Kamis, 03 Mei 2012

Qadariyah


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mazhab Qadariyah muncul sekitar tahun 70 H (689 M). Menurut paham ini manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya sendiri, Tuhan tidak ikut campur tangan (intervensi) dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak segala sesuatu terjadi karena Qada’ dan Qadar Allah SWT.
Menurut Ahmad Amin, ada teologi yang mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqi. Ma’bad adalah seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Namun  dalam kitab Syarh Al-Uyum. Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyum, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang Semula beragama Kristen kemudian beragama Islam dan balik lagi keagama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’I bernama Susan.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Asal-Usul Munculnya Paham Qadariyah

Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi. Qadariyah adalah suatu Aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya sendiri[1].
Paham Qadariyah muncul akibat dari pemikiran tentang sebatas mana hubungan perbuatan-perbuatan manusia baik yang baik maupun yang buruk terhadap kekuasaan Tuhan yang mengatur dirinya. Paham ini merupakan tandingan dari paham Jabariyah yang menyatakan bahwa perbuatan manusia adalah menurut kahendak Tuhan.
Tak dapat diketahui dengan pasti kapan paham ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi islam. Tetapi menurut ketengan ahli-ahli teologi islam tokoh pertama kali yang menyatakan paham Qadariayah ini adalah Ma’bad al-Juhani,[2] yang kemudian diikuti oleh Ghailan al-Dimasqi. Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan paham Qadariyah adalah orang Irak  yang semula beragama Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah Ma’bad Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperolh informasi dari Al-Auzai, adalah Susan.[3]

Paham Qadariyah mendapat tantangan keras dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya reaksi keras ini, pertama, seperti pendapat Harun Nasution, karena masyarakat sebelum Islam kelihatannya dipengaruhi paham fatalis. Kehidupan bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu terpaksa mengalah kepada keganasan alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan oleh alam sekelilingnya. Paham itu terus dianut kendatipun mereka sudah beragama Islam. Karena itu, ketika paham Qadariyah dikembangkan, merka tidak dapat menerimanya. Paham Qadariyah itu dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua, tantangan dari pemerintah ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut paham Jabariyah. Ada kemungkinan jugapejabat pemerintah menganggap gerakan paham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan paham dinamis dan daya kritis rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang tidak sesuai, dan bahkandapat  menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.[4]


B.  Tokoh-Tokoh Aliran Paham Qadariyah

Tokoh utama Qadariyah adalah Ma’bad Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi. Kedua tokoh inilah yang pertama kali mempersoalkan tentang Qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad Al-Juhani berguru dengan Hasan Al-Basri, sebagaimana Washil bin Atha’, tokoh pendiri mu’tazilah. Jadi, Ma’bad termasuk tabiin atau generasi kedua sesudah Nabi. Sedangkan Ghailan semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya.
Kedua tokoh Qadariyah ini mati terbunuh. Ma’bad Al-Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan Al-Hajjaj pada tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung gubernur Sajistan, Abdurrahman Al-Asy’ats menentang kekuasaan bani Umayyah. Sedangkan ghailan Al-Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (105-125 H/ 724-743 M), khalifah dinasti Ummayyah yang kesepuluh. Hukuman bunuh atas ghailan dilakukan karena ia terus menyebarluaskan faham qadariyah yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan faham qadariyah di Damaskus sehingga mendapat tekanan dari khalifah Umar bin Abdul Aziz (717-720 M). Meskipun terus mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan aktivitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724 M). Baru pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) kegiatan ghailan berhenti dengan eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya.

C. Doktrin-Doktrin Paham Qadariyah

Doktrin Qadariyah  pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempuyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di akhirat dan dibeeri ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, ini berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.
Paham takdir dalam pandangan Qadariyah bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketilka itu, yaitu paham yang menyatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam paham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Alloh yang diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatulloh.
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktri-doktrin ini mempuyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak Ayat Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al-Kahfi [18]:29:

Artinya :
”Katakanlah, kebenaran dari Tuhanmu barang siapa yang mau, berimanlah dia,dan barang siapa yang inin kafir, biarlah ia kafir”.



Dalam surat Ar-Ra’ad [13]: 11 disebutkan :

Artinya :
”Sesungguhnya Alloh tiada mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
Dalam surat An-Nisa’ [4]: 111 disebutkan pula:

Artinya :
”Dan barang siapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk merugikan dirinya sendiri.”


BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan

Paham Qadariyah pada intinya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia atas kehendaknya sendiri. Manusia memiliki kewenangan untuk melakukan segala perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan yang jahat.
Paham ini diadopsi oleh Ma’bad Al-Jauhani dan Ghailan Ad-Dimasyqy dari seorang Kristen yankg masuk Islam dan kemudian masuk Kristen lagi, dia adalah Susan yang berasal dari Irak.
Paham ini merupakan tandingan kontras berlawanan dengan paham Jabariyah yang menyatakan bahwa perbuatan manusia berasal dari kehendak mankusia itu sendiri serta  bersifat  fatallistis (pasrah) terhadap keadaan hidup.

B.      Komentar  Terhadap Pemikiran Teologi Qadariyah

Paham Qadariyah menyatakan bahwa manusia memiliki free Will dan free Act dalam segala tingkah laku perbuatannya, itu artinya secara tidak langsung paham ini telah menapikkan sifat kemutlakan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala hal tehadap makhluk-Nya tidak terkecuali atas perbuatan manusia.
 Paham ini lebih terkesan menggunakan rasionalitas dalam pemahamannnya, itu artinya paham inipun bisa berpotensi melahirkan liberalisasi dalam pemikiran Islam. Akan tetapi dari sisi positifnya paham ini bisa membuat Islam lebih dinamis, tak hanya terjebak di satu sisi pemikiran saja.
Jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat sosial sekarang ini, secara sadar maupun tidak mereka sebenarnya telah mengaplikasikan paham ini di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai contoh, seorang pengusaha yang berusaha keras untuk membuat hidupnya menjadi lebih layak (kaya) dan seorang penuntut ilmu yang giat belajar untuk menjadi orang pintar.

DAFTAR PUSTAKA

Abuddin, Nata, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Raja Grafindo: Jakarta, 1993. 
Nasution, Harun. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Universitas Indonesia-Press, Jakarta, 2002.
Rozak Abdul, Rosihan, Anwar, Ilmu Kalam, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2003.



[1] Abdul Rozak, Anwar Rosihan, Ilmu Kalam, (Bandung:Pustaka Setia, 2003), h. 70
[2] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta:UI-Press),    hal. 34
[3] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 71
[4] Ibid, h. 72-73
[5]Nata Abudin.. Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1993) 
[6] Abdul Rozak, Ilmu Kalam, h. 73-76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar