BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Metodelogi
Studi
islam
dengan mendalam dan konfrehensif sangat penting untuk dipahami karena ajaran islam
memiliki sejumlah peran dan fungsi di tengah masyarakat. Usaha-usaha
peningkatan, perbaikan, pemahaman, dan penghayatan terhadap agama memang kurang
di perhatikan dan kurang mendapatkan proposisi yang sesuai dan memadai. Dalam
praktiknya keberagamaan di Indonesia menjadi legalstik dan formalistic dalam
bentuk ritual formal semata.
Maraknya aliran-aliran baru menumbuhkan satu
pertanyaan, siapa atau apa penyebab utama munculnya paham-paham baru tersebut /
Apakah itu hanya sebuah wujud gejolak kejiwaan manusia yang ingin mencari
sebuah “sensasi” atau memang terdapat kesalahan dalam proses
pembelajaran (Studi) keagamaan di Indonesia. Sehingga memicu timbulnya
pemikiran-pemikiran baru yang sedikit banyak “melenceng” dari ajaran
atau pemikiran semula.
Namun apapun penyebabnya, yang pasti kini masalah
tersebut cukup mengusik ketentraman umat beragama di Indonesia khususnya umat islam.
Walaupun di Indonesia terdapat UU yang salah satu pasalnya memuat tentang
kebebasan beragama, tidak seyogyanya pula kebebasan tersebut disalahgunakan dan
disalahartikan untuk memecah persatuan umat beragama dengan memunculkan satu
pemikiran yang dianggap “nyleneh” dengan dalih kebebasan beragama dan
demokrasi.
Oleh karena itu, penulis mencoba memberikan sedikit
ulasana dan penjelasan serta pengertian metodologi Studi islam,
peran serta fungsinya dalam pemahaman agama dengan tujuan untuk sedikit
memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai pentingnya penguasaan sebuah Studi
keagamaan bagi setiap orang sehingga ia tidak dengan mudah menyelewengkan
(menyalahpersepsikan) sebuah agama, terlebih lagi memproklamirkan sebuah agama
baru yang dianggap benar, padahal bagi masyarakat kebanyakan hal itu justru
meresahkan.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa yang dimaksud dengan Metodologi Studi Islam
?
2.
Bagaimana Urgensi Metodologi Studi
Islam
itu penting dalam kehidupan beragama ?
C. TUJUAN
1. Menjelaskan pengertian metodologi
Studi
islam.
2. Menjelaskan bagaimana urgensi Metodologi
Studi
Islam
di dalam kehidupan beragama.
BAB II
PEMBAHASAN.
A. Pengertian Metodologi Studi Islam
Studi Islam secara etimologis merupakan
terjemahan dari Bahasa Arab Dirasah Islamiyah. Sedangkan Studi Islam di barat dikenal
dengan istilah Islamic Studies. Maka Studi Islam
secara harfiah adalah kajian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Islam.
Makna ini sangat umum sehingga perlu ada spesifikasi pengertian terminologis
tentang Studi Islam dalam kajian yang sistematis
dan terpadu.
Study Islam secara sederhana
dapat dikatakan sebagai usaha untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan
agama islam. Dengan kata lain Studi
islama adalah usaha sadar dan sistematis untuk
mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam seluk beluk atau hal-hal
yang berhubungan dengan agama islam, baik ajaran, sejarah maupun praktik-praktik
pelaksanaanya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, sepanjang sejarahnya.[1]
B.
Urgensi
Metodologi Studi Islam
Pada
masa sekarang ini, di mana umat Islam sedang menghadapi tantangan
dari kehidupan dunia dan budaya modern, Studi keislaman menjadi sangat
uegen. Metodologi Studi Islam dituntut untuk membuka diri
terhadap masuknya dan digunakannya pedekatan-pendekatan yang bersifat Obyektif
dan rasional, dan secara bertahap meninggalkan pendekatan yang berifat
subjektif-doktriner. Adapun urgensi Studi islam dapat dipahami
sebagai berikut :[2]
1.
Umat islam saat ini berada
dalam kondisi problematic
Umat islam pada saat ini berada pada masa
yang lemah dalam segala aspek kehidupan social budaya yang mana harus berhadapan dengan dunia
modern yang serba psraktis dan maju. Oleh karena itu, umat islam tidak boleh
terjebak pada romantisme, artinya menyibukkan diri untuk membesar-besarkan
kejayaan masa lalu yang terwujud dalam sejarah islam, sementara saat ini
islam
masih silau menghadapi masa depannya. umat islam memang berada dalam suasana
problematic. Jika sekarang umat islam masih berpegang teguh pada
ajaran-ajaran islam hasil penafsiran ulama terdahulu yang dianggap sebagai ajaran yang mapan
dan sempurna serta paten , berarti mereka memiliki intelektual sebatas
itu saja yang pada akhirnya menghadapi masa depan suram.
Oleh
karena itu, disinilah pentingnya Studi islam yang dapat
mengarahkan dan bertujuan untuk mengadakan usaha-usaha pembaharuan dan
pemikiran kembali ajaran-ajaran agama islam yang merupakan warisan ajaran
yang turun temurun agar mampu beradaptasi dan menjawab tantangan serta tuntutan
zaman dan dunia modern dengan tetap berpegang pada sumber ajaran islam
yang murni dan asli, yaitu al-quran dan As sunnah. Studi islam
juga dapat diharapkan mampu memberikan pedoman dan pegangan hidup bagi umat islam
agar tetap menjadi seorang muslim dan mampu menjawab tantangan serta tuntutan
zaman modern maupun era global sekarang.
Dan
Dalam satu hadistnya Rosulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya
bani Israil ( kaum yahudi dan nasrani )telah berpecah belah menjadi 72
aliran,dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 aliran.Mereka semua akan masuk
neraka kecuali satu aliran saja.Para sahabat bertanya,”Siapakah dia itu wahai
Rosulullah?” Beliau menjawb, “siapa yang mengikuti jejakku dan para sahabatku.”
( HR.tirmidzi al-Hakim dan
al-Aajurri,diharuskan oleh al-Albani)
Dari hadist di atas kita tahu bahwa
sejak jauh-jauh hari rosulullah telah menginformasikan (mensinyalir) tentang
adanya perpecahan umat hadist diatas bukanlah isapan jempol belaka.di Indonesia
saja ,telah muncul beberapa aliran agama baru yang muncul dari suatu agama --
terutama islam -- sejak puluhan tahun yang lalu.pada umumnya, pelopor
sekaligus pemimpinnya mengaku sebagai ”orang pilihan” yang diutus oleh
Tuhan sebagai juru selamat atau penyempurna suatu agama bagi umat manusia.
Maraknya aliran-aliran baru tersebut
mengindikasikan adanya kebutuhan besar terhadap agama yang benar-benar bisa
memenuhi kebutuhan rohaniah perubahan masyarakat akibat modernisme, globalisme
dan tahap era post industri yang menyebabkan krisis kemanusiaan serta kurangnya
pengetahuan tentang agamalah yang menjadi pangkal pangkal utama munculnya
berbagai macam aliran tersebut.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak
akan terjadi jika manusia khususnya umat islam memahami dan menguasai Metodelogi
Studi
agama,yang dalam hal ini adalah metodologi Studi islam.
2.
Umat islam dan peradabannya
berada dalam suasana problematic
Perkembangan IPTEK telah membuka era baru dalam
perkembangan budaya dan peradaban umat manusia. Dunia tampak sebagai suatu
system yang saling memiliki ketergantungan
Oleh karenanya, umat manusia tentunya membutuhkan aturan, norma serta
pedoman dan pegangan hidup yang dapat diterima oleh semua bangsa.
Umat manusia dalam sejarah peradaban
dan kebudayaannya telah berhsil menemukan aturan, nilai, norma sebagai pegangan
dan pedoman yang berupa: agama,
filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. Umat manusia pada masa yang serba
canggih semakin menjadikan manusia-manusia modern kehilangan identitas serta
kemanusiaannya ( sifat-sifat manusiawinya).
Islam, sebagai agama yang rahmatullah
lil ‘alamin, tentunya mempunyai konsep atau ajaran yang bersifat manusiawi
dan universal, yang dapat menyelamatkan umat manusia dan alam semesta dari
kehancurannya. Akan tetapi , umat islam sendiri saat ini berada dalam
situasi yang serba problematic. Kondisi kehidupan social budaya dan peradaban
umat islam
dalam keadaaan lemah dan tidak berdaya berhadapan dengan budaya dan peradaban
manusia dan dunia modern. Disinilh urgensi nya Studi islam,
yaitu untuk menggali ajaran-ajaran islam yang asli ndan murni, dan yang
bersifat manusiawi. Dari situlah kemudian dididikkan dan ditransformasikan
kepada generasi penerusnya yang bisa menawarkan alternative pemecahan
permaslahan yang dihadapi oleh umat manusia dalam dunia modern.[3]
Dalam
satu hadistnya Rosulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya
bani Israil ( kaum yahudi dan nasrani )telah berpecah belah menjadi 72
aliran,dan umatku akan berpecah belah menjadi 73 aliran.Mereka semua akan masuk
neraka kecuali satu aliran saja.Para sahabat bertanya,”Siapakah dia itu wahai
Rosulullah?” Beliau menjawb, “siapa yang mengikuti jejakku dan para sahabatku.”
( HR.tirmidzi al-Hakim dan
al-Aajurri,diharuskan oleh al-Albani)
Dari hadist di atas kita tahu bahwa
sejak jauh-jauh hari rosulullah telah menginformasikan (mensinyalir) tentang
adanya perpecahan umat hadist diatas bukanlah isapan jempol belaka.di Indonesia
saja ,telah muncul beberapa aliran agama baru yang muncul dari suatu agama --
terutama islam -- sejak puluhan tahun yang lalu.pada umumnya, pelopor
sekaligus pemimpinnya mengaku sebagai ”orang pilihan” yang diutus oleh
Tuhan sebagai juru selamat atau penyempurna suatu agama bagi umat manusia.
Maraknya aliran-aliran baru tersebut
mengindikasikan adanya kebutuhan besar terhadap agama yang benar-benar bisa
memenuhi kebutuhan rohaniah perubahan masyarakat akibat modernisme, globalisme
dan tahap era post industri yang menyebabkan krisis kemanusiaan serta kurangnya
pengetahuan tentang agamalah yang menjadi pangkal pangkal utama munculnya
berbagai macam aliran tersebut.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak
akan terjadi jika manusia khususnya umat islam memahami dan menguasai Metodelogi
Studi
agama,yang dalam hal ini adalah metodologi Studi islam.
Dengan demkian penulis berpendapat bahwa
dengan kita belejar atau memahami metodologi Studi Islam,
tentu pemahaman kita terhadap agama smakin mendalam. Hal ini terbukti ketika
perkembangan zaman yang begitu pesat sehingga orang yang beragama islam
bisa dikatakan kehilangan edintitasnya karena keterbelakangan mereka terhadap
pengethuan tenang islam sehingga islam itu dianggap kolot, kampungan,
tertinggal dan lebih sadis lagi islam itu adalah radikal, maka dari
itu metodologi Studi islam membuka selebarnya kepada kita
sekalian bagaimana caranya berislam yang benar, supaya ketika kita
menemukan ketidak sesuaian antara perilaku dengan keimanan kalau kita lihat islam
itu adalah gejolak social.
Dengan metodologi Studi Islam,
kita dapat mengamalkan ajaran islam dengan cara yang sebenarnya,
karena banyak kaum muslimin yang beribadah atau melasanakan ajaran agam Islam
tanpa pengetahuan yang kadang dalam pelaksaaannya salah atau tidak sesuai
dengan apa yang ada dalam aturan islam
sehingga dalam pandangan agama lain islam itu tdak konsisten, salah, dan
sebagainya.
Urgensi Studi islam
juga dapat di pahami sebagai berikut :
Untuk meningkatkan kualitas kehidupan
yang baik, manusia memerlukan pendekatan yang komperehensif berkaitan dengan
pemahamannya tentang agama. Dalam berbagai fakta dan fenomena umat islam
di Indonesia faktor ploralitas, latar belakang sosial/budaya, ekonomi dan
pendidikan adalah tantangan yang berat untuk meningkatkan kualitas pemahaman
dan pola keberagaman secara utuh.
Tingkat pemahaman yang devarnatif
cenderung membawa pola perilaku yang berbeda meskipun keduanya dalam ketentuan
ajaran islam. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh tokoh-tokoh Islam
yang berpengtahuan agama cukup dalam. Abbuduin Nata menyatakan bahwa fenomena
keagamaan ini secara umum menunjukkan sumberdaya umat yang baik, namun tidak
ditunjang oleh penguasaan keilmuan keislaman, lemah dalam penguasaan
metodologi, tidak dapat teroganisasi dan tersistematik dalam struktur
pengetahuannya. Dampak yang nyata adalah kualitas pemahaman agama dan
keberagaman yang belum responsif terhadap berbagai persoalan yang universal.
Pembentukkan pemahaman islam yang komprehensif sesungguhnya
merupakan bangunan metodologi dalam berbagai bidang-bidang keislaman.[4]
Sejati yang hidup dalam Dari segi
tingkatan kebudayaan , agama merupakan universal cultural. Salah satu prinsip
fungsional menyatakan bahwa segala sesuatu yang tidak berfungsi pasti akan
lenyap dengan sendirinya. Karenanya agama islam dari dulu hingga sekarang dengan tangguh menyatakan eksistensinya. Hali
ini berarti bahwa agama mempunyai dan memerankan sejumlah peran dan
fungsinya di masyarakat. Oleh karena itu
, study islam dituntut untuk membuka dirinya agar Studi islam
mampu berkembang dan beradaptasi dengan dunia modern serta menjawab tantangan
kehidupan dunia dan mudaya modern.
Banyak juga ahli dari kalangan umat Islam
yang menguasi secara mendalam satu bidang keilmuan keislaman, namun kurang
begitu memahami bidang ilmu lainnya. Misalnya, seseorang hanya memehami ilmu
Fiqih, sehingga ditanya tentang bebagai masalah yang dihadapi oleh masyarakat,
ia hanya memandang dari dari segi hukum fiqih saja, padahal untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut diperlukan ilmu lainnya. Begitu pula, bagi orang yang
hanya memahami ilmu teologi, ia hanya memandang segala sesuatu dari dari segi
teologi. Teologi tersebut biasanya hanya dari satu aliran saja, seperti
Asy’ariyah atau Maturidiyah, sehingga ia mengkafirkan aliran teologi lainnya.[5]
Untuk itu para ahli menggunakan bebagai
macam pendekatan dalam memahami islam diantaranya Abdurrahman Wahid
misalnya beliau menggunakan pendekatan fiqih dan sosoio-cultural.
Demokrasi bisa dipahami sebagai bentuk
penerapan nilai-nilai universal Islam dalam konteks modern.
Penerimaan Islam terhadap ‘bentuk’ (konsep demokrasi) dengan di-‘isi’
(dengan nilai-nilai universal Islam) merupakan usaha mempertemukan
antara ‘budaya’ (‘adah) dengan ‘norma’ (syariah), sebagaimana menjadi persoalan
ushul al-fiqh. Mengingat proses
pewahyuan sudah berhenti maka Abdurrahman Wahid meyakini perlunya
reinterpretasi terhadap kitab suci agar nilai-nilai universalnya dapat
diterapkan dalam situasi yang terus berubah.[6]
Dia meyakini Muslim perlu merespon isu-isu modern berdasarkan Tradisi Islam.
Karena itu dia tidak setuju dengan sekulerisasi model Turki yang tidak memberi
kesempatan pada komunitas agama (Islam) untuk mengekspresikan
pemikirannya mengenai isu-isu modernitas. Dengan demikian pemikiran Wahid
tentang teologi demokrasi merupakan responnya terhadap isu demokrasi dari
perspektif Tradisi Islam. Pemahaman Muslim tentang teologi demokrasi tidak perlu
bertentangan dengan ekspresi mengenai topik yang sama dari non-Muslim, karena
dalam sektor publik, suatu “pernyataan” boleh dipahami secara berbeda sesuai
dengan keyakinan masing-masing kelompok.[7]
Contoh: Muslim bisa mengucapkan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya
(seperti tertera dalam Al-Qur’an), sedangkan non-Muslim bisa memahaminya sesuai
dengan akidahnya.[8]
Dalam kehidupan sosial, tidak perlu semua masalah dicari kebenaran finalnya,
yang penting semua pihak sepakat mewujudkan kondisi yang memungkinkan bagi
berlangsungnya kebaikan berikutnya. Contohnya dalam konflik rumah tangga antara
suami isteri, tidak perlu dicari mana yang salah dan mana yang benar, yang
penting mereka sepakat bekerjasama bagi kebaikan keluarga. Dengan demikian,
dalam pergaulan sosial kebenaran bukan segalanya, namun bukan berarti kebenaran
tidak penting: kebenaran tetap penting namun harus ada pemahaman bahwa anggota
masyarakat memiliki kadar pemahaman yang berbeda-beda mengenai kebenaran.
Memang dalam berhubungan dengan orang lain kebenaran berkaitan dengan relasi,
sehingga kebenaran perlu disampaikan secara bertahap dengan penuh kesabaran.
Memang bagi subyek, kebenaran adalah mutlak.
Pengakuan eksistensi kelompok (agama)
itu bersifat timbal balik “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”. Masing-masing
pihak dapat melaksanakan apa yang dianggap benar dan baik, tanpa memutlakkan
pendapatnya kepada orang lain, tetapi sekaligus tanpa mengabaikan keyakinan
yang absolut itu. Mengapa hal ini dapat dirumuskan? Karena absolusitas adalah
sikap jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan dan kenyataan dari luar bagi
yang tidak meyakininya. Ketika kaum musyrik bersikeras menolak ajaran Islam
maka demi kemaslahatan bersama, Tuhan memerintahkan kepada Nabi Muhammad SAW
untuk berkata: “Sesungguhnya kami atau kamu yang berada dalam kebenaran, atau
dalam kesesatan yang nyata, kamu tidak akan diminta mempertanggungjawabkan
pelanggaran-pelanggaran kami dan kamipun tidak akan diminta
mempertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan kamu, katakanlah: Tuhan kelak akan
menghimpun kita semua, kemudian Dia memberi keputusan diantara kita dengan
benar. Sesungguhnya Dia Maha Pemberi keputusan lagi Maha Mengetahui.”[9]
Pendekatan sosio-kultural merupakan
suatu cara untuk mendamaikan pemikiran politik dari dua kubu ekstrim antara
kaum idealis dengan kaum realis. Kaum idealis percaya bahwa kehidupan harus
ditundukkan pada nilai-nilai normatif yang sudah baku, sedangkan kaum realis
percaya bahwa power memiliki daya
yang kuat untuk mengatur kehidupan. Yang pertama bisa mengarah pada
kecenderungan memaksakan orang (atau kehidupan) tunduk pada nilai-nilai
normatif yang diyakini sudah baku dan berada di luar dirinya. Mereka menilai
kebenaran harus ditegakkan dengan segala cara. Yang kedua berkeyakinan power yang menentukan kehidupan sehingga kehidupan selalu diliputi dengan
kompetisi untuk mendapatkan power
yang terbatas. Pendekatan sosio-kultural berpretensi untuk mengatasi kedua
pandangan ekstrim itu. Bagi Abdurrahman Wahid, power harus dibimbing dengan nilai-nilai normatif agar kehidupan
diliputi suasana damai dan tentram. Namun implementasi dari nilai-nilai
normatif itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi agar tidak terjadi
kekerasan, karena baginya kebenaran bukan segalanya namun harus ditujukan pada
kehidupan yang aman dan damai. Baginya kehidupan merupakan suatu usaha untuk
mensintesakan antara nilai-nilai yang normatif dengan konteks, tempat power diperebutkan.
Dengan uraian diatas penulis berpendapat
bahwa kebenaran mutlak itu bersifat subyektif, dalam artian ketika kita
mengatakan bahwa itu benar tetapi belum tentu benar bagi orang lain, oleh
karena itu dalam kehidupan beragama , tidak boleh absolusitas atau sikap jiwa
ke dalam, tidak menuntut pernyataan dan kenyataan dari luar bagi yang tidak meyakininya,
.
Namun untuk sosio-kultural kekuatan dan
pengetahuan pda diri manusia harus dibimbing dengan nilai-nilai normative agar
kehidupan diliputi suasana damai dan tentram, akan tetapi impelmentasi dari
nilai-nilai normative itu disesuaikan dengan situasi dan kondisi agar tidak
terjadi kekerasan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Studi
keislaman
atau islamic Studies adalah usaha untuk
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan islam secara empiris dan
ajaran-ajarannya. Pengertian semakna adalah usaha-usaha sadar dan sistematis
untuk mengetahui dan memahami serta membahas secara mendalam tentang seluk-beluk
dan hal-hal yang berhubungan dengan ajaran islam dalam ajaran, sejarah maupun
praktek pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Urgensi Metodologi Studi Islam
dapat dilihat dari uraian berikiut :
a)
Lemahnya penguasaan metodologi Studi
agama serta kelengahan umat islam menyebabkan menjamurnya
aliran-aliran baru yang dianggap ‘sesat’ baik dari dalam islam sendiri maupun
agama-agama lain. Cara pandang yang keliru mengenai islam akan menimbulkan
sebuah pandangan dan pengertian yang keliru pula tentang islam.
b)
Dengan metodologi Studi islam
umat beragam akan hidup tentaram dan aman, karena kesesuain antara ajaran
dengan impelmentasinya karena kebenaran itu bersifat mutlak pada subyektif
bukan obyekif sehingga menyebabkan saling menghargai pendapat masing-masing.
c)
Dengan metodologi Studi islam
ajaran agam tidak dijadikan doktrina semata dalam hidup melaikan dijadikan
pedoman hidup sesuai dengan perkenbangan zaman sehingga ajaran agama tetap
eksis sepnjang kehidupan manusia tanpa keluar dari ajaran yang aslinya.
Daftar pustaka
Anwar, Rosihon, DKK. Pengantar Study Islam. Bandung : Pustaka Setia. 2009.
Muhaimin, DKK. Dimensi-Dimensi
Studi Islam. Surabaya: Karya Abditama. 1994.
Nata, Abuddin.
Metodologi Studi Islam.
Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada 2004.
Lukito,
Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam
Sistem
Hukum Indonesia. Jakarta: Pustaka Alvabet. 2008.
Mufid, Achmad. Nyleneh Itu Indah. Yogyakarta: Kutub. 2010.
Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan,
Jakarta: Gramedia. 2007.
[1]
Prof. DR. Rosihon Anwar,
M.Ag.,DKK, Pengantar Study Islam,Pustaka Setia, Bandung, 2009,
Hal. 25
[2]
Drs. Muhaimin,MA, DKK, Dimensi-Dimensi Studi Islam, Surabaya,
Karya Abditama, 1994, hlm. 13.
[5] Rosihon Anwar, DKK, Opcit. hlm. 67.
[6] Agus
Maftuh, 2007, “Mazhab Islam Kosmopolitan Wahid”, dalam
Abdurrahman Wahid, 2007, Islam Kosmopolitan, Jakarta: Gramedia, hal. vii. Epistemologi ‘fenomena
sosial yang tak terbatas’ (al-waqa’I
ghair al-mutanahiyah) dikaitkan dengan ‘teks keagamaan yang terbatas’ (al-nusus al-mutanahiyah), yang menjadi
adagium Ibnu Rusyd dalam pembukaan kitab Bidayat
al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtasid.
[7] Ratno
Lukito menjelaskan bagaimana tradisi hukum yang berbeda bisa mencapai suatu
konsensus terhadap suatu permasalahan. Lihat Ratno Lukito, 2008, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi
tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, Jakarta: Pustaka
Alvabet, p. 14.
[8] Abdurrahman Wahid, 2007, Islam Kosmopolitan, hal. 33.
[9] Achmad Mufid, 2010, Nyleneh Itu…, hal. 74-75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar