BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mazhab Qadariyah muncul sekitar
tahun 70 H (689 M). Menurut paham ini manusia mampu mewujudkan tindakan atau perbuatannya sendiri, Tuhan tidak ikut
campur tangan (intervensi) dalam perbuatan manusia itu, dan mereka menolak
segala sesuatu terjadi karena Qada’ dan Qadar Allah SWT.
Menurut Ahmad Amin, ada teologi yang
mengatakan bahwa Qadariyah pertama kali dimunculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan
Ghailan Ad-Dimasyqi. Ma’bad adalah
seorang taba’i yang dapat dipercaya dan pernah berguru pada Hasan Al-Basri. Namun dalam kitab Syarh Al-Uyum. Ibnu Nabatah dalam
kitabnya Syarh Al-Uyum, seperti dikutip Ahmad Amin, memberi informasi lain bahwa
yang pertama kali memunculkan faham Qadariyah adalah orang Irak yang
Semula beragama Kristen kemudian beragama Islam dan balik lagi keagama Kristen.
Dari orang inilah Ma’bad dan Ghailan mengambil faham ini. Orang irak yang
dimaksud, sebagaimana dikatakan Muhammad Ibnu Syu’I bernama Susan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Asal-Usul Munculnya Paham Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu dari bahasa qadara yang artinya kemampuan dan
kekuatan. Adapun menurut pengertian termonologi. Qadariyah adalah suatu Aliran
yang percaya bahwa segala tindakan manusia tidak diintervensi oleh Allah. Aliran
ini berpendapat bahwa tiap-tiap manusia adalah pencipta bagi segala
perbuatannya, ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkannya atas kehendaknya
sendiri[1].
Paham Qadariyah muncul akibat dari
pemikiran tentang sebatas mana hubungan perbuatan-perbuatan manusia baik yang
baik maupun yang buruk terhadap kekuasaan Tuhan yang mengatur dirinya. Paham
ini merupakan tandingan dari paham Jabariyah yang menyatakan bahwa perbuatan
manusia adalah menurut kahendak Tuhan.
Tak dapat diketahui dengan pasti kapan
paham ini timbul dalam sejarah perkembangan teologi islam. Tetapi menurut
ketengan ahli-ahli teologi islam tokoh pertama kali yang menyatakan paham
Qadariayah ini adalah Ma’bad al-Juhani,[2]
yang kemudian diikuti oleh Ghailan al-Dimasqi. Ibnu Nabatah dalam kitabnya Syarh Al-Uyun, seperti dikutip Ahmad
Amin, memberi informasi lain bahwa yang pertama kali memunculkan paham Qadariyah
adalah orang Irak yang semula beragama
Kristen kemudian masuk Islam dan balik lagi ke agama Kristen. Dari orang inilah
Ma’bad Ghailan mengambil faham ini. Orang Irak yang dimaksud, sebagaimana
dikatakan Muhammad Ibnu Syu’ib yang memperolh informasi dari Al-Auzai, adalah
Susan.[3]
Paham Qadariyah mendapat tantangan keras
dari umat Islam ketika itu. Ada beberapa hal yang mengakibatkan terjadinya
reaksi keras ini, pertama, seperti
pendapat Harun Nasution, karena masyarakat sebelum Islam kelihatannya
dipengaruhi paham fatalis. Kehidupan
bangsa Arab ketika itu serba sederhana dan jauh dari pengetahuan. Mereka selalu
terpaksa mengalah kepada keganasan
alam, panas yang menyengat, serta tanah dan gunungnya yang gundul. Mereka
merasa dirinya lemah dan tak mampu menghadapi kesukaran hidup yang ditimbulkan
oleh alam sekelilingnya. Paham itu terus dianut kendatipun mereka sudah
beragama Islam. Karena itu, ketika paham Qadariyah dikembangkan, merka tidak dapat menerimanya. Paham Qadariyah
itu dianggap bertentangan dengan doktrin Islam.
Kedua,
tantangan dari pemerintah
ketika itu. Tantangan ini sangat mungkin terjadi karena para pejabat pemerintahan menganut paham Jabariyah. Ada kemungkinan jugapejabat
pemerintah menganggap gerakan paham Qadariyah sebagai suatu usaha menyebarkan paham dinamis dan daya kritis
rakyat, yang pada gilirannya mampu mengkritik kebijakan-kebijakan mereka yang
tidak sesuai, dan bahkandapat
menggulingkan mereka dari tahta kerajaan.[4]
B.
Tokoh-Tokoh Aliran Paham Qadariyah
Tokoh utama Qadariyah adalah Ma’bad
Al-Juhani dan Ghailan Al-Dimasyqi. Kedua tokoh inilah yang pertama kali
mempersoalkan tentang Qadar. Semasa hidupnya, Ma’bad Al-Juhani berguru dengan
Hasan Al-Basri, sebagaimana Washil bin Atha’, tokoh pendiri mu’tazilah. Jadi,
Ma’bad termasuk tabiin atau generasi kedua sesudah Nabi. Sedangkan Ghailan
semula tinggal di Damaskus. Ia seorang ahli pidato sehingga banyak orang
tertarik dengan kata-kata dan pendapatnya.
Kedua tokoh Qadariyah ini mati
terbunuh. Ma’bad Al-Juhani terbunuh dalam pertempuran melawan Al-Hajjaj pada
tahun 80 H. Ia terlibat dalam dunia politik dengan mendukung gubernur Sajistan,
Abdurrahman Al-Asy’ats menentang kekuasaan bani Umayyah. Sedangkan ghailan
Al-Dimasyqi dihukum bunuh pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik
(105-125 H/ 724-743 M), khalifah dinasti Ummayyah yang kesepuluh. Hukuman bunuh
atas ghailan dilakukan karena ia terus menyebarluaskan faham qadariyah
yang dinilai membahayakan pemerintah. Ghailan gigih menyiarkan faham qadariyah
di Damaskus sehingga mendapat tekanan dari khalifah Umar bin Abdul Aziz
(717-720 M). Meskipun terus mendapat tekanan, Ghailan tetap melakukan
aktivitasnya hingga Umar wafat dan diganti oleh Yazid II (720-724 M). Baru pada
masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik (724-743 M) kegiatan ghailan berhenti
dengan eksekusi hukuman mati yang dijatuhkan kepadanya.
C. Doktrin-Doktrin Paham Qadariyah
Doktrin Qadariyah pada
dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas
kehendaknya sendiri. Manusia mempuyai kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat.
Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya
dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya. Dalam
kaitan ini, bila seseorang diberi ganjaran baik dengan balasan surga kelak di
akhirat dan dibeeri ganjaran siksa dengan balasan neraka kelak di akhirat, ini
berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan oleh takdir Tuhan. Sungguh tidak
pantas, manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas
keinginan dan kemampuannya sendiri.
Paham takdir
dalam pandangan Qadariyah bukanlah
dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketilka itu, yaitu
paham yang menyatakan bahwa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu.
Dalam perbuatan-perbuatannya, manusia hanya bertindak menurut nasib yang telah
ditentukan sejak azali terhadap dirinya. Dalam paham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Alloh yang
diciptakan-Nya bagi alam semesta beserta seluruh isinya, sejak azali, yaitu
hukum yang dalam istilah Al-Qur’an adalah sunnatulloh.
Dengan pemahaman seperti ini, kaum Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang
tepat untuk menyandarkan segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan.
Doktri-doktrin ini mempuyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak
Ayat Al-Qur’an yang dapat mendukung pendapat ini, misalnya dalam surat Al-Kahfi [18]:29:
Artinya
:
”Katakanlah,
kebenaran dari Tuhanmu barang siapa yang mau, berimanlah dia,dan barang siapa
yang inin kafir, biarlah ia kafir”.
Dalam surat Ar-Ra’ad [13]: 11 disebutkan :
Artinya
:
”Sesungguhnya
Alloh tiada mengubah keadaan suatu bangsa, kecuali jika mereka mengubah keadaan
diri mereka sendiri.”
Dalam surat An-Nisa’ [4]: 111 disebutkan pula:
Artinya
:
”Dan
barang siapa melakukan suatu dosa, maka sesungguhnya ia melakukannya untuk
merugikan dirinya sendiri.”
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Paham Qadariyah pada intinya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia atas
kehendaknya sendiri. Manusia memiliki kewenangan untuk melakukan segala
perbuatan atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan yang baik maupun perbuatan
yang jahat.
Paham ini diadopsi oleh Ma’bad Al-Jauhani
dan Ghailan Ad-Dimasyqy dari seorang Kristen yankg masuk Islam dan kemudian
masuk Kristen lagi, dia adalah Susan yang berasal dari Irak.
Paham ini merupakan tandingan kontras berlawanan
dengan paham Jabariyah yang
menyatakan bahwa perbuatan manusia berasal dari kehendak mankusia itu sendiri
serta bersifat fatallistis
(pasrah) terhadap keadaan hidup.
B.
Komentar Terhadap Pemikiran Teologi Qadariyah
Paham Qadariyah menyatakan bahwa manusia memiliki free Will dan free Act dalam
segala tingkah laku perbuatannya, itu artinya secara tidak langsung paham ini
telah menapikkan sifat kemutlakan Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala hal tehadap
makhluk-Nya tidak terkecuali atas perbuatan manusia.
Paham
ini lebih terkesan menggunakan rasionalitas
dalam pemahamannnya, itu artinya paham inipun bisa berpotensi melahirkan liberalisasi dalam pemikiran Islam. Akan
tetapi dari sisi positifnya paham ini bisa membuat Islam lebih dinamis, tak
hanya terjebak di satu sisi pemikiran saja.
Jika dikaitkan dengan kehidupan masyarakat
sosial sekarang ini, secara sadar maupun tidak mereka sebenarnya telah
mengaplikasikan paham ini di dalam kehidupan sehari-hari mereka. Sebagai
contoh, seorang pengusaha yang berusaha keras untuk membuat hidupnya menjadi
lebih layak (kaya) dan seorang penuntut ilmu yang giat belajar untuk menjadi
orang pintar.
DAFTAR PUSTAKA
Abuddin, Nata, Ilmu
Kalam, Filsafat dan Tasawuf. Raja Grafindo: Jakarta, 1993.
Nasution, Harun. Teologi
Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Universitas Indonesia-Press,
Jakarta, 2002.
Rozak
Abdul, Rosihan, Anwar, Ilmu Kalam, CV.
Pustaka Setia, Bandung, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar