh adalah pemahaman yang mendalam yang membutuhkan pengarahan potensi akal. Secara istilah/terminologi diartikan ilmu dengan qowa’id atau penggalian hukum syariah amaliyah yang di ambil dari dalil-dalil terperinci. Figh juga bisa diartikan sebagai pemahaman, dan Ushul adalah asal atau bangunan. Figh itu merupakan bahan jadi sedangkan Ushul Figh merupakan hasilnya. Bisa disimpulkan bahwa Ushul Figh merupakan ilmu yang mempelajari tentang kaedah-kaedah dalam hukum islam yang terjadi pada masa dulu maupun sesuatu hal yang terjadi pada masa sekarang ini,dimana dibutuhkan pemahaman yang mendalam dalam menetapkan ketentuan atau hukum dengan berdasarkan dalil-dalil terperinci.
Pengetahuan Figh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu Ushul Figh. Maksudnya, pengetahuan Figh itu lahir melalui proses pembahasan yang digariskan dalam ilmu Ushul Figh. Pengetahuan Figh adalah formulasi dari nash syari'at yang berbentuk Al-Qur'an, Sunnah Nabi dengan cara-cara yang disusun dalam pengetahuan Ushul Figh. Meskipun caar-cara itu disusun lama sesudah berlalunya masa diturunkan Al-Qur'an dan diucapkannya sunnah oleh Nabi, namun materi, cara dan dasar-dasarnya sudah mereka (para Ulama Mujtahid) gunakan sebelumnya dalam mengistinbathkan dan menentukan hukum. Dasar-dasar dan cara-cara menentukan hukum itulah yang disusun dan diolah kemudian menjadi pengetahuan Ushul Figh. Menurut Istitah yang digunakan oleh para ahli Ushul Figh ini, Ushul Figh itu ialah, suatu ilmu yang membicarakan berbagai ketentuan dan kaidah yang dapat digunakan dalam menggali dan merumuskan hukum syari'at Islam dari sumbernya. Dalam pemakaiannya, kadang-kadang ilmu ini digunakan untuk menetapkan dalil bagi sesuatu hukum; kadang-kadang untuk menetapkan hukum dengan mempergunakan dalil Ayat-ayat Al-Our'an dan Sunnah Rasul yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, dirumuskan berbentuk "hukum Figh" (ilmu Figh) supaya dapat diamalkan dengan mudah. Demikian pula peristiwa yang terjadi atau sesuatu yang ditemukan dalam kehidupan dapat ditentukan hukum atau statusnya dengan mempergunakan dalil. Yang menjadi obyek utama dalam pembahasan Ushul Figh ialah Adillah Syar'iyah (dalil-dalil syar'i) yang merupakan sumber hukum dalam ajaran Islam. Selain dari membicarakan pengertian dan kedudukannya dalam hukum Adillah Syar'iyah itu dilengkapi dengan berbagai ketentuan dalam merumuskan hukum dengan mempergunakan masing-masing dalil itu. Topik-topik dan ruang lingkup yang dibicarakan dalam pembahasan ilmu Ushul Figh ini meliputi
b.Objek kajian Ushul Figh
Objek dari Ushul Figh adalah untuk menetapkan ketentuan dari segala sesuatu dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Objek kajian Ushul Figh bisa dipecahkan menjadi beberapa bagian sebagai berikut:
1. Dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’,baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan. 2. pencarian jalan keluar dari dalil yang zahir, contohnya : pertentangan ayat
Dengan ayat,ayat dengan hadits,hadits dengan akal.
3. mujtahid harus memiliki ilmu.
4. Pembahasan hkum syara’ meliputi syara’ dan macam-macamnya.baik yang
Bersifat tuntutan untuk berbuata dan meninggalkannya maupun yang berkaitan
Dengan sebab,syarat,man’i,sah/batal,azima dan rukshah.
5. Pembahasan tentang kaidah atau cara mem’istmbatkan hukum dari ayat atau
Hadits.
Dalam perkembangannya bahasan Ushul Figh juga meliputi topik-topik sebagai berikut :
a. Bentuk-bentuk dan macam-macam hukum, seperti hukum taklifi (wajib, sunnat, mubah, makruh, haram) dan hukum wadl'i (sabab, syarat, mani', 'illat, shah, batal, azimah dan rukhshah).
b. Masalah perbuatan seseorang yang akan dikenal hukum (mahkum fihi) seperti apakah perbuatan itu sengaja atau tidak, dalam kemampuannya atau tidak, menyangkut hubungan dengan manusia atau Tuhan, apa dengan kemauan sendiri atau dipaksa, dan sebagainya.
c. Pelaku suatu perbuatan yang akan dikenai hukum (mahkum 'alaihi) apakah pelaku itu mukallaf atau tidak, apa sudah cukup syarat taklif padanya atau tidak, apakah orang itu ahliyah atau bukan, dan sebagainya.
d. Keadaan atau sesuatu yang menghalangi berlakunya hukum ini meliputi keadaan yang disebabkan oleh usaha manusia, keadaan yang sudah terjadi tanpa usaha manusia yang pertama disebut awarid muktasabah, yang kedua disebut awarid samawiyah.
e. Masalah istinbath dan istidlal meliputi makna zhahir nash, takwil dalalah lafazh, mantuq dan mafhum yang beraneka ragam, 'am dan khas, muthlaq dan muqayyad, nasikh dan mansukh, dan sebagainya.
f. Masalah ra'yu, ijtihad, ittiba' dan taqlid; meliputi kedudukan rakyu dan batas-batas penggunannya, fungsi dan kedudukan ijtihad, syarat-syarat mujtahid, bahaya taqlid dan sebagainya.
g. Masalah adillah syar'iyah, yang meliputi pembahasan Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma', qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, mazhabus shahabi, al-'urf, syar'u man qablana, bara'atul ashliyah, sadduz zari'ah, maqashidus syari'ah/ususus syari'ah. h. Masa'ah rakyu dan qiyas; meliputi. ashal, far'u, illat, masalikul illat, al-washful munasib, as-sabru wat taqsim, tanqihul manath, ad-dauran, as-syabhu, ilghaul fariq; dan selanjutnya dibicarakan masalah ta'arudl wat tarjih dengan berbagai bentuk dan penyelesaiannya
Sesuatu yang tidak boleh dilupakan dalam mempelajari Ushul Figh ialah bahwa peranan ilmu pembantu sangat menentukan proses pembahasan. Dalam pembicaraan dan pembahasan materi Ushul Figh sangat diperlukan ilmu-ilmu pembantu yang langsung berperan, seperti ilmu tata bahasa Arab dan qawa'idul lugahnya, ilmu mantiq, ilmu tafsir, ilmu hadits, tarikh tasyri'il islami dan ilmu tauhid. Tanpa dibantu oleh ilmu-ilmu tersebut, pembahasan Ushul Figh tidak akan menemui sasarannya. Istinbath dan istidlal akan menyimpan dari kaidahnya. Ushul Figh itu ialah suatu ilmu yang sangat berguna dalam pengembangan pelaksanaan syari'at (ajaran Islam). Dengan mempelajari Ushul Figh orang mengetahui bagaimana Hukum Figh itu diformulasikan dari sumbernya. Dengan itu orang juga dapat memahami apa formulasi itu masih dapat dipertahankan dalam mengikuti perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang; atau apakah ada kemungkinan untuk direformulasikan. Dengan demikian, orang juga dapat merumuskan hukum atau penilaian terhadap kenyataan yang ditemuinya sehari-hari dengan ajaran Islam yang bersifat universal itu.
Objek pembahasan dari Ushul Figh meliputi tentang dalil, hukum, kaidah dan ijtihad. Sesuai dengan keterangan tentang pengertian Ilmu Ushul Figh di depan, maka yang menjadi obyek pembahasannya, meliputi : Pembahasan tentang dalil. Pembahasan tentang dalil dalam ilmu Ushul Figh adalah secara global. Di sini dibahas tentang macam-macamnya, rukun atau syarat masing-masing dari macam-macam dalil itu , kekuatan dan tingkatan-tingkatannya. Jadi di dalam Ilmu Ushul Figh tidak dibahas satu persatu dalil bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hokum Pembahasan tentang hukum dalam Ilmu Ushul Figh adalah secara umum, tidak dibahas secara terperinci hukum bagi setiap perbuatan. Pembahasan tentang hukum ini, meliputi pembahasan tentang macam-macam hukum dan syarat-syaratnya. Yang menetapkan hukum (al-hakim), orang yang dibebani hukum (al-mahkum 'alaih) dan syarat-syaratnya, ketetapan hukum (al-mahkum bih) dan macam-macamnya dan perbuatan-perbuatan yang ditetapi hukum (al-mahkum fih) serta syarat-syaratnya. Pembahasan tentang kaidah. Pembahasan tentang kaidah yang digunakan sebagai jalan untuk memperoleh hukum dari dalil-dalilnya antara lain mengenai macam-macamnya, kehujjahannya dan hukum-hukum dalam mengamalkannya. Pembahasan tentang ijtihad. Dalam pembahasan ini, dibicarakan tentang macam-macamnya, syarat-syarat bagi orang yang boleh melakukan ijtihad, tingkatan-tingkatan orang dilihat dari kaca mata ijtihad dan hukum melakukan ijtihad.
c. Tujuan dari Ushul Figh
Manfaat mempelajari Ushul Figh adalah menurut Para Ulama Ushul Figh adalah salah satu sarana untuk mendapatkan hukum-hukum Allah sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Swt. Dan Rasulnya, baik yang berkaitan dengan masalah aqidah, ibadah, muamalah, uqubah maupun yang akhlaq. Ushul Figh bukanlah sebagai tujuan melainkan hanya sebagai saran untuk mengetahui hukum-hukum Allah pada setiap kasus sehingga dapat dipedomani dan diamalkan sebaik-baiknya. Dengan mempelajari Fiqih Islam, kita akan menjadi orang yang berilmu karena mengetahui hukum agama. Kalau kita telah menjadi orang yang berilmu, maka kita akan memiliki banyak kelebihan dan keutamaan diatas orang-orang yang tidak berilmu. Allah berfirman :“Katakanlah : Apakah sama antara orang yang berilmu dan orang yang tidak berilmu?”(QS Az-Zumar: 9) • Sebaik-baik hamba Allah ialah yang paling takut kepada-Nya. Seseorang tidak akan memiliki rasa takut kepada Allah kecuali jika dia itu orang yang berilmu. Allah berfirman :“Yang takut kepada Allah diantara para hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu”. (QS Faathir: 28) • Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Allah berfirman :“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantara kalian dan orang-orang yang dikaruniai ilmu”. (QS Al-Mujadalah : 11) • Allah memerintahkan bahwa sebagian diantara orang-orang mukmin harus ada yang memperdalam agamanya, untuk kemudian ember peringatan kepada saudara-saudaranya ember mukmin yang lain. Allah berfirman :“Mengapa tidak pergi dari setiap kelompok diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang din dan untuk ember peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga diri”. (QS At-Taubah 122) • Rasulullah bersabda,”Barangsiapa yang dikehendaki oleh Allah kebaikan atasnya, maka Allah akan menjadikannya paham dalam masalah agamanya” (HR Bukhari-Muslim, dari Muawiyah ra).
Ketentuan-ketentuan Umum dalam Mempelajari Fiqih Islam :
1. Dilarang membahas hal-hal yang belum terjadi sampai benar-benar terjadi.
2. Hendaknya menjauhkan diri dari terlalu banyak bertanya dan berbelit-belit.
3. Hendaknya menjauhkan diri dari perbedaan dan perpecahan dalam agama.
4. Hendaknya mengembalikan masalah-masalah yang diperselisihkan kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Dengan adanya Ushul Figh :
- Ilmu Agama Islam akan hidup dan berkembang mengikuti perkembangan peradaban umat manusia.
- Statis dan jumud dalam ilmu pengetahuan agama dapat dihindarkan.
- Orang dapat menghidangkan ilmu pengetahuan agama sebagai konsumsi umum dalam dunia pengetahuan yang selalu maju dan berkembang mengikuti kebutuhan hidup manusia sepanjang zaman.
- Sekurang-kurangnya, orang dapat memahami mengapa para Mujtahid zaman dulu
merumuskan Hukum Figh seperti yang kita lihat sekarang. Pedoman dan norma apa saja yang mereka gunakan dalam merumuskan hukum itu. Kalau mereka menemukan sesuatu peristiwa atau benda yang memerlukan penilaian atau hukum Agama Islam, apa yang mereka lakukan untuk menetapkannya; prosedur mana yang mereka tempuh dalam -menetapkan hukumnya. Dengan demikian orang akan terhindar dari taqlid buta; kalau tidak dapal menjadi Mujtahid, mereka dapat menjadi Muttabi' yang baik, (Muttabi' ialah orang yang mengikuti pendapat orang dengan mengetahui asal-usul pendapat itu).
Dengan demikian, berarti bahwa Ilmu Ushul Figh merupakan salah satu kebutuhan yang penting dalam pengembangan dan pengamalan ajaran Islam di dunia yang sibuk dengan perubahan menuju modernisasi dan kemajuan dalam segala bidang. Melihat demikian luasnya ruang lingkup materi Ilmu Ushul Figh, tentu saja tidak semua perguruan/lembaga dapat mempelajarinya secara keseluruhan
d. Perbedaan Ushul Figh dengan Figh
Sebagaimana dari pengertian dan objek kajian diatas bisa disimpulkan perbedaan antara Ushul Figh dengan Figh itu sendiri.
- Objek kajian Ushul Figh adalah dalil-dalil, sedangkan objek dari Figh itu adalah Perbuatan seseorang yang telah mukallaf (telah dewasa dalam menjalankan hukum).
- Jika Usuli (ahli Ushul Figh) membahas dalil-dalil dan kaidah-kaidah yang bersifat umum , maka Fukaha (ahli Figh) mengkaji bagaimana dalil-dalil juz’i yang sebagian dapat diterapkan pada peristiwa-peristiwa yang partial atau khusus.
- Secara terminologi Ushul Figh diartikan ilmu dengan qowa’id atau penggalian hukum syariah amaliyah yang di ambil dari dalil-dalil terperinci. Ushul Figh juga merupakan ilmu yang menjelaskan kepada kita apa yang ada dalam tabiat hukum syariah itu sendiri daengan sifat-sifatnya yang global maupun samar. Mengkhususkanmasalah yang umum dari beberapa hukum,mengkaitkan hukum Yang satu dengan hukum lainnya,
- Sedangkan ilmu Figh merupakan suatu ilmu dengan hukum-hukum syariah Far’iyah yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah (seperti ibadah shalat, Puasa,melaksanakan haji dan sebagainya), muamalah (seperti kegiatan jual beli ,jinayah,interaksi antara orang muslim dengan muslim lainnya,interaksi muslim Dengan non-muslim lainnya dalam kondisi aman dan perang dan lain Sebagainya. Dalam konteks ibadah dan muamalah tersebut terdapat hukum-
Hukum syar’i seperti wajib.sunnah,mubah dan makruh.
- Dalam Ushul Figh terdapat empat unsur fundamental yang menjadi pokok
bahasan,yaitu :
1. Hukum-hukum syar’i,yaitu Allah sebagai hakim dan sumber hukum, hakekat hukum syar’i, ta’rif (definisi),macam-macam hukum syar’i, menerangkan siapa ’mahkum alaih’ dan ’mahkum fihi’.
2. Dali-dalil,yaitu dalil-dalil hukum syar’i dalam ilmu Ushul Figh diambil dari beberapa sumber : Al-Quran,hadits-hadits Nabi Muhammad , ijma’,dan qiyas,mashalih al-mursalah,perkataan sahabat,istihsan dan sebagainya.
3. Cara pengambilan hukum dari suatu dalil seperti dalil nuthqiyah,dalil Fahwa alkitab,dalil isyarat dan sebagainya.
4. Ijtihad,yaitu menerangkan makna dan hakikatnya.
===============================================================
B. SUMBER HUKUM ISLAM YANG MASIH DIPERDEBATKAN
Berikut sumber-sumber hukum yang masih menjadi perdebatan dalam Ushul Figh :
1. ISTIHSAN
Secara bahasa Ihtisan berasal dari kata hasan yang berarti adalah baik lawan dari qobaha yang berarti buruk. Kemudian di tambah tiga huruf yaitu alif- sin dan ta’ , bewazan istif’al ,sehingga menjadi istahsana- yastahsinu- istihsaanan. Kata benda (mashdar) yang berarti menganggap dan meyakini sesuatu itu baik (baik secara fisik atau nilai) lawan dari Istiqbah, menganggap sesuatu itu buruk.
Beberapa definisi Istihsân/ secara istilah atau terminologi, ulama beragam dalam mendefinisikannya sekalipun esensinya hampir memiliki kesamaan. Berikut ini beberapa definisi Istihsan:
1. Ungkapan tentang dalil yang dikritik oleh mujtahid itu sendiri (karena) ketidaksanggupannya untuk memunculkannya disebabkan tidak adanya kata/ ibarah yang dapat membantu mengungkapankannya. (Abu Zahroh)
2. Meninggalkan/ mengalihkan hasil qiyas menuju/ mengambil qiyas yang lebih kuat darinya. (Jasim Muhalhil)
3. Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/ menyeluruh. (Al Fairuz Abadi)
4. Beralihnya seseorang dari menghukumkan suatu masalah dengan yang serupa karen adanya kesamaan-kesamaan kepada hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama. (Al Jayzani)
5. Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya. (Al Qorofi)
6. Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan. (Ibnul Arobi)
7. Pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan dari salah satu syarak, yaitu al-Quran, sunnah, ijma’, dan qiyas. (Imam Syafii)
8. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
9. Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan untuk mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
10. Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
11. Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
Dari beberapa definisi istihsan di atas, nampak setiap ulama berbeda dalam mendefinisikannya sekalipun ada beberapa sisi yang memiliki kemiripan. Seperti hubungan istihsan dengan qiyas. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut ulama Ushul Figh, Istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.atau dapat juga disimpulkan bahwa Istihsan adalah memilih yang baik diantara dua pilihan atau mencari yang lebih baik untuk diikuti karena ada kewajiban untuk itu.
Menurut Ulama Hanafiyah dibagi menjadi :
1. Istihsan Nash (berdasarkan ayat atau Hadits yang tentang hukum suatu kasus yang berbeda dengan ketentuan umum. Contoh Makan siang pada waktu berpuasa tidak batal puasanya bila hal itu karena lupa
.
2. Istihsan dengan Ijmak (lebih mendahulukan Ijma dari Qiyas) Contoh Jasa permandian Umum tidak dihitung dari banyaknya air yang dipakai atau lamanya waktu.
3. Istihsan dengan Qiyas Khafi (berdasarkan Qiyas yang tersembunyi)
4. Istihsan dengan Darurat ( Istihsan berdasarkan keadaan Darurat) contohnya dalam keadaaan darurat menyelamatkan jiwa dengan memakan binatang yang menjadi haram di bolehkan karena hanya itu yang ada.
Menurut Ibnu Arabi membagi Istihsan menjadi empat macam yaitu :
1. Istihsan dengan Urf (istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum)
2. Istihsan dengan Maslahah (Istihsan berdasarkan kemaslahatan)
contohnya : membolehkan seorang dokter melihat aurat wanita dalam berobat.
3. Istihsan dengan Ijmak ( istihsan berdasarkan Ijmak)
4. Istihsan dengan Raf’ al- Kharaj wa al-Masyaqqah (menolak kesukaran dan kesulitan)
Kedudukan Istihsan Dalam Sumber Hukum Islam
Secara umum ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
1.
* Firman Allah swt dalam
* Sabda Rasul saw: “Apa yang dilihat kaum muslimin baik maka baik pula disisi Allah.”
* Ijma’ umat dalam konteks istihsan tentang boleh masuk kepemandian umum, tanpa pembatasan waktu dan penggunaan air serta ongkosnya.
2. Menganggap bukan sebagai sumber hukum. Diantara ulama yang menolaknya sebagai sumber hukum adalah Imam Syafi’i. Dalam bukunya ”Ar Risalah” beliau menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk mengatakan sesutau atas dasar Istihsan. Karena Istihsan hanyalah talazzuz. Beliau juga berkata ”Barang siapa yang beristihsan sungguh ia telah membuat syariat”. Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat (khobar lazim) yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan (ijma’) atau qiyas. Tidak boleh menetapkan hukum/ fatwa dengan Istihsan. Bahkan ada dikalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan dan membid’ahkan. Adapun alasan mereka yang menolak istihsan sebagai sumber hukum, antara lain:
* Karena kewajiban seorang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan RasulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Oleh karena itu hukum yang berasal dari Istihsan adalah produk manusia (wadh’i) yang hanya berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka (Tazawwuq dan Talazzuz)
* Allah swt memerintahkan kita untuk kembali kepada nash atau qiyas apabila kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti Firmannya dalam Annisa ayat 59: ”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
* Nabi Muhammad saw tidak pernah memberikan fatwa dengan menggunakan Istihsan. Misalnya ketika beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya ”Kamu bagiku mirip punggung ibuku”. Beliau tidak memberikan fatwa bersdasarkan Istihsan. Akan tetapi menunggu hingga turun ayat tentang Zihar beserta kafaratnya dan contoh lainnya. Atas dasar inilah, kita wajib menghindar penggunaan Istihsan tanpa adanya topangan nash.
* Nabi saw juga tidak memperkanankan sahabat memeberi fatwa atau bersikap berdasarkan istihsan. Seperti pada kasus Usamah yang membunuh musuhnya yang telah mengucapkan kalimat Laa Ila IllaLLah, karena kalimat itu di ucapkan di saat terdesak dan ancaman pedang yang terhunus.
* Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas dan kriteria yang bias dijadikan standar untuk membedakan antara haq dan batil, seperti halnya qiyas. Sehingga bisa menimbulkan bias.
Namun demikian, sesungguhnya antara dua kubu tersebut di atas tidak ada perbedaan yang mendasar. Karena Abu Hanifah yang menjadikan istihsan sebagai sumber hukum dalam artian mendahulukan nash atas qiyas. Bahkan beliau juga menolak penggunaan istihsan dalam artian mengamalkan sesuatu berdasarkan akal dan mengabaikan nash. Beliau berkata: “Janganlah kalian mengambil qiyas Zufar (salah seorang muridnya). Karena hal itu apabila kamu lakukan, maka kamu telah mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Dengan kata lain tidak ada satupun ulama yang menjadikan Istihsan sebagai sumber hukum berpendapat hanya berdasarkan akal semata, semua memiliki sandaran.
Begitu juga Imam Syafii, beliau menolak istihsan semata-mata berdasarkan akal. Namun apabila tidak semata-mata karena akal, beliau dapat menerimanya bahkan beliau menggunakannya. Ibnul Qoyyim berkata: “Imam Syafii sangat menolak Istihsan namun pada beberapa kasus beliau menggunakan Istihsan. Diantaranya beliau mengganggap baik, bahwa mut’ah bagi orang kaya adalah seorang pembantu, orang miskin muqniah, sedangkan bagi orang yang sedang (tidak kaya juga tidak miskin) 30 dirham”. Begitu pula dengan Imam Ahmad yang kadang menolak istihsan, juga menggunakan Istihsan. Beliau berkata: “Aku menganggap baik untuk bertayamum setiap kali sholat. Padahal secara qiyas tayamum sama dengan berwudlu.
Macam-Macam Istihsan
A. Istihsan dilihat dari aspek pengalihan.
1. Mengalihkan qiyas zhohir mengambil qiyas khofi,
Contohnya pada kasus tanah wakaf pertanian (sawah). Dilihat dari kacamata qiyas kewajiban mengairi tanah (sawah) tersebut tidak otomatis termasuk wakaf tanah pertanian tersebut, apalagi memang tidak disebutkan saat mewakafkannya. Alasannya karena qiyas zhohir, yaitu mengqiyaskan wakaf kepada jual beli dimanan apabila terjadi transaksi atas suatu barang maka terjadi pemindahan kepemilikan sesuai akad yang disepakatinya/ dikemukannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan maka kewajiban mengairi tanah wakaf (sawah) masuk dalam akad wakaf. Alasannya mengalihkan/mengabaikan hasil qiyas zhohir mengambil hasil qiyas khofi. Karena tujuan dari wakaf tersebut adalah memanfaatkan hasil dari pertaniantersebut. Dan sawah itu tidak akan menghasilkan/mendatang-kan manfaat apabila tidak diairi.
2. Mengalihkan nash yang bersifat umum,
mengambil hukum khusus. Contohnya pada kasus Umar ra yang membatalkan hukum potong tangan seorang pencuri karena kejadiannya saat terjadi musim paceklik/kelaparan. Padahal ayat potong tangan itu cukup jelas (5/38). Juga pada jual beli salam. Berdasarkan dalil umum tidak boleh. Karena Nabi saw bersabda: ”Janganlah kamu menjual yang tidak kamu miliki” [HR. Ahmad ]. Namun karena ada dalil khusu maka jual beli salam dibolehkan. Sabda Nabi saw ”Siapa yang melakukan jual beli salam, maka harus jelas ukuran, timbangan dan watunya” [HR. Bukhori].
3. Mengalihkan/mengabaikan hukum kulli mengambil hukum
istitsna’i(pengecualiaan), Contohnya pada orang yang makan saat puasa karena lupa. Kaidah umum, puasanya batal karena salah satu rukunnya, yaitu alimsak telah rusak. Namun karena ada dalil khusus yang mengkecualikannya, maka puasanya tidak batal. Yaitu sabda Nabi saw: “Siapa yang lupa padahal ia tengah puasa lalu ia makan atau minum, hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya itu adalah makan dan minum yang diberikan Allah”.
B. Istihsan dilihat dari sanad/sandaran yang digunakan dalam pengalihan/ pengabaian.
* Istihsan yang sanad/sandarannya berupa quwwatul atsar/riwayat yang kuat.
Contohnya pada kasus sisa air minum unggas carnivora sepeti burung elang, rajawali atau burung pemakan bangkai. Dilihat dari kacamata qiyas maka air itu menjadi najis. Yaitu apabila diqiyaskan kepada hewan buas. Karena ada kesamaan illatnya yaitu sama-sama hewan yang dagingnya haram dimakan. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan, hukum air itu suci namun makruh. Karena hewan burung minum dengan paruhnya. Dan paruhnya adalah suci karena ia sejenis tulang yang kering. Ini berbeda dengan hewan buas yang minum dengan lidahnya yang mengandung air liur yang bersumber dari dagingnya yang najis/ haram.
* Istihsan yang sandarannya berupa maslahat
Contohnya pada kasus ‘al ajir al musytarok’ (pekerja yang terikat pada banyak orang) seperti tukang jahit, yang menghilangkan/ kehilangan bahan. Dilihat dari kacamata qiyas, ia tidak wajib mengganti apabila bukan karena kelalaiannya. Namun apabila dilihat dari kacamata istihsan ia wajib menggantinya untuk menjaga agar hak milik orang tidak disia-siakan.
* Istihsan yang sandarannya berupa ijma
Contohnya pada kasusu akad Istishna’ (pesanan). Menurut qiyas semestinya akad itu batal. Sebab objek akad tidak ada ketika akad itu berlangsung. Akan tetapi transaksi model ini telah dikenal dan sah sepanjang zaman, maka ia dipandang sebagai ijma’ atau ’urf ’aam yang dapat mengalahkan dalil qiyas. Yang demikian ini berarti merupakan perpindahan dari suatu dalil ke dalil yang lainyang lebih kuat.
* Istihsan yang sandarannya berupa qiyas
Contohnya pada kasus wanita yang perlu pengobatan khusus. Pada hakikatnya seluruh tubuh wanita adalah aurat. Akan tetapi dibolehkan untuk melihat sebagaian tubuhnya karena hajat. Seperti untuk kepentingan pengobatan oleh seorang dokter. Di sini terdapat semacam pertentangan kaidah, bahwa seorang wanita adalah aurat, memandangnya akan mendatangkan fitnah. Sementara disisi lain akan terjadi masyaqqoh apabila tidak diobati. Dalam hal ini dipakai illat, at taysir (memudahkan).
* Istihsan yang sandarannya darurat.
Contohnya pada sumur yang kejatuhan najis. Apabila sumur itu dikuras sangat tidak mungkin. Karena alat yang digunakan pasti terkontaminasi kembali dengan najis tersebut. Namun dengan pertimbangan darurat hal itu dapat dilakukan.
* Istihsan yang sandarannya berupa ’urf (budaya/ kebiasaan)
Contoh orang yang bersumpah tidak makan daging (lahman). Namun kemudian ia makan ikan. Berdasarkan qiyas ia telah melanggar sumpahnya karena Al Qur’an menyebut ikan dengan kata ”lahman toriyyan” . Namun berdasarkan ’urf, ikan itu berbeda dengan daging.
2. MASLAHAH MURSALAH
Pada hakikatnya, al-mashalih artinya adalah mengambil yang baik dan meninggalkan yang buruk (yang tidak baik). Apakah yang dimaksud dengan “yang baik” tersebut?, Para ulama menyebutkan, bahwa “yang baik” itu kriterianya adalah sesuai dengan tujuan Allah dan Rasul-Nya menetapkan hukum, maka itulah kebaikan yang dimaksud tersebut, tak peduli jika menurut logika kita itu tidak baik. Ketika Allah mengatakan bahwa hal itu merupakan kebaikan maka diperintah dan adalah keburukan sehingga dilarang. Sehingga kita tak mempunyai hak untuk mengatakan, bahwa babi itu baik, walaupun mungkin secara logika ada yang mengatakan bahwa babi itu lebih enak dibandingkan dengan daging yang lainnya. Ketika Allah melarangnya, maka itulah keburukan.
Maslahah itu ada tiga jenis, yaitu:
Pertama, al-mashalih al-mu’tabarah, yaitu kemaslahatan (kebaikan-kebaikan) yang memang secara tekstual ditentukan oleh Allah ataupun Rasul-Nya. Dalam kasus ini, para ulama tidak berbeda pendapat, semuanya sepakat bahwa kebaikan yang sudah ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya tersebut memang harus kita pegangi.
Kedua, al-mashalih al-mulghah, yaitu kebaikan-kebaikan yang memang tidak pernah dianggap, bahkan jelas-jelas dinyatakan bahwa hal tersebut merupakan keburukan. Walaupun hal tersebut baik menurut logika kita, tetapi ketika Allah mengatakan bahwa hal tersebut harus dijauhi, maka sudah jelas bahwa hal tersebut memang harus dijauhi.
Ketiga, maslahah yang tidak diketahui, apakah Allah menganggap hal itu sebagai kebaikan atau Allah menganggapnya sebagai keburukan, tidak ada petunjuk mengenai hal tersebut. Jenis yang ketiga ini di dalam kajian Ushul Figh dinamakan al-mashalih al-mursalah, yaitu kebaikan yang Allah dan Rasul-Nya tidak memberikan rambu-rambu apakah hal tersebut baik ataukah buruk, tidak ada kejelasan dalam hal ini. Di sini terjadi benturan-benturan pemikiran yang begitu tajam. Di sinilah para ulama berbeda pendapat, apakah jenis yang seperti ini kita serahkan kepada otak, ataupun jenis ini perlu dukungan yang lainnya.
Dalam kasus ini, hampir-hampir antara Al-Istihsan dan Al-Mashalih ini sangat erat kaitannya, sehingga kasus seperti yang terjadi pada Sayyidina Umar tersebut ketika ada orang yang mengatakan “anti thaaliqun tsalaatsan”, maka Sayyidina Umar menentukan jatuh tiga thalaqnya. Ini merupakan suatu perlawanan yang terkesan ekstrim dari seorang Umar ibn Khattab. Ketika ditanya mengapa beliau berani mengubah ketentuan Rasulullah, maka dijawab oleh Sayyidina Umar:
“Bahwa dulu ketika Rasulullah menjadi pemimpin, rakyatnya adalah orang-orang sepertiku. Sedangkan sekarang pada masa kekhalifahanku, rakyatnya adalah kalian yang jauh lebih buruk dari orang-orang sepertiku pada masa itu. Pada masa itu (masa hidupnya Rasulullah), kami akan berpikir berkali-kali untuk mengucapkan thalaq. Tetapi pada masa kekhalifahanku ini, kalian begitu mudahnya untuk mengucapkan thalaq, walaupun hanya karena persoalan yang sepele. Sekarang, biar kalian tidak lagi terlalu mudah untuk mengucapkan thalaq, maka akan kujatuhkan thalaq tiga sekaligus jika kalian mengucapkan menthalaq tiga. Ini adalah untuk kebaikan kalian semuanya, sehingga kalian tidak gampang menjatuhkan thalaq.”
Dalam hal ini, Sayyidina Umar tidak sembarangan, karena ia mempunyai pegangan, yaitu bahwa perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah adalah thalaq. Apa yang dilakukan oleh Sayyidina Umar tersebut adalah mashalih, karena berangkat dari kebaikan-kebaikan untuk kebaikan-kebaikan. Hal ini takkan dijumpai di dalam teks-teks Alquran, Hadis, Ijma’, ataupun Qiyas. Sehingga dalam kasus ini, hukum Islam akan stagnan jika tidak menggunakan sumber hukum seperti mashalih. Dari sini dapatlah kita pahami, bahwasanya sumber hukum Islam yang digunakan oleh para ulama, bahkan di zaman Rasulullah, di antaranya adalah maslahah.
Maqashid tersebut dianggap sebagai barometer untuk menentukan apakah suatu masalah itu termasuk maslahat (kebaikan) atau mafsadat (keburukan), yang itu harus ditinjau dari maqashid atau maqshad atau tujuan dari ketentuan yang ditentukan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Para ulama kemudian menyimpulkan bahwsanya maqashid itu ada
Pertama, maqashid hifzhud-din, yaitu tujuannya adalah menjaga agama. Salah satu contohnya adalah dianjurkannya kita berjihad ketika jihad itu memang diperlukan untuk menjaga agama. Sebab kalau tidak, umat Islam mungkin akan dibantai sehingga akan habis. Kalau pemeluk agama Islam habis, maka agama Islam juga akan habis. Namun kadang kita mengartikan “jihad” itu seenaknya saja, padahal jihad adalah suatu ketentuan yang sangat sakral dan sangat mulia.
Kedua, maqashid hifzhun-nafsi, yaitu menjaga diri. Tujuan syari’ (tujuan Allah) menentukan suatu ketentuan hukum adalah untuk menjaga diri. Misalkan mengenai ketentuan qishash. Qishash adalah membunuh seseorang yang memang sudah layak untuk dibunuh. Ketika ada seseorang yang membunuh tanpa adanya kejelasan, sehingga perbuatannya tersebut merupakan perbuatan yang sangat salah, maka hukum terhadap orang yang membunuh tersebut adalah qishash. Ditentukan dan dianjurkannya qishash ini pada prinsipnya adalah menjaga diri. Mengapakah qishash itu dianggap menjaga diri, sedangkan qishash itu sendiri merupakan membunuh?,Allah menyatakan, bahwasanya qishash itu adalah “hayaatun ya ulil albab” (qishash itu adalah kehidupan bagi kalian). Mungkin jika suatu saat kita sedang berada di
Ketiga, maqashid hifzhul-aqli, menjaga pikiran (akal) agar selalu jernih. Karena itu, disyariatkanlah ketentuan hukuman (had) bagi orang yang mabuk (baik itu karena minuman keras ataupun narkoba). Sehingga, tujuan dari mengapa orang yang mabuk ataupun menenggak narkoba itu dihukum adalah agar tidak melakukan hal tersebut, sehingga otak ini tetap jernih.
Keempat, maqashid hifzhun-nasab, yaitu menjaga keturunan. Menjaga keturunan yang dimaksud di antaranya menjaga nasab dalam bentuk perintah dan menjaga nasab dalam bentuk larangan. Menjaga nasab dalam bentuk perintah salah satunya adalah menikah. Jadi, menikah itu adalah ketentuan dan perintah Allah dan Rasul-Nya seperti juga ketentuan dalam perintah-perintah yang lainnya. Sehingga kalau ada orang yang mengatakan bahwa nikah itu hanya untuk meredam nafsu seksual, maka berarti orang tersebut tidak paham pada syariat, karena sesungguhnya nikah merupakan perintah Allah untuk menjaga keturunan, dalam hal ini tentunya keturunan yang terhormat. Dalam bentuk larangan yaitu ketentuan dilarangnya melakukan perzinahan dan dianjurkannya menghukum orang-orang yang berzinah.
Kelima, maqashid hifzhun-maal, menjaga harta.
Inilah
Jika menuduh orang lain berzina yang kemudian tidak bisa membuktikan dengan empat orang saksi, maka orang yang menuduh tersebut akan dijatuhi hukuman cambuk. Mengapa seperti ini? Karena kehormatan orang Islam itu terjaga, tidak seenaknya saja menuduh orang lain melakukan perbuatan yang tidak terhormat. Bagi seorang suami yang menuduh istrinya melakukan perbuatan zina, maka si suami yang menuduh tersebut harus bisa membuktikan dengan bersumpah empat kali sebagi ganti dari empat orang saksi.
Kalau bersumpah atas nama Allah, maka taruhannya adalah surga dan neraka. Kalau bersumpah tidak dengan nama Allah, misalkan “demi langit dan bumi”, maka orang tersebut kafir. Jadi, konsekuensi bersumpah itu sangat berat. Sehingga orang yang dimintai sumpahnya itu sebetulnya jauh lebih berat daripada menghadirkan saksi. Dari hal ini dapatlah kita lihat, bahwa begitu kerasnya syariat menjaga kehormatan orang Islam. Persoalan ini begitu pentingnya kita ketahui. Mengenai Alquran dan Hadis mungkin sudah sering kita dengar, tetapi hukum-hukum yang seperti ini mungkin jarang ataupun tak pernah kita dengar. Dan ini adalah ketentuan yang secara nyata terjadi pada para ulama. Dengan mengetahui ini, mudah-mudahan akan membuka pikiran kita, sehingga kita tidak lagi seperti “katak dalam tempurung”, yang sedikit-sedikit kita mengatakan “hanya Alquran dan Hadis”. Memang tak dapat dipungkiri bahwa Alquran dan Hadis adalah sumber hukum Islam, tetapi bukan hanya Alquran dan Hadis, karena nyatanya para ulama tidak hanya bersumberkan kepada Alquran dan Hadis, melainkan ada sumber-sumber hukum Islam yang lainnya yang juga digunakan.
Berikut penjabaran Maslahul marsalah :
- Daruriah/penting, contohnya menjaga diri(dilarang membunuh),menjaga akal(dilarang mabuk),menjaga harta(qisa),menjaga agama(jihad),menjaga nasab/keturunan(dilarang berzina,dll)
- Hajat, untuk mencabut kesulitan,contohnya Qisas terhadap sekumpulan orang,yang membunuh 1 orang.
- Kebaikan, dilarang membunuh anak-anak ,wanita dan para rahib, dan adab makan.
Imam Malik dan Imam Hambali memberi tiga syarat dalam menentukan maslahat:
- sesuai dengan tujuan syariat
- masuk akal
- untuk kemaslahatan bersama,bukan individual/kolektif/anggota tertentu.
3. ISTISHAB
Istishab menurut bahasa berarti ”mencari sesuatu yang ada hubungannya”. Menurut istilah ulama Figh, ialah tetap berpegang pada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil yang mengubah hukum tersebut. Atau dengan kata lain, ialah menyatakan tetapnya hukum pada masa lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum tersebut.
Menurut Ibnu Qayyim, istishab ialah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya. Sedangkan menurut Asy Syatibi, istishab ialah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.
Berikut berbagai pengertian mengenai istishab :
* Istishab hukum al-Ibadah al Ashliyyah, yakni menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Contoh : pepohonan yang ada di hutan adalah milik bersama, dapat di ambil manfaatnya selama belum ada pemiliknya.
* Istishab menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus, yaitu sifat yang melekat pada suatu hukum sampai ditetapkan hukum yang berbeda. Contoh : wudhu seseorang akan berlangsung terus sehingga dianggap batal setelah ada penyebab yang membatalkan.
* Istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang bersifat khusus dan istishab dengan nas selama tidak ada dalil nask yang membatalkannya. Contoh : Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, yang berlaku bagi umat sebelumnya Islam, tetap wajib bagi umat islam selama tidak ada nas yang membatalkannya QS. Al-Baqarah ; 183.
* Istishab dengan hukum akal sampai datangnya hukum syari’ yaitu umat manusia tidak dikenakan hukum-hukum syari’ sebelumnya datangnya syara’. Contoh : tidak ada pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum.
* Istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijmak, tetapi keberadaan ujmak itu diperselisihkan Contoh : berdasarkan ijmak tatkala air itu tidak ada, seseorang diperbolehkan bertayyamum untuk mengerjakan shalat dan shalatnya sah. Akan tetapi apabila dalam keadaan shalat ia melihat aiar apakah shalatnya harus dibatalkan kemudian berwudhu atau shalat itu diteruskan ? menurut ulama Malikiyyah dan Syafi’iyah orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya karena adanya Ijmak yang menyatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelumnya melihat air.
Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
1. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
2. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.
Contoh Istishab:
- Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan istishab.
- Didasari pada statement “semua yang didunia itu boleh selagi tak ada dalil yang melarang”, maka pada masa sekarang ini banyak bermunculan hal-hal baru seperti mengkonsumsi rokok,dan juga penggunaan situs jejaring sosial seperti facebook,friendster,twitter,plurk,peoplestring,twitter dan lain sebagainya. Hal ini ditetapkan mubah atau boleh selagi digunakan untuk kemaslahatan umat/untuk menjalin silaturahim.
Dasar Hukum Istishab
Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak ada yang mengubah atau yang mengecualikan. Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas. Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan C atau terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang halal dengan yang haram.
Karena itulah ulama Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hujjah.
Macam-Macam Istishab
Dari istishhab itu dibuat kaidah-kaidah Fighiyah yang dapat dijadikan dasar untuk mengisthimbathkan hukum. Ditinjau dari segi timbulnya kaidah-kaidah itu istishhab dapat dibagi kepada:
a. Istishab berdasarkan penetapan akal
Berdasarkan ayat 29 surat al-Baqarah di atas, maka dapat ditetapkan suatu ketentuan umum bahwa semua yang diciptakan Allah SWT di bumi ini adalah untuk keperluan dan kepentingan manusia yang dapat digunakan sebagai sarana dalam melaksanakan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika demikian halnya maka segala sesuatu itu pada asasnya mubah (boleh) digunakan, dimanfaatkan atau dikerja-kan oleh manusia. Hal ini berarti bahwa hukum mubah itu tetap berlaku sampai ada dalil syara’ yang mengubah atau mengecualikannya. Seperti sebelum turunnya ayat 90
Dari istishhab macam ini diciptakan kaidah-kaidah berikut:
1. “(Menurut hukum) asal(nya) segala sesuatu itu mubah (boleh dikerjakan).”
2. “(Menurut hukum) asal(nya) manusia itu bebas dari tanggungan.”
3. “(Menurut hukum) asal(nya) tidak ada tanggungan.”
b. Istishab berdasarkan hukum syara’
Sesuai dengan ketetapan syara’ bahwa apabila telah terjadi akad nikah yang dilakukan oleh seorang laki-Iaki dengan seorang perempuan dan akad itu lengkap rukun-rukun dan syarat-syaratnya, maka kedua suami isteri itu halal atau boleh (mubah) hukumnya melakukan hubungan sebagai suami-isteri. Ketetapan mubah ini telah berlaku selama mereka tidak pernah bercerai) walaupun mereka telah lama berpisah dan selama itu pula si isteri dilarang kawin dengan laki-laki lain. Menyatakan bahwa hukum syara’ itu tetap berlaku bagi kedua suami-isteri itu, pada hakikatnya mengokohkan hukum syara’ yang pernah ditetapkan.
Dari istishab seperti ini diciptakan kaidah-kaidah:
1. “(Hukum yang ditetapkan dengan) yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh (hukum yang ditetapkan dengan) ragu-ragu.”
2. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada, berlaku, menurut keadaan adanya, hingga ada ketetapan yang mengubahnya.”
3. “(Menurut hukum) asal (nya) ketetapan hukum yang telah ada berlaku menurut keadaan adanya, hingga ada dalil yang mengubahnya.”
Kaidah-Kaidah Istishab Dan Penerapannya
Kaidah-kaidah istishab antara lain:
*
”pada asalnya segala sesuatu itu tetap (hukumnya) berdasarkan ketentuan yang telah ada sehingga ada dalil yang merubahnya.”
*
“pada asalnya hukum segala sesuatu itu boleh.”
* ا
“manusia pada asalnya adalah bebas dari beban.”
*
“apa yang telah ditetapkan dengan yakin, maka ia tidak bisa gugur karena keragu-raguan. Ia tidak bisa gugur kecuali dengan yakin juga.”
Maka orang yang yakin bahwa ia masih mempunyai wudhu’ dan ragu-ragu jika dirinya telah batal, maka ia dihukum masih mempunyai wudhu’, dan shalatnya sah. Hal demikian berbeda dengan pendapat ulama dari golongan Malikiyah yang berpendapat wajib berwudhu’ lagi. Sebab, menurut mereka tanggung jawab (beban)nya adalah menjalankan shalat dengan penuh keyakinan. Karena tanggung jawab tersebut tidak lepas kecuali dengan mengerjakan shalat dengan benar dan penuh keyakinan. Dan hal itu harus dilakukan dengan wudhu’ agar tidak diragukan kebatalannya.
4. `URF
Urf menurut ulama' Figh adalah kebiasaan mayoritas umat islam, baik dalam perkataan atau perbuatan. Secara etimologi, `Urf berarti baik, kebiasaan dan sesuatu yang dikenal. Adat dan `Urf adalah dua kata yang sinonim (mutaradif) Namun bila digali asal katanya, keduanya berbeda. ‘adat berasal dari kata ‘ada-ya’udu artinya perulangan (berulang-ulang), `Urf berasal dari ‘arafa – ya’rifu, sering diartikan dengan “sesuatu yang dikenal” (dan diakui orang banyak) Tidak ada perbedaan yang prinsip antara adat dan
‘urf, karena pengertian keduanya sama, yaitu perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan sehingga menjadi dikenal dan diakui orang banyak. Jadi meskipun asal kata keduanya berbeda,namun perbedaannya tidak berarti.
‘Urf adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang sudah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi dalam masyarakat. Di kalangan masyarakat sering disebut sebagai adat. Selagi adat itu tidak merusak kaedah, maka bisa dijadikan hukum.
Perbedaan Adat dengan ‘Urf
Dalam membedakannya, Al-urf berarti yang baik, para ulama Ushul Figh membedakan antara adat dengan urf. Urf menurut ulama’ Figh adalah kebiasaan mayoritas umat islam, baik dalam perkataan atau perbuatan. Seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu yang menetapkan bahwa untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga pada suatu perkawinan pada umumnya diambil dari mas kawin yang diberikan suami dengan berpatokan pada harga penjualan makanan.
Adat memiliki cakupan makna yang lebih luas. Adat dilakukan secara berulang-ulang tanpa melihat apakah adat itu baik atau buruk Adat mencakup kebiasaan pribadi, seperti kebiasaan seorang dalam tidur jam sekian, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu. Adat juga muncul dari sebab alami, seperti cepatnya anak menjadi baligh di daerah tropis, cepatnya tanaman berbuah di daerah tropis. Adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusakan akhlak, seperti suap, pungli dan korupsi. “Korupsi telah membudaya, terjadi berulang-ulang dan dimana-mana”. Sedangkan ‘urf tidak terjadi pada individu. ‘Urf merupakan kebiasaan orang banyak/kebiasaan mayoritas suatu kaum dalam perkataan atau perbuatan. A.Aziz Khayyath, Nazhayyah al-’Urf, Amman, Maktabah Al-Aqsha, hlm 24 Mustafa Ahmad Zarqa (Yordania), ‘urf bagian dari ‘adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu bukan pada pribadi atau golongan. ‘Urf bukan kebiasaan alami, tetapi muncul dari praktik mayoritas umat yang telah mentradisi. Misalnya, harta bersama, konsinyasi, urbun, dll.
Jenis-jenis Urf :
a. Dari Segi Obyeknya (Materi)
* Al-Urf al-Lafzi/ Urf Qawli adalah kebiasaan yang menyangkut ungkapan,lapaz/ucapan
Contoh : di Padang lapaz daging dipahami hanya daging sapi.
Bila sesorang mendatangi penjual daging, dan berkata “Saya beli daging 1 kg”, sedangkan penjual daging memiliki jualan daging-daging lain dan ikan, ayam, bebek. Maka yang dimaksud adalah daging sapi. Jika seorang Minang bersumpah tidak akan makan daging, tetapi setelah itu ia makan daging ikan. Maka ia tidak melanggar sumpah / tidak membayar kifarat, karena yang dimaksudkan dengan daging dalam sumpah tersebut adalah daging sapi. Walaupun menurut Al-quran, ikan termasuk daging “
* Al-Urf Amali (kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Contoh : dalam berpakaian pada acara-acara tertentu.
b. Dari segi cakupannya
* Al-Urf al-Am adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas diseluruh masyarakat dan diseluruh daerah, misalnya jual beli motor, alat yang digunakan untuk memperbaiki kendaraan bermotor.
* Al-Urf al-Khas adalah kebiasaan masyarakat yang berlaku di daerah tertentu. Misalnya para pedagang apabila barang yang cacat dapat dikembalikan.
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara’
* Al-Urf al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku ditengah masyarakat yang tidak bertentangan dengan nas, tidak menghilangkan kemaslahatan mereka dan tidak pula membawa mudarat kepada mereka. Contoh : membawa hadiah pada saat pertungan tidak dianggap sebagai mas kawin.
* Al-Urf al-Fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah – kaidah dasar yang ada dalam syara’. contohnya mengahalalkan riba’ ,persuapan untuk memenangkan suatu perkara dalam persidangan sebagai jalan untuk melancarkan urusan,dan lainnya.
Penyerapan ‘urf dalam hukum
Adapun mengenai kedudukan hukum ‘urf dalam Islam tergantung kepada jenisnya. Untuk ‘urf shahîh dia mempunyai kedudukan hukum yang patut dilestarikan karena itu merupakan sebuah kebiasaan yang bersifat positif dan tidak bertentangan dengan hukum syara’ untuk dilakukan dan dipertahankan. Maka para ulama berpandangan bahwa hukum adat bersifat tetap (al-’âdat muhakkamah).
Mengenai ‘urf fâsid, dia mempunyai kedudukan hukum yang tidak patut dilestarikan karena itu merupakan sebuah kebiasaan yang bersifat negatif dan dan bertentangan dengan hukum syara’ untuk dilakukan dan dipertahankan. Pada dasarnya, hukum adat/’urf adalah hukum yang tidak tertulis. Ia tumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan suatu masyarakat
Kedudukan ‘urf dalam menetapkan hukum
Dalam proses pengambilan hukum ‘urf/adat hampir selalu dibicarakan secara umum. Namun telah dijelaskan di atas bahwa ‘urf dan adat yang sudah diterima dan diambil oleh syara` atau yang secara tegas telah ditolak oleh syara` tidak perlu diperbincangkan lagi tentang alasannya. Secara umum ‘urf/adat diamalkan oleh semua ulama Figh terutama di kalangan madzhab Hanafiyyah dan Malikiyyah. Ulama Hanafiyyah menggunakan istihsân (salah satu metode ijtihad yang mengambil sesuatu yang lebih baik yang tidak diatur dalam syara`) dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsân itu adalah istihsân al-‘urf (istihsân yang menyandarkan pada ‘urf). Oleh ulama Hanafiyyah, ‘urf itu didahulukan atas qiyâs khafî (qiyâs yang ringan) dan juga didahulukan atas nash yang umum, dalam arti ‘urf itu men-takhshîs nash yang umum. Ulama Malikiyyah menjadikan ‘urf yang hidup di kalangan penduduk Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum. Ulama Syâfi`iyyah banyak menggunakan ‘urf dalam hal-hal yang tidak menemukan ketentuan batasan dalam syara` maupun dalam penggunaan bahasa. Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘urf dalam Figh, al-Suyûthî mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah al-‘âdat muhakkamah (adat itu menjadi pertimbangan hukum.
5. QAUL SAHABI/MAZHAB SAHABAT
Sahabat menurut Ulama Figh adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. Dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw.
Mazhab Zahabi adalah ”pendapat” para sahabat Rasulullah saw. Yaitu pendapat para sahabat tentang sesuatu kasus yang dinukilkan para ulama’ baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, dan dalam qur’an serta hadits tidak dijelaskan hukum dari kasus tersebut. Qawlsahabiyy juga bisa diartikansebagai pendapat sahabat pada masalah-masalah yang boleh diijtihadkan setiap nukilan yang sabit daripada salah seorang sahabat Nabi Muhammad SAW sama ada berbentuk fatwa atau hukuman mengenai peristiwa yang tiada nas daripada Al-Quran,hadis atau ijmak. Namun pendapat para shahabat itu terutama muncul manakala tidak ada nash yang sharih dari Rasulullah SAW tentang suatu masalah. Di situlah kemudian para shahabat mengeluarkan pendapatnya. Selain itu, qaulush-shahabi biasanya berbentuk kesimpulan hukum yang lafadznya tidak langsung dari ucapan nabi SAW, melainkan dari mulut para sahabat. Seperti seorang shahabat berkata, Rasulullah SAW memerintah kita untuk begini dan begini. Atau perkataan seorang sahabat,dimana Rasulullah SAW melarang kita untuk begini dan begitu.
Dalam menentukan hukum berdasarkan Qaul sahabi ada istilah yang disebut dengan Dzari’ah, Dzari’ah adalah ”jalan”, yaitu jalan menuju kepada sesuatu. Menurut Ibn Qayyim ” dzari’ah mengandung dua pengertian yaitu yang dilarang (sadd al-dzari’ah) dan yang dituntut untuk dilaksanakan (fath al-dzari’ah). Madzhab dan Dzari’ah dapat diambil sebagai hujjah dalam menetapkan hukum, apabila permasalahan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan menggunakan nalar atau logika maupun ijtihad maka madzhab dan Dzari’ah dapat diterima sebagai Hujjah. Contoh dalam hal mawaris yang menjadikan kakek berhak menerima pembagian warisan 1/6 dari harta yang ditinggalkan cucunya ketika meninggal dunia. Alasannya sesuai dengan surah al-Imran ; 110.
Di antara para ulama yang berpegangan pada qaulush-shahabi adalah Al-Imam Malik rahimahullah. Selain itu beliau juga berpegangan pada sumber istimbath lainnya seperti mafhum mukhalafah,mafhum muwafakah, tanbih alal illah, ijma,qiyas,amal ahlul madinah,istihsan, saddu dharai, muraatul khilaf,istishab, maslahah mursalah, syar’u man qablana. Beliau yakin bahwa perkataan atau pendapat para shahabat lebih utama untuk dipegang dan diikuti ketimbang ijtihad kita sendiri. Sebab para shahabat itu pernah hidup bersama dengan Rasulullah SAW. Sehingga mereka bisa dianggap barisan orang yang paling mengerti sunnah beliau, paling paham dengan Islam langsung dari sumber aslinya, serta paling tahu seluk-beluk turunnya Al-Quran. Bahkan para ulama yang berpegang kepada qaulush-shahabi mengajukan dalil dari Al-Quran Al-Kariem dan As-Sunnah An-Nabawiyah yang menegaskan bahwa Allah SWT dan Rasulullah SAW memang memerintahkan kita untuk mengikuti sunnah para shahabat beliau. Allah SWT berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Taatilah Allah, taatilah rasulullah dan para
Pemimpinmu”
Mentaati pemimpinmu artinya adalah mentaati para sahabat, karena mereka adalah para pemimpin umat Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Demikian juga Rasulullah SAW telah bersabda:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي ، وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
”Hendaklah kalian berpegang pada sunnahku dan sunnah
para khulafa rasyidin setelahku”
Hadits ini secara tegas memerintahkan kita bukan hanya berpegang kepada sunnah Rasulullah SAW, namun juga kepada sunnah para khulafa’ rasyidin setelah beliau SAW. Yakni apabila tidak ada penjelasan tentang hukum suatu hal dari beliau, maka alternatif berikutnya adalah kita merujuk kepada pendapat, perkataan atau fatwa dari para shahabatnya.
Yang Tidak Menerima Qaulush-Shahabi
Sedangkan di antara para ulama yang tidak menerima konsep qaulush-shahabi antara lain adalah murid Imam Malik sendiri, yaitu Al-Imam As-Syafi’i rahimahullah. Beliau tetap hormat dan mengagungkan para shahabat nabi SAW. Namun untuk kepastian dan keoriginalitasan suatu hukum syariah, beliau memandang bahwa perkataan sahabat kurang punya aspek kekuatan.
Padahal yang namanya landasan hukum itu harus pasti kebenarannya. Tidak bisa hanya berdasarkan zhan . Kalau memang Rasulullah SAW telah mengeluarkan hukum, seharusnya ada lafadz asli yang diriwayatkan secara utuh dari beliau SAW. Adapun bila sekedar kesimpulan atas interpretasi seseorang, meski pun yang melakukannya para shahabat, belum cukup untuk sampai ke derajat sebagai sumber hukum yang kuat. Sebab di antara para shahabat sendiri sesungguhnya masih seringkali terdapat perbedaan interpretasi dalam memahami sabda Rasulullah SAW.
6. SYAR`N MIN QOBLINA
Syar`n min qoblina merupakan hukum-hukum pada zaman sebelum Islam atau hukum yang tidak bisa bediri sendiri/tidak independent. Ketentuan hukum pada syar`n min qoblina ini banyak ditentang oleh para ulama dimana hukum atau asas aturannya masih bersifat lemah dan adakalanya tidak sesuai dengan prinsip aturan Islam.
Contohnya : pada zaman Nabi Musa jika ingin bertobat atas kesalahan-kesalahan harus bunuh diri.
7. SADDU DHARO`I
Secara etimologi terdiri dari dua perkataan iaitu sadddanal-dharai, Sadd berarti mengangkat/mencegah, Al-Dhara`i berarti setiap yang menjadi jalan dan perantara kepada sesuatu.
Pada istilah/terminologi didefinisikan sebagai menghalang melakukan sesuatu yang harus yang boleh membawa kepada sesuatu yang haram dan menutup jalan yang
menuju kepada perbuatan yang dilarang.
Contoh : Menghalang penjualan anggur kepada peniaga arak, Mengurangkan hiburan yang keterlaluan dimasyarakat yang dikhawatirkan berdampak negatif. Menyogok polisi atau jaksa untuk memenangkan suatu kasus/tender,dan lain sebagainya.
C. IJTIHAD
1. Definisi
Menurut bahasa, ijtihad berarti Al-jahd atau al-juhd yang berarti la-masyaqat (kesulitan dan kesusahan) dan akth-thaqat (kesanggupan dan kemampuan). Dalam al-quran disebutkan:
“..walladzi lam yajidu illa juhdahum..” (at-taubah:79)
artinya: “… Dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”(at-taubah:79)
Kata al-jahd beserta serluruh turunan katanya menunjukkan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa dan sulit untuk dilaksanakan atau disenangi.
Dalam pengertian inilah Nabi mengungkapkan kata-kata:
“Shallu ‘alayya wajtahiduu fiddua’”
artinya:”Bacalah salawat kepadaku dan bersungguh-sungguhlah dalam dua”
Demikian dengan kata Ijtihad yang berarti “pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit.” Atas dasar ini maka tidak tepat apabila kata “ijtihad” dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang mudah/ringan.
Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang.Dan di sisi lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi. Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u ‘l-Lah dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang terkenal dengan qiyas (ma’qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari maksud dan tujuan umum dari hikmah syari’ah- yang terkenal dengan “mashlahat.”.
Secara istilah/terminologi ijtihad berarti pencurahan segenap kemampuan untuk mendapatkan sesuatu dalam menggali syariat awali/perbuatan, Yaitu penggunaan akal sekuat mungkin untuk menemukan sesuatu keputusan hukum tertentu yang tidak ditetapkan secara eksplisit dalam al-Quran dan as-Sunnah. Rasulullah saw pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas'ud sebagai berikut : " Berhukumlah engkau dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah ". Kepada Ali bin Abi Thalib beliau pernah menyatakan : " Apabila engkau berijtihad dan ijtihadmu betul, maka engkau mendapatkan dua pahala. Tetapi apabila ijtihadmu salah, maka engkau hanya mendapatkan satu pahala ". Muhammad Iqbal menamakan ijtihad itu sebagai the principle of movement. Mahmud Syaltut berpendapat, bahwa ijtihad atau yang biasa disebut arro'yu mencakup dua pengertian :
a. Penggunaan pikiran untuk menentukan sesuatu hukum yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh al-Qur'an dan as-Sunnah.
b. Penggunaan fikiran dalam mengartikan, menafsirkan dan mengambil kesimpulan dari sesuatu ayat atau hadits.
Adapun dasar dari keharusan berijtihad ialah antara lain terdapat pada al-Qur'an surat an-Nisa ayat 59.
Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua kelompok ahli Ushul flqh(ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan ushuliyyin dari kelompok mayoritas.
Menurut mereka, ijtihad adalah pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu hukum syara’ (hukum Islam).
Dari definisi tersebut dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar’i, yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa, bukan hukum i’tiqadi atau hukum khuluqi,
3. Status hukum syar’i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni.
Jadi apabila kita konsisten dengan definisi ijtihad diatas maka dapat kita tegaskan bahwa ijtihad sepanjang pengertian istilah hanyalah monopoli dunia hukum. Dalam hubungan ini komentator Jam’u ‘l-Jawami’ (Jalaluddin al-Mahally) menegaskan, “yang dimaksud ijtihad adalah bila dimutlakkan maka ijtihad itu bidang hukum fiqih/hukum furu’. (Jam’u ‘l-Jawami’, Juz II, hal. 379).
Atas dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu (Ushul Figh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur ‘ulama’ telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum (hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu. Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
2. Kedudukan Ijtihad
Berbeda dengan al-Qur'an dan as-Sunnah, ijtihad terikat dengan ketentuan-ketentuan sebagi berikut :
a. Pada dasarnya yang ditetapkan oleh ijtihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut. Sebab ijtihad merupakan aktifitas akal pikiran manusia yang relatif. Sebagai produk pikiran manusia yang relatif maka keputusan daripada suatu ijtihad pun adalah relatif.
b. Sesuatu keputusan yang ditetapkan oleh ijtihad, mungkin berlaku bagi seseorang tapi tidak berlaku bagi orang lain. Berlaku untuk satu masa / tempat tapi tidak berlaku pada masa / tempat yang lain.
c. Ijtihad tidak berlaku dalam urusan penambahan ibadah mahdhah. Sebab urusan ibadah mahdhah hanya diatur oleh Allah dan Rasulullah.
d. Keputusan ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur'an dan as-Sunnah.
e. Dalam proses berijtihad hendaknya dipertimbangkan faktor-faktor motifasi, akibat, kemaslahatan umum, kemanfaatan bersama dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
3. Syarat-syarat Ijtihad
Mujtahid mengerahkan segala potensi yang ada padanya, kecerdasan akalnya, kehalusan rasanya, keluasan imajinasinya, ketajaman intuisinya dan keutamaan kearifannya. Sehingga hukum yang dihasilkannya merupakan hukum yang benar. Karena itu seorang mujtahid harus memiliki syarat-syarat tertentu. Ada ulama yang memberikan syarat yang sangat banyak dan ada pula yang hanya menentukan beberapa syarat saja. Ukuran kualitas seorang mujtahid antara lain ditentukan oleh syarat-syarat tersebut. Di antara syarat-syarat yang sangat penting adalah :
1. Menguasai bahasa Arab dengan baik. Hal ini mutlak karena seorang mujtahid harus berinteraksi dengan Alqur’an dan Alhadits yang ditulis dalam bahasa Arab. Kedua sumber hukum ini harus dipahami menurut pemahaman bahasa Arab dan tidak mungkin dipahami dengan cara pikir bahasa lain, karena bahasa Arab mempunyai segi-segi linguistik yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Lalu bagaimana kalau ada yang berijtihad dengan bersandarkan pada terjemahan semata?
2. Mengetahui Al-Quran, As-Sunnah dan bahasa Arab dengan pengetahuan yang luas dan mendalam.
3. Mengetahui turuq al istitinbath Ushul Figh, metode menemukan hukum dan menerapkan hukum, agar hukum hasil ijtihad lebih mendekati kepada kebenaran.
4. Memiliki akhlak yang terpuji dan niat yang ikhlas dalam berijtihad.Melihat syarat-syarat yang telah disebutkan di atas, masih obyektifkah kita untuk menerapkan syarat-syarat yang demikian itu, menurut Penulis harus merekonstruksi syarat yang demikian berat karena suatuasi dan kondisi yang berbeda dan berubah.
5. Memahami tafsir ayat-ayat hukum dalam Alqur’an. Jumlah ayat-ayat hukum ini diperselisihkan oleh para ulama. Ada yang berpendapat bahwa jumlahnya kurang dari separuh Alqur’an. Ada pula yang berpendapat bahwa seluruh ayat-ayat Al-Qur’an pada dasarnya merupakan ayat-ayat hukum.
6. Menguasai ilmu-ilmu hadits baik riwayatul hadits maupun dirayatul hadits. Mengenai ini perlu dicamkan bahwa dalam ijtihad, seorang mujtahid akan jauh lebih banyak bersandar pada Alhadits daripada Alqur’an. Hal ini bisa dimaklumi karena Alqur’an hanya memuat hal-hal pokok saja, sementara Alhadits merupakan penafsir Alqur’an.
7. Mengetahui ijma’ para fuqaha’ (dengan asumsi mengakui adanya ijma’ mereka) atau sekurang-kurangnya ijma’ para sahabat (jika berpendirian bahwa ijma’ hanya berlaku untuk para sahabat nabi).
8. Menguasai semua cabang syari’ah/maqasid syari’ah, prinsip-prinsip umum dan semangat ajaran Islam.. Hal ini penting karena cabang-cabang syari’ah seringkali berkaitan satu sama lain.
Al-Quran atau Sunnah yang sahih mengisahkan suatu hukum yang telah disyariatkan pada umat yang dahulu melalui para Rasullah kemudian nash tersebut diwajibkan kepada kita sebagaimana diwajibkan kepada mereka, maka tidak diragukan lagi bahwa syariat tersebut ditujukan juga kepada kita. Dengan kata lain wajib untuk diikuti, seperti firman Allah SWT dalam QS al-Baqarah ayat 183 :
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6ø‹n=tæ ãP$u‹Å_Á9$# $yJx. |=ÏGä. ’n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
4. Tujuan dan fungsi ijtihad
Tujuannya adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.
Fungsi Ijtihad, Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia diatur secara detil oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan baru dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
5.Macam-Macam Ijtihad
Ijma, Adalah keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati.
Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti seluruh umat.
Qiyas, Beberapa definisi qiyâs' (analogi)
a. Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan diantara keduanya.
b. Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan diantaranya.
c. Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam Al-Qur'an atau Hadis dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
Istihsan,Beberapa definisi Istihsân
- Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.
- Argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
- Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
- Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya.
Maslahaht murshalah, Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskhnya dengan pertimbangan kepentingan hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.
Sududz Dzariah/saddu dharo`i, Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.
Istishab, Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya.
`Urf, Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis, dan lainnya seperti pada bahasan di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Wikipedia.org
Google.com
Multiply.com
Blogger.com
www.docstoc.com
voa.islam.com
www.cybermq.com
www.konsultasisyariah.net Oleh Ahmad Mudzoffar Jufri, MA
ustadzkholid.com/ushulFigh
ryper.blogspot.com/2009/12/ushul-Figh
www.Fighislam.com/as-sunnah/ushul-Figh
ahmadzainwordpress.com/2006/11/ushul-Figh
rumahislam.com/../150-huk-syari.html
islamalternatif.net
www.pdfqueen.com
malmumenes.tripod.com/hukum.htm
hadirukiyah.blogspot.com/2009/ushulFigh
Kamali Mohammad Hasyim, Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam; (Ushul Figh). Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996
www.arwa170804.co.cc
artikel yang sangat menarik..jangan lupa ya singgah di blog sya..duniapendidikan33.blogspot.com
BalasHapus