Kamis, 03 Mei 2012

Metodelogi Studi islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Metodelogi Studi islam dengan mendalam dan konfrehensif sangat penting untuk dipahami karena ajaran islam memiliki sejumlah peran dan fungsi di tengah masyarakat. Usaha-usaha peningkatan, perbaikan, pemahaman, dan penghayatan terhadap agama memang kurang di perhatikan dan kurang mendapatkan proposisi yang sesuai dan memadai. Dalam praktiknya keberagamaan di Indonesia menjadi legalstik dan formalistic dalam bentuk ritual formal semata.
Maraknya aliran-aliran baru menumbuhkan satu pertanyaan, siapa atau apa penyebab utama munculnya paham-paham baru tersebut / Apakah itu hanya sebuah wujud gejolak kejiwaan manusia yang ingin mencari sebuah “sensasi” atau memang terdapat kesalahan dalam proses pembelajaran (Studi) keagamaan di Indonesia. Sehingga memicu timbulnya pemikiran-pemikiran baru yang sedikit banyak “melenceng” dari ajaran atau pemikiran semula.
Namun apapun penyebabnya, yang pasti kini masalah tersebut cukup mengusik ketentraman umat beragama di Indonesia khususnya umat islam. Walaupun di Indonesia terdapat UU yang salah satu pasalnya memuat tentang kebebasan beragama, tidak seyogyanya pula kebebasan tersebut disalahgunakan dan disalahartikan untuk memecah persatuan umat beragama dengan memunculkan satu pemikiran yang dianggap “nyleneh” dengan dalih kebebasan beragama dan demokrasi.
Oleh karena itu, penulis mencoba memberikan sedikit ulasana dan penjelasan serta pengertian metodologi Studi islam, peran serta fungsinya dalam pemahaman agama dengan tujuan untuk sedikit memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai pentingnya penguasaan sebuah Studi keagamaan bagi setiap orang sehingga ia tidak dengan mudah menyelewengkan (menyalahpersepsikan) sebuah agama, terlebih lagi memproklamirkan sebuah agama baru yang dianggap benar, padahal bagi masyarakat kebanyakan hal itu justru meresahkan.



B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud  dengan Metodologi Studi Islam ?
2.      Bagaimana Urgensi Metodologi Studi Islam itu penting dalam kehidupan beragama  ?


C.    TUJUAN
1.      Menjelaskan pengertian metodologi Studi islam.
2.      Menjelaskan bagaimana urgensi Metodologi Studi Islam di dalam kehidupan beragama.


BAB II
PEMBAHASAN.

A.    Pengertian Metodologi Studi Islam
Studi Islam secara etimologis merupakan terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal dengan istilah Islamic Studies. Maka Studi Islam secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis tentang Studi Islam dalam kajian yang sistematis dan terpadu.
Study Islam secara sederhana dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan agama islam. Dengan kata lain Studi islama  adalah usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan agama islam, baik ajaran, sejarah maupun praktik-praktik pelaksanaanya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.[1]
B.     Urgensi Metodologi Studi Islam
Pada masa sekarang ini, di mana umat Islam sedang menghadapi tantangan dari kehidupan dunia dan budaya modern, Studi keislaman menjadi sangat uegen. Metodologi Studi Islam dituntut untuk membuka diri terhadap masuknya dan digunakannya pedekatan-pendekatan yang bersifat Obyektif dan rasional, dan secara bertahap meninggalkan pendekatan yang berifat subjektif-doktriner. Adapun urgensi Studi islam dapat dipahami sebagai berikut :[2]
1.      Umat islam saat ini berada dalam kondisi problematic
Umat islam pada saat ini berada pada masa yang lemah dalam segala aspek kehidupan social budaya  yang mana harus berhadapan dengan dunia modern yang serba psraktis dan maju. Oleh karena itu, umat islam tidak boleh terjebak pada romantisme, artinya menyibukkan diri untuk membesar-besarkan kejayaan masa lalu yang terwujud dalam sejarah islam, sementara saat ini islam masih silau menghadapi masa depannya. umat islam memang berada dalam suasana problematic. Jika sekarang umat islam masih berpegang teguh pada ajaran-ajaran islam hasil penafsiran ulama terdahulu yang   dianggap sebagai ajaran  yang mapan  dan sempurna serta paten , berarti mereka memiliki intelektual sebatas itu saja yang pada akhirnya menghadapi masa depan suram.
Oleh karena itu, disinilah pentingnya Studi islam yang dapat mengarahkan dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaharuan dan pemikiran kembali ajaran-ajaran agama islam yang merupakan warisan ajaran yang turun temurun agar mampu beradaptasi dan menjawab tantangan serta tuntutan zaman dan dunia modern dengan tetap berpegang pada sumber ajaran islam yang murni dan asli, yaitu al-quran dan As sunnah. Studi islam juga dapat diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat islam agar tetap menjadi seorang muslim dan mampu menjawab tantangan serta tuntutan zaman modern maupun era global sekarang.
Dan Dalam satu hadistnya Rosulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya bani Israil ( kaum yahudi dan nasrani )telah berpecah belah menjadi 72 aliran,dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 aliran.Mereka semua akan masuk neraka kecuali satu aliran saja.Para sahabat bertanya,”Siapakah dia itu wahai Rosulullah?” Beliau menjawb, “siapa yang mengikuti jejakku dan para sahabatku.”
( HR.tirmidzi al-Hakim dan al-Aajurri,diharuskan oleh al-Albani)
Dari hadist di atas kita tahu bahwa sejak jauh-jauh hari rosulullah telah menginformasikan (mensinyalir) tentang adanya perpecahan umat hadist diatas bukanlah isapan jempol belaka.di Indonesia saja ,telah muncul beberapa aliran agama baru yang muncul dari suatu agama -- terutama islam -- sejak puluhan tahun yang lalu.pada umumnya, pelopor sekaligus pemimpinnya mengaku sebagai ”orang pilihan” yang diutus oleh Tuhan sebagai juru selamat atau penyempurna suatu agama bagi umat manusia.
Maraknya aliran-aliran baru tersebut mengindikasikan adanya kebutuhan besar terhadap agama yang benar-benar bisa memenuhi kebutuhan rohaniah perubahan masyarakat akibat modernisme, globalisme dan tahap era post industri yang menyebabkan krisis kemanusiaan serta kurangnya pengetahuan tentang agamalah yang menjadi pangkal pangkal utama munculnya berbagai macam aliran tersebut.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak akan terjadi jika manusia khususnya umat islam memahami dan menguasai Metodelogi Studi agama,yang dalam hal ini adalah metodologi Studi islam.
2.      Umat islam dan peradabannya berada dalam suasana problematic
Perkembangan IPTEK telah membuka era baru dalam perkembangan budaya dan peradaban umat manusia. Dunia tampak sebagai suatu system yang saling memiliki ketergantungan  Oleh karenanya, umat manusia tentunya membutuhkan aturan, norma serta pedoman dan pegangan hidup yang dapat diterima oleh semua bangsa.
            Umat manusia dalam sejarah peradaban dan kebudayaannya telah berhsil menemukan aturan, nilai, norma sebagai pegangan dan pedoman yang  berupa: agama, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat manusia pada masa yang serba canggih semakin menjadikan manusia-manusia modern kehilangan identitas serta kemanusiaannya ( sifat-sifat manusiawinya).
            Islam, sebagai agama yang rahmatullah lil ‘alamin, tentunya mempunyai konsep atau ajaran yang bersifat manusiawi dan universal, yang dapat menyelamatkan umat manusia dan alam semesta dari kehancurannya. Akan tetapi , umat islam sendiri saat ini berada dalam situasi yang serba problematic. Kondisi kehidupan social budaya dan peradaban umat islam dalam keadaaan lemah dan tidak berdaya berhadapan dengan budaya dan peradaban manusia dan dunia modern. Disinilh urgensi nya Studi islam, yaitu untuk menggali ajaran-ajaran islam yang asli ndan murni, dan yang bersifat manusiawi. Dari situlah kemudian dididikkan dan ditransformasikan kepada generasi penerusnya yang bisa menawarkan alternative pemecahan permaslahan yang dihadapi oleh umat manusia dalam dunia modern.[3]
Dalam satu hadistnya Rosulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya bani Israil ( kaum yahudi dan nasrani )telah berpecah belah menjadi 72 aliran,dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 aliran.Mereka semua akan masuk neraka kecuali satu aliran saja.Para sahabat bertanya,”Siapakah dia itu wahai Rosulullah?” Beliau menjawb, “siapa yang mengikuti jejakku dan para sahabatku.” ( HR.tirmidzi al-Hakim dan al-Aajurri,diharuskan oleh al-Albani)
Dari hadist di atas kita tahu bahwa sejak jauh-jauh hari rosulullah telah menginformasikan (mensinyalir) tentang adanya perpecahan umat hadist diatas bukanlah isapan jempol belaka.di Indonesia saja ,telah muncul beberapa aliran agama baru yang muncul dari suatu agama -- terutama islam -- sejak puluhan tahun yang lalu.pada umumnya, pelopor sekaligus pemimpinnya mengaku sebagai ”orang pilihan” yang diutus oleh Tuhan sebagai juru selamat atau penyempurna suatu agama bagi umat manusia.
Maraknya aliran-aliran baru tersebut mengindikasikan adanya kebutuhan besar terhadap agama yang benar-benar bisa memenuhi kebutuhan rohaniah perubahan masyarakat akibat modernisme, globalisme dan tahap era post industri yang menyebabkan krisis kemanusiaan serta kurangnya pengetahuan tentang agamalah yang menjadi pangkal pangkal utama munculnya berbagai macam aliran tersebut.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak akan terjadi jika manusia khususnya umat islam memahami dan menguasai Metodelogi Studi agama,yang dalam hal ini adalah metodologi Studi islam.
Dengan demkian penulis berpendapat bahwa dengan kita belejar atau memahami metodologi Studi Islam, tentu pemahaman kita terhadap agama smakin mendalam. Hal ini terbukti ketika perkembangan zaman yang begitu pesat sehingga orang yang beragama islam bisa dikatakan kehilangan edintitasnya karena keterbelakangan mereka terhadap pengethuan tenang islam sehingga islam itu dianggap kolot, kampungan, tertinggal dan lebih sadis lagi islam itu adalah radikal, maka dari itu metodologi Studi islam membuka selebarnya kepada kita sekalian bagaimana caranya berislam yang benar, supaya ketika kita menemukan ketidak sesuaian antara perilaku dengan keimanan kalau kita lihat islam itu adalah gejolak social.
Dengan metodologi Studi Islam, kita dapat mengamalkan ajaran islam dengan cara yang sebenarnya, karena banyak kaum muslimin yang beribadah atau melasanakan ajaran agam Islam tanpa pengetahuan yang kadang dalam pelaksaaannya salah atau tidak sesuai dengan  apa yang ada dalam aturan islam sehingga dalam pandangan agama lain islam itu tdak konsisten, salah, dan sebagainya.
Urgensi Studi islam juga dapat di pahami sebagai berikut :
Untuk meningkatkan kualitas kehidupan yang baik, manusia memerlukan pendekatan yang komperehensif berkaitan dengan pemahamannya tentang agama. Dalam berbagai fakta dan fenomena umat islam di Indonesia faktor ploralitas, latar belakang sosial/budaya, ekonomi dan pendidikan adalah tantangan yang berat untuk meningkatkan kualitas pemahaman dan pola keberagaman secara utuh.
Tingkat pemahaman yang devarnatif cenderung membawa pola perilaku yang berbeda meskipun keduanya dalam ketentuan ajaran islam. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh Islam yang berpengtahuan agama cukup dalam. Abbuduin Nata menyatakan bahwa fenomena keagamaan ini secara umum menunjukkan sumberdaya umat yang baik, namun tidak ditunjang oleh penguasaan keilmuan keislaman, lemah dalam penguasaan metodologi, tidak dapat teroganisasi dan tersistematik dalam struktur pengetahuannya. Dampak yang nyata adalah kualitas pemahaman agama dan keberagaman yang belum responsif terhadap berbagai persoalan yang universal. Pembentukkan pemahaman islam yang komprehensif sesungguhnya merupakan bangunan metodologi dalam berbagai bidang-bidang keislaman.[4]
Sejati yang hidup dalam Dari segi tingkatan kebudayaan , agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi pasti akan lenyap dengan sendirinya. Karenanya agama islam dari dulu hingga sekarang  dengan tangguh menyatakan eksistensinya. Hali ini berarti bahwa agama mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan fungsinya  di masyarakat. Oleh karena itu , study islam dituntut untuk membuka dirinya agar Studi islam mampu berkembang dan beradaptasi dengan dunia modern serta menjawab tantangan kehidupan dunia dan mudaya modern.
Banyak juga ahli dari kalangan umat Islam yang menguasi secara mendalam satu bidang keilmuan keislaman, namun kurang begitu memahami bidang ilmu lainnya. Misalnya, seseorang hanya memehami ilmu Fiqih, sehingga ditanya tentang bebagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat, ia hanya memandang dari dari segi hukum fiqih saja, padahal untuk menyelesaikan permasalahan tersebut diperlukan ilmu lainnya. Begitu pula, bagi orang yang hanya memahami ilmu teologi, ia hanya memandang segala sesuatu dari dari segi teologi. Teologi tersebut biasanya hanya dari satu aliran saja, seperti Asy’ariyah atau Maturidiyah, sehingga ia mengkafirkan aliran teologi lainnya.[5]
Untuk itu para ahli menggunakan bebagai macam pendekatan dalam memahami islam diantaranya Abdurrahman Wahid misalnya beliau menggunakan pendekatan fiqih dan sosoio-cultural.
Demokrasi bisa dipahami sebagai bentuk penerapan nilai-nilai universal Islam dalam konteks modern. Penerimaan Islam terhadap ‘bentuk’ (konsep demokrasi) dengan di-‘isi’ (dengan nilai-nilai universal Islam) merupakan usaha mempertemukan antara ‘budaya’ (‘adah) dengan ‘norma’ (syariah), sebagaimana menjadi persoalan ushul al-fiqh. Mengingat proses pewahyuan sudah berhenti maka Abdurrahman Wahid meyakini perlunya reinterpretasi terhadap kitab suci agar nilai-nilai universalnya dapat diterapkan dalam situasi yang terus berubah.[6] Dia meyakini Muslim perlu merespon isu-isu modern berdasarkan Tradisi Islam. Karena itu dia tidak setuju dengan sekulerisasi model Turki yang tidak memberi kesempatan pada komunitas agama (Islam) untuk mengekspresikan pemikirannya mengenai isu-isu modernitas. Dengan demikian pemikiran Wahid tentang teologi demokrasi merupakan responnya terhadap isu demokrasi dari perspektif Tradisi Islam. Pemahaman Muslim tentang teologi demokrasi tidak perlu bertentangan dengan ekspresi mengenai topik yang sama dari non-Muslim, karena dalam sektor publik, suatu “pernyataan” boleh dipahami secara berbeda sesuai dengan keyakinan masing-masing kelompok.[7] Contoh: Muslim bisa mengucapkan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya (seperti tertera dalam Al-Qur’an), sedangkan non-Muslim bisa memahaminya sesuai dengan akidahnya.[8] Dalam kehidupan sosial, tidak perlu semua masalah dicari kebenaran finalnya, yang penting semua pihak sepakat mewujudkan kondisi yang memungkinkan bagi berlangsungnya kebaikan berikutnya. Contohnya dalam konflik rumah tangga antara suami isteri, tidak perlu dicari mana yang salah dan mana yang benar, yang penting mereka sepakat bekerjasama bagi kebaikan keluarga. Dengan demikian, dalam pergaulan sosial kebenaran bukan segalanya, namun bukan berarti kebenaran tidak penting: kebenaran tetap penting namun harus ada pemahaman bahwa anggota masyarakat memiliki kadar pemahaman yang berbeda-beda mengenai kebenaran. Memang dalam berhubungan dengan orang lain kebenaran berkaitan dengan relasi, sehingga kebenaran perlu disampaikan secara bertahap dengan penuh kesabaran. Memang bagi subyek, kebenaran adalah mutlak.
Pengakuan eksistensi kelompok (agama) itu bersifat timbal balik “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Masing-masing pihak dapat melaksanakan apa yang dianggap benar dan baik, tanpa memutlakkan pendapatnya kepada orang lain, tetapi sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan yang absolut itu. Mengapa hal ini dapat dirumuskan? Karena absolusitas adalah sikap jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan dan kenyataan dari luar bagi yang tidak meyakininya. Ketika kaum musyrik bersikeras menolak ajaran Islam maka demi kemaslahatan bersama, Tuhan memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk berkata: “Sesungguhnya kami atau kamu yang berada dalam kebenaran, atau dalam kesesatan yang nyata, kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan pelanggaran-pelanggaran kami dan kamipun tidak akan diminta mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kamu, katakanlah: Tuhan kelak akan menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan diantara kita dengan benar. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.”[9]
Pendekatan sosio-kultural merupakan suatu cara untuk mendamaikan pemikiran politik dari dua kubu ekstrim antara kaum idealis dengan kaum realis. Kaum idealis percaya bahwa kehidupan harus ditundukkan pada nilai-nilai normatif yang sudah baku, sedangkan kaum realis percaya bahwa power memiliki daya yang kuat untuk mengatur kehidupan. Yang pertama bisa mengarah pada kecenderungan memaksakan orang (atau kehidupan) tunduk pada nilai-nilai normatif yang diyakini sudah baku dan berada di luar dirinya. Mereka menilai kebenaran harus ditegakkan dengan segala cara. Yang kedua berkeyakinan power yang menentukan kehidupan   sehingga kehidupan selalu diliputi dengan kompetisi untuk mendapatkan power yang terbatas. Pendekatan sosio-kultural berpretensi untuk mengatasi kedua pandangan ekstrim itu. Bagi Abdurrahman Wahid, power harus dibimbing dengan nilai-nilai normatif agar kehidupan diliputi suasana damai dan tentram. Namun implementasi dari nilai-nilai normatif itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi agar tidak terjadi kekerasan, karena baginya kebenaran bukan segalanya namun harus ditujukan pada kehidupan yang aman dan damai. Baginya kehidupan merupakan suatu usaha untuk mensintesakan antara nilai-nilai yang normatif dengan konteks, tempat power diperebutkan.
Dengan uraian diatas penulis berpendapat bahwa kebenaran mutlak itu bersifat subyektif, dalam artian ketika kita mengatakan bahwa itu benar tetapi belum tentu benar bagi orang lain, oleh karena itu dalam kehidupan beragama , tidak boleh absolusitas atau sikap jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan dan kenyataan dari luar bagi yang tidak meyakininya, .
Namun untuk sosio-kultural kekuatan dan pengetahuan pda diri manusia harus dibimbing dengan nilai-nilai normative agar kehidupan diliputi suasana damai dan tentram, akan tetapi impelmentasi dari nilai-nilai normative itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi agar tidak terjadi kekerasan.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan   
1.      Studi keislaman atau islamic Studies adalah usaha untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan islam secara empiris dan ajaran-ajarannya. Pengertian semakna adalah usaha-usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk dan hal-hal yang berhubungan dengan ajaran islam dalam ajaran, sejarah maupun praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
2.      Urgensi Metodologi Studi Islam dapat dilihat dari uraian berikiut :
a)         Lemahnya penguasaan metodologi Studi agama serta kelengahan umat islam menyebabkan menjamurnya aliran-aliran baru yang dianggap ‘sesat’ baik dari dalam islam sendiri maupun agama-agama lain. Cara pandang yang keliru mengenai islam akan menimbulkan sebuah pandangan dan pengertian yang keliru pula tentang islam.
b)         Dengan metodologi Studi islam umat beragam akan hidup tentaram dan aman, karena kesesuain antara ajaran dengan impelmentasinya karena kebenaran itu bersifat mutlak pada subyektif bukan obyekif sehingga menyebabkan saling menghargai pendapat masing-masing.
c)         Dengan metodologi Studi islam ajaran agam tidak dijadikan doktrina semata dalam hidup melaikan dijadikan pedoman hidup sesuai dengan perkenbangan zaman sehingga ajaran agama tetap eksis sepnjang kehidupan manusia tanpa keluar dari ajaran yang aslinya.

Daftar pustaka
Anwar, Rosihon, DKK.  Pengantar Study Islam. Bandung : Pustaka Setia.  2009.
Muhaimin, DKK.  Dimensi-Dimensi Studi Islam. Surabaya: Karya Abditama. 1994.
Nata, Abuddin.  Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada 2004.
Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam
Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Pustaka Alvabet. 2008.
Mufid, Achmad.  Nyleneh Itu Indah. Yogyakarta:  Kutub. 2010.
Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan, Jakarta: Gramedia. 2007.


[1] Prof. DR. Rosihon Anwar, M.Ag.,DKK,  Pengantar Study Islam,Pustaka Setia, Bandung, 2009, Hal. 25
[2] Drs. Muhaimin,MA, DKK, Dimensi-Dimensi Studi Islam, Surabaya, Karya Abditama, 1994, hlm. 13.
[3]  Ibid., hal. 18-19
[4] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A, Metodologi Studi Islam, Jakarta, : PT.RajaGrafindo Persada 2004
[5] Rosihon Anwar, DKK, Opcit. hlm. 67.
[6] Agus Maftuh, 2007, “Mazhab Islam Kosmopolitan Wahid”, dalam Abdurrahman Wahid, 2007, Islam Kosmopolitan, Jakarta: Gramedia, hal. vii. Epistemologi ‘fenomena sosial yang tak terbatas’ (al-waqa’I ghair al-mutanahiyah) dikaitkan dengan ‘teks keagamaan yang terbatas’ (al-nusus al-mutanahiyah), yang menjadi adagium Ibnu Rusyd dalam pembukaan kitab Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid.
[7] Ratno Lukito menjelaskan bagaimana tradisi hukum yang berbeda bisa mencapai suatu konsensus terhadap suatu permasalahan. Lihat Ratno Lukito, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka Alvabet, p. 14.
[8] Abdurrahman Wahid, 2007, Islam Kosmopolitan, hal. 33.
[9] Achmad Mufid, 2010, Nyleneh Itu…, hal. 74-75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar