Selasa, 17 April 2012

History Ushul Fikih


BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kelahiran Ushul Fikih tidak terlepas dari Sejarah kelahirannya. Ilmu ini tidak berdiri sendiri melainkan melalui proses panjang hingga terbentuklah Ushul Fikih. Kajian historis mengenai bidang ini perlu dipelajari mengingat betapa pentingnya ilmu fikih. Oleh karenanya, melalui makalah sederhana ini, penulis mencoba menguraikan histografi Ushul Fikih dan fase-fase perkembangannya hingga mencapain kematangan sebagai suatu disiplin ilmu islam.
B.       Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang hendak dikaji oleh dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
1.      Bagaimana Sejarah lahirnya ilmu Ushul Fikih?
2.      Bagaimana fase-fase pekembangan Ushul Fikih?
C.      Tujuan
Adapun tujuan dari disusunnya makalah ini adalah.
1.      Menjelaskan Sejarah lahirnya ilmu Ushul Fikih
2.      Menjelaskan fase-fase perkembangan Ushul Fikih
 
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sejarah Kaidah Fiqih
Beberapa peneliti menjelaskan Sejarah kaidah dengan menentukan periodesasinya menjadi tiga bagian: zaman pertumbuhan dean pembentukan (tawr al-nusyu’wa al-takwin), zaman perkembangan dan kodifikasi (tawr al-namu wa al tadwin), dan zaman kematangan dan penyempurnaan (tawr al-rusukh wa al-tansiq). Dengan demikian, fase-fase tersebut beserta cirri-ciri khususnya kita jelaskan pada bagian berikut.
1.      Fase pertumbuhan dan pembentukan (Abad 1-3 H)
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih; dari zaman kerasulan hingga zaman hijrah. Peroide ini dari segi fase Sejarah hukum islam, dapat dibagi menjadi tiga decade; zaman Nabi Muhammad SAW yang berlangsung 22 tahun (610-632 M/12SH-10H); zaman tabiin’ dan zaman tabi’ al-tabiín yang berlangsung selam 250 tahun (724-974 M/100-351 H). Tahun 351 H dianggap sebagai zaman kejumudan karena tidak ada lagi ulama pendiri mazhab. Ulama mazhab terakhir adalah Ibnu Jarir al-Thabari (w.310 H/734 M) yang mendirikan mazhab Jahiriah. Artinya bahwa ketika islam ada pada puncakm kejayaan, kaidah fiqih baru dibentuk dan ditumbuhkan. Cirri kaidah yang dominan adalah jawamil kamil (kalimatnya ringkas tapi maknanya luas). Atas dasar cirri dominan tersebut, hadits yang mempunyai cirri tersebut dapat dijadikan kaidah fiqih. Oleh karena itulah, periodesasi Sejarah fiqih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fikih adalah.


“Pajak itu disertai imbalan jaminan”


“Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak dipersulit (oleh orang lain).”


“Bukti dibebankan kepada penggugat dan sampah dibebankan kepada tergugat.”


“Benda yang memabukkan ketika banyak (dinakan atau diminum), sedikitpun (memakan atau meminumnya) adalah haram.”

Demikian sabda Nabi Muhammad SAW yang dianggap sebagai kaidah fikih. Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya bahwa periode ini berlangsung selama tiga abad. Generasi setelah Nabi Muhammad SAW disebut sebagai generasi sahabat. Sahabat berjasa dalam ilmu fikih karena turut serta membentuk kaidah fikih.


2.      Fase perkembangan dan kodifikasi
Dalam Sejarah hukum islam, abad ke-4 H dikenal sebagai zaman taqlid. Taqlid adalah mengikuti pendapat ulama tanpa mengetahui alasannya (qabul qawl man la yadri min ayna yaqul). Pada zaman ini, sebagian ulama melakukan tarjih pendapat imam mazhabnya masing-masing. Yang dilakukan ulama pengikut mazhab adalah ilhaq (melakukan analogi atau qiyas).  Menurut Ibnu Khaldun, ketika mazhab tiap imam fikih menjadi ilmu khusus bagi pengikutnya dan tidak ada jalan untuk melakukan ijtihad, ulama melakukan tandzir (penyamaan) masalah-masalah untuk dihubungkan serta memilahnya ketika terjadi ketidakjelasan setelah menyederhanakannya kepada dasar-dasar tertentu dari mazhab mereka.
Sebagai contoh kaidah fikih yang berkembang pada masa ini adalah kaidah-kaidah fikih Abu Thahir al-Dabbas.


“Setiap perkara bergantung pada niatnya”


“keyakinan tidak hilang dengan keraguan”


“Kesulitan mendatangkan  kemudahan”


“Kesulitan (harus) dihilangkan”


“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
3.      Fase kematangan dan penyempurnaan
Aliran hukum Sunni yang berjasa dalam pembentukan kaidah fiqih pada zaman pertumbuhan adalah hanafiah. Tokohnya adalah al-Karkhi dan al-Dabusi. Tetapi peran ini bergeser pada abad VI dan VII H, aliran Hanafi mengalami stignasi. Pada zaman stagnasi ini muncul kitab Syarah Ushul al-Karkhi yang disusun oleh Najm al-Din Abu Hafs al-Nasafi (w.537).
Sekalipun dikatakan sebagai aliran stagnasi, tidak berarti dalam aliran ini tidak terdapat pengembangan kaidah fikih sama sekali. Pada zaman ini, muncul pengikut Hanafi lainnya seperti Qadhi Khan dan Husairi yang menjadikan fikih salah satu media dalam menentukan illat dan mentarjih pendapat ulama. Abad VII H merupakan zaman kejayaan mazhab Syafií.
Sekalipun ditulis sejak lama, kaidah fikih masih bercampur dengan displin ilmu-ilmu lainnya. Oleh karena itu, pada abad XII H muncul Majallat al-ahkam al-‘adiyat yang disusun oleh Laznah Fuqaha Ustmaniyah. Para fuqaha merangkum dan memilah kaidah fikih dari sumber-sumbernya, seperti al-Asybab wa al-Nazha’ir karya Ibnu Nujaim, dan Majmu’ al-Haqa’iq karya al-Khadimi.
Abad X H dianggap sebagai periodesasi kesenmpurnaan kaidah fikih. Meskipun demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fikih pada zaman sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad XIII H adalah.


“Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain kecuali ada izin dari pemiliknya.”

Kadiah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih nenjadi idzn. Oleh karena itu, kaidah fikih tersebut adalah.


“Seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”
Kaidah pertama menunjukkan bahwa izin diperoleh hanya dari pemilik harta, sedangkan menurut kaidah kedua izin boleh dari pemilik benda, syar’, atau al-urf.
B.  Sumber-sumber Kaidah Fiqih
Berikut ini akan disajikan rujukan-rujukan terpenting dalam disiplin ilmu kaidah fikih dalam mazhab hokum Sunni, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali.
1.      Buku-Buku kaidah Fikih Hanafiah
a.       Ushul al-karkhi karya al-karkhi (260-340)
b.      Ta’sis al-Nazhar karya Abu Zaid al-Dabusi (w.430 H)
c.       Al-Asybab wa al-Nazhar karya Ibnu Nujaim (w.970 H)
2.      Buku-Buku kaidah Fikih Malikiah
a.       Ushul al-Futuya karya Muhammad Ibnu Haris al-Husyni (w. 361 H)
b.      Al-Furuq karya al-Qurafi (w. 684 H)
c.       Al-Qawaid karya al-Maqqari (w. 758 H)
3.      Buku-Buku kaidah Fikih Syafi’iah
a.       Qawaid al-ahkam fi Mashalih al-anam karya Ibnu “Abd al-Salam (w. 660 H)
b.      Al-Asybab wa al-Nazha’ir karya Ibnu Wakil (w. 716 H)
c.       Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Qawaid al-Madzhab karya al-ala’I (w. 761 H)
4.      Buku-Buku kaidah Fikih Hanabilah
a.       Al-Qawaid al-Nuranniyyat al-Fiqhiyyat karya Ibnu Taimah (w. 728 H)
b.      Al-Qawaid al-Fiqhiyyat dinisbatkan kepada Ibnu Qadhi al-jabal (w. 771 H)
c.       Al-Qawaid karya Ibnu Rajab (w. 795 H)

                                                                                                      


BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1.      Kaidah fikih pada masa Rasulullah SAW dikenal sebagai fase pertumbuhan dan pembentukan kaidah fikih. Pada masa ini dikenal sebagai
2.      Memasuki abad ke-4 H, usul fikih mengalami fase kodifikasi dan perkembangan.
3.      Fase kematangan dimulai sejak abad XI, dimana lahir ulama’-ulama’ yang menciptakan kitab-kitab Ushul Fikih.
B.       Saran
Ushul Fikih merupakan jantung hokum islam. Mempelajarinya untuk mendalam ilmu fikih adalah wajib hukumnya.


Daftar Pustaka

Mubarok, Jaih. 2002. Kaidah Fiqih; Sejarah Dan Kaidah Asasi. Jakarta: Grafindo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar