Zuhud menurut para ahli
sejarah tasawuf adalah fase yang mendahului tasawuf. Menurut Harun Nasution,
station yang terpenting bagi seorang calon sufi ialah zuhd yaitu keadaan
meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Sebelum menjadi sufi, seorang calon
harus terlebih dahulu menjadi zahid. Sesudah menjadi zahid, barulah ia
meningkat menjadi sufi. Dengan demikian tiap sufi ialah zahid, tetapi
sebaliknya tidak setiap zahid merupakan sufi.
Secara etimologis, Zuhud
berarti raghaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu
dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti mengosongkan diri dari
kesenangan dunia untuk ibadah.
Berbicara tentang arti Zuhud
secara terminologis menurut Prof. Dr. Amin Syukur, tidak bisa dilepaskan dari
dua hal.
Pertama, Zuhud sebagai bagian yang
tak terpisahkan dari tasawuf. Kedua, Zuhud sebagai moral (akhlak) Islam
dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan komunikasi
langsung antara manusia dengan Tuhan sebagai perwujudan ihsan, maka Zuhud
merupakan suatu station (maqam) menuju tercapainya “perjumpaan” atau ma’rifat
kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A. Mukti Ali, Zuhud berarti menghindar
dari berkehendak terhadap hal – hal yang bersifat duniawi atau ma siwa Allah.
Berkaitan dengan ini al-Hakim Hasan menjelaskan bahwa Zuhud adalah “berpaling
dari dunia dan menghadapkan diri untuk beribadah melatih dan mendidik jiwa, dan
memerangi kesenangannya dengan semedi (khalwat), berkelana, puasa, mengurangi
makan dan memperbanyak dzikir”. Zuhud disini berupaya menjauhkan
diri dari kelezatan dunia dan mengingkari kelezatan itu meskipun halal, dengan
jalan berpuasa yang kadang – kadang pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan
oleh agama. Semuanya itu dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya
tujuan tasawuf, yakni ridla, bertemu dan ma’rifat Allah swt.
Kedua, Zuhud sebagai moral
(akhlak) Islam, dan gerakan protes yaitu sikap hidup yang seharusnya dilakukan
oleh seorang muslim dalam menatap dunia fana ini. Dunia dipandang sebagai sarana
ibadah dan untuk meraih keridlaan Allah swt., bukan tujuan tujuan hidup, dan di
sadari bahwa mencintai dunia akan membawa sifat – sifat mazmumah (tercela).
Keadaan seperti ini telah dicontohkan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Zuhud disini berarti
tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah ada ditangan, dan tidak
merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari tangannya. Bagi Abu Wafa
al-Taftazani, Zuhud itu bukanlah kependetaan atau terputusnya kehidupan
duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang membuat seseorang memiliki
pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu. Mereka tetap bekerja dan
berusaha, akan tetapi kehidupan duniawi itu tidak menguasai kecenderungan
kalbunya dan tidak membuat mereka mengingkari Tuhannya. Lebih lanjut
at-Taftazani menjelaskan bahwa Zuhud adalah tidak bersyaratkan
kemiskinan. Bahkan terkadang seorang itu kaya, tapi disaat yang sama diapun
zahid. Ustman bin Affan dan Abdurrahman ibn Auf adalah para hartawan, tapi
keduanya adalah para zahid dengan harta yang mereka miliki.
Zuhud menurut Nabi serta
para sahabatnya, tidak berarti berpaling secara penuh dari hal-hal duniawi.
Tetapi berarti sikap moderat atau jalan tengah dalam menghadapi segala sesuatu,
sebagaimana diisyaratkan firman – firman Allah yang berikut : ”Dan begitulah
Kami jadikan kamu (umat Islam) umat yang adil serta pilihan” . “Dan carilah apa
yang dianugerahkan Allah kepadamu dari (kebahagiaan) negeri akhirat dan
janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”. Sementara dalam hadits
disabdakan : “Bekerjalah untuk duniamu seakan kamu akan hidup selamanya, dan
bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu akan mati esok hari”
b. Faktor religi, sosial-politik yang
mempengaruhi gerakan Zuhud
Zuhud merupakan salah
satu maqam yang sangat penting dalam tasawuf. Hal ini dapat dilihat dari
pendapat ulama tasawuf yang senantiasa mencantumkan Zuhud dalam pembahasan
tentang maqamat,meskipun dengan sistematika yang berbeda – beda. Al-Ghazali
menempatkan Zuhud dalam sistematika : al-taubah, al-sabr, al-faqr, al-Zuhud,
al-tawakkul, al-mahabbah, al-ma’rifah dan al-ridla. Al-Tusi menempatkan Zuhud
dalamsistematika : al-taubah,al-wara’,al-zuhd,
al-faqr,al-shabr,al-ridla,al-tawakkul, dan al-ma’rifah. Sedangkan al-Qusyairi
menempatkan Zuhud dalam urutan maqam : al-taubah,al-wara’,al-Zuhud,
al-tawakkul dan al-ridla.
Jalan yang harus dilalui seorang
sufi tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit,dan untuk
pindah dari maqam satu ke maqam yang lain menghendaki usaha yang berat dan waktu
yang bukan singkat, kadang – kadang seorang calon sufi harus bertahun – tahun
tinggal dalam satu maqam.
Para peneliti baik dari kalangan
orientalis maupun Islam sendiri saling berbeda pendapat tentang faktor yang
mempengaruhi Zuhud. Nicholson dan Ignaz Goldziher menganggap Zuhud
muncul dikarenakan dua faktor utama,yaitu : Islam itu sendiri dan kependetaan
Nasrani, sekalipun keduanya berbeda pendapat tentang sejauhmana dampak faktor
yang terakhir.
Harun Nasution mencatat ada lima
pendapat tentang asal – usul Zuhud. Pertama, dipengaruhi oleh
cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Phytagoras yang
megharuskan meninggalkan kehidupan materi dalamrangka membersihkan roh. Ajaran
meninggalkan dunia dan berkontemplasi inilah yang mempengaruhi timbulnya Zuhud
dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus yang
menyatakan bahwadalam rangka penyucian roh yangtelah kotor,sehingga bisa
menyatu dengan Tuhan harus meninggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan
faham nirwananya bahwa untukmencapainya orang harus meninggalkan dunia dan
memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong
manusia meninggalkan dunia dan mendekatkandiri kepada Tuhan untuk mencapai
persatuan Atman dengan Brahman
Sementara itu Abu al’ala Afifi
mencatat empat pendapat parapeneliti tentang faktor atau asal –usul Zuhud.
Pertama, berasal dari atau
dipengaruhi oleh India dan Persia. Kedua, berasal dari atau dipengaruhi oleh
askestisme Nasrani. Ketiga, berasal atau dipengaruhi oleh berbagai sumber yang
berbeda- beda kemudian menjelma menjadi satu ajaran. Keempat, berasal dari
ajaran Islam. Untukfaktor yang keempat tersebut Afifi memerinci lebih jauh
menjadi tiga : Pertama, faktor ajaran Islam sebagaimana terkandung dalam kedua
sumbernya, al-Qur’an dan al-Sunnah. Kedua sumber ini mendorong untukhidup wara’
, taqwa dan Zuhud.
Kedua, reaksi rohaniah kaum
muslimin terhadap sistemsosial politik dan ekonomi di kalangan Islam
sendiri,yaitu ketika Islam telah tersebar keberbagai negara yangsudah barang
tentu membawa konskuensi – konskuensi tertentu,seperti terbukanya kemungkinan
diperolehnya kemakmuran di satu pihak dan terjadinya pertikaian politik interen
umat Islam yang menyebabkan perang saudara antara Ali ibn Abi Thalib dengan
Mu’awiyah,yang bermula dari al-fitnah al-kubraI yang menimpa khalifahketiga,
UstmanibnAffan (35 H/655 M). Dengan adanya fenomena sosial politik seperti itu
ada sebagian masyarakat dan ulamanya tidak inginterlibat dalamkemewahan dunia
dan mempunyai sikap tidak mau tahu terhadap pergolakan yang ada,mereka
mengasingkan diri agar tidak terlibat dalam pertikaian tersebut.
Ketiga, reaksi terhadap fiqih dan
ilmukalam, sebab keduanya tidak bisa memuaskan dalam pengamalan agama Islam.
Menurut at-Taftazani, pendapat Afifi yang terakhir ini perlu ditelitilebih
jauh, Zuhud bisa dikatakan bukan reaksi terhadap fiqih dan ilmu
kalam, karena timbulnya gerakan keilmuan dalamIslam, seperti ilmu fiqih dan
ilmukalam dan sebaginya muncul setelah praktek Zuhud maupun gerakan Zuhud.
Pembahasan ilmu kalam secara sistematis timbul setelah lahirnya mu’tazilah
kalamiyyah pada permulaan abad II Hijriyyah, lebih akhir lagi ilmu fiqih,yakni
setelah tampilnya imam-imam madzhab, sementara Zuhud dan gerakannya
telah lama tersebar luas didunia Islam.
Menurut hemat penulis,Zuhud
itu meskipun ada kesamaan antara praktek Zuhud dengan berbagai ajaran
filsafat dan agama sebelum Islam, namun ada atau tidaknya ajaran filsafat
maupun agama itu, Zuhud tetap ada dalam Islam. Banyak dijumpai ayat al-Qur’an
maupun hadits yang bernada merendahkan nilai dunia, sebaliknya banyak dijumpai
nash agama yangmemberi motivasi beramal demi memperoleh pahala akhirat dan
terselamatkan dari siksa api neraka (QS.Al-hadid :19),(QS.Adl-Dluha : 4),(QS.
Al-Nazi’aat : 37 – 40).
c. Kelompok-kelompok gerakan Zuhud
pada abad 1 H dan 2 H
Benih – benih tasawuf sudah ada
sejak dalam kehidupan Nabi SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan
peristiwa dalam hidup, ibadah dan pribadi Nabi Muhammad SAW. Sebelum diangkat menjadi
Rasul, berhari –hari ia berkhalwat di gua Hira terutama pada bulan Ramadhan.
Disana Nabi banyak berdzikir bertafakur dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah. Pengasingan diri Nabi di gua Hira ini merupakan acuan utama para sufi
dalam melakukan khalwat. Sumber lain yang diacu oleh para sufi adalahkehidupan
para sahabat Nabi yang berkaitan dengan keteduhan iman, ketaqwaan, keZuhudan
dan budi pekerti luhur. Oleh sebab itu setiap orang yang meneliti kehidupan
kerohanian dalam Islam tidak dapat mengabaikan kehidupan kerohanian para
sahabat yang menumbuhkan kehidupan sufi di abad – abad sesudahnya.
Setelah periode sahabat berlalu,
muncul pula periode tabiin (sekitar abad ke I dan ke II H). Pada masa itu
kondisi sosial-politik sudah mulai berubah darimasa sebelumnya. Konflik
–konflik sosial politik yang bermula dari masa Usman bin Affan berkepanjangan
sampai masa – masa sesudahnya.Konflik politik tersebut ternyata mempunyai
dampak terhadap kehidupan beragama, yakni munculnya kelompok kelompok Bani
Umayyah,Syiah, Khawarij, dan Murjiah.
Pada masa kekuasaan Bani Umayyah,
kehidupan politik berubah total. Dengan sistem pemerintahan monarki, khalifah –
khalifah BaniUmayyah secara bebas berbuat kezaliman – kezaliman, terutama
terhadap kelompok Syiah, yakni kelompok lawan politiknya yang paling gencar
menentangnya.Puncak kekejaman mereka terlihat jelas pada peristiwa terbunuhnya
Husein bin Alibin Abi Thalib di Karbala. Kasus pembunuhan itu ternyata
mempunyai pengaruh yang besar dalam masyarakat Islam ketika itu. Kekejaman Bani
Umayyah yang tak henti – hentinya itu membuat sekelompok penduduk Kufah merasa
menyesal karena mereka telah mengkhianati Husein dan memberikan dukungan kepada
pihak yang melawan Husein. Mereka menyebut kelompoknya itu dengan Tawwabun
(kaum Tawabin). Untuk membersihkan diri dari apa yang telah dilakukan, mereka
mengisi kehidupan sepenuhnya dengan beribadah. Gerakan kaumTawabin itu dipimpin
oleh Mukhtar bin Ubaid as-Saqafi yang terbunuh di Kufah pada tahun 68 H
Disamping gejolak politik yang berkepanjangan,
perubahan kondisi sosialpun terjadi.halini mempunyai pengaruh yang besar
dalampertumbuhan kehidupan beragama masyarakat Islam. Pada masa Rasulullah SAW
dan para sahabat,secara umum kaum muslimin hidup dalam keadaan
sederhana.KetikaBaniUmayyah memegang tampuk kekuasaan,hidup mewah mulai
meracuni masyarakat, terutama terjadi di kalanganistana.Mu’awiyah bin Abi
Sufyan sebagai khalifah tampak semakin jauh dari tradisi kehidupan Nabi SAW
serta sahabat utama dan semakin dekat dengan tradisi kehidupan raja – raja
Romawi. Kemudian anaknya,Yazid (memerintah 61 H/680 M – 64 H/683M),
dikenalsebagai seorang pemabuk. Dalam sejarah, Yazid dikenal sebagai seorang
pemabuk. Dalam situasi demikian kaummuslimin yang saleh merasa berkewajiban
menyerukan kepada masyarakat untuk hidup Zuhud, sederhana, saleh,dan tidak
tenggelam dalam buaian hawa nafsu. Diantara para penyeru tersebut ialah Abu
Dzar al-Ghiffari. Dia melancarkan kritik tajam kepada Bani Umayyah yang sedang
tenggelam dalam kemewahan dan menyerukan agar diterapkan keadilan sosial dalam
Islam.
Dari perubahan –perubahan kondisi
sosial tersebut sebagian masyarakat mulai melihat kembali pada kesederhanaan
kehidupan Nabi SAW para sahabatnya. Mereka mulai merenggangkan diri dari
kehidupan mewah.Sejak saat itu kehidupan Zuhud menyebar luas dikalangan
masyarakat. Para pelaku Zuhud itu disebut zahid (jamak :
zuhhad) atau karena ketekunan mereka beribadah, maka disebut abid (jamak :
abidin atau ubbad) atau nasik (jamak : nussak)
Zuhud yang tersebar luas
pada abad –abad pertama dan kedua Hijriyah terdiri atas berbagai aliran yaitu :
1. Kelompok Madinah
Sejak masa yang dini,di Madinah
telah muncul para zahid.Mereka kuat berpegang teguh kepada al-Qur’an dan
al-sunnah, dan mereka menetapkan Rasulullah sebagai panutan keZuhudannya.
Diantara mereka dari kalangan sahabat adalah Abu Ubaidah al-jarrah (w.18 H.),
Abu Dzar al-Ghiffari (w. 22H.), Salman al-Farisi (w. 32 H.), Abdullah ibn
Mas’ud (w. 33 H.), Hudzaifah ibn Yaman (w. 36 H.). Sementara itu dari kalangan
tabi’in diantaranya adalah Sa’id ibn al-Musayyad (w. 91 H.) dan Salim ibn
Abdullah (w. 106 H.).
Aliran Madinah ini lebih
cenderung pada pemikiran angkatan pertama kaum muslimin (salaf),dan berpegang
teguh pada Zuhud serta kerendah hatian Nabi. Selain itu aliran ini tidak
begitu terpengaruh perubahan – perubahan sosial yang berlangsung pada masa
dinasti Umayyah, dan prinsip – prinsipnya tidak berubah walaupun mendapat
tekanan dari Bani Umayyah.dengan begitu, Zuhud aliran ini tetap bercorak
murni Islam dan konsisten pada ajaran –ajaran Islam.
2. Kelompok Bashrah
Louis Massignon mengemukakan
dalam artikelnya, Tashawwuf, dalam Ensiklopedie de Islam ,bahwa pada abad
pertama dan kedua Hijriyah terdapat dua aliran Zuhud yang menonjol.
Salah satunya di Bashrah dan yang lainnya di Kufah. Menurut Massignon orang –
orang Arab yang tinggal di Bashrah berasal dari Banu tamim. Mereka terkenal
dengan sikapnya yang kritis dan tidak percaya kecuali pada hal – hal yang riil.
Merekapun terkenal menyukai hal- hal logis dalam nahwu, hal – hal nyata dalam
puisi dan kritis dalam hal hadits. Mereka adalah penganut aliran ahlus sunnah,
tapi cenderung padaaliran – aliran mu’tazilah dan qadariyah. Tokoh mereka dalam
Zuhud
adalah Hasan al-Bashri, Malik ibn Dinar, Fadhl al-Raqqasyi,Rabbah ibn ‘Amru
al-qisyi, Shalih al-Murni atau Abdul Wahid ibn Zaid,seorang pendiri kelompok
asketis di Abadan [18].
Corak yang menonjol dari para
zahid Bashrah ialah Zuhud dan rasa takut yang berlebih –lebihan.Dalam halini Ibn
Taimiyah berkata : “Para sufi pertama –tama muncul dari Bashrah.Yang pertama
mendirikan khanaqah para sufi ialah sebagian teman Abdul Wahid ibn Zaid, salah
seorang teman Hasan al-Bashri.para sufi di Bashrah terkenal berlebih –lebihan
dalam hal Zuhud, ibadah, rasa takut mereka dan lain –lainnya, lebih dari
apa yang terjadi di kota – kota lain” [19].Menurut Ibn Taimiyyah hal ini
terjadi karena adanya kompetisi antara mereka dengan para zahid Kufah.
3. Kelompok Kufah
Aliran Kufah menurutLouis
Massignon, berasal dariYaman.Aliran ini bercorak idealistis, menyukai hal- hal
aneh dalam nahwu, hal-hal image dalam puisi,dan harfiah dalam hal hadits.Dalam
aqidah mereka cenderung pada aliran Syi’ah dan Rajaiyyah.dan ini tidak aneh,
sebab aliran Syi’ah pertama kali muncul di Kufah.
Para tokoh zahid Kufah pada abad
pertama Hijriyah ialah ar-Rabi’ ibn Khatsim (w. 67 H.) pada masa pemerintahan
Mu’awiyah, Sa’id ibn Jubair (w. 95 H.), Thawus ibn Kisan (w. 106 H.), Sufyan
al-Tsauri (w. 161 H.)
4. Kelompok Mesir
Pada abad – abad pertama dan
kedua Hijriyah terdapat suatu aliran Zuhud lain, yang dilupakan para
orientalis, dan aliran ini tampaknya bercorak salafi seperti halnya aliran
Madinah. Aliran tersebut adalah aliran Mesir. Sebagaimana diketahui, sejak
penaklukan Islam terhadap Mesir, sejumlah para sahabat telah memasuki kawasan
itu,misalnya Amru ibn al-Ash, Abdullah ibn Amru ibn al-Ash yang terkenal keZuhudannya,
al-Zubair bin Awwam dan Miqdad ibn al-Aswad.
Tokoh – tokoh zahid Mesir pada
abad pertama Hijriyah diantaranya adalah Salim ibn ’Atar al-Tajibi. Al-Kindi
dalam karyanya, al-wulan wa al-Qydhah meriwayatkan Salim ibn ‘Atar al-Tajibi
sebagai orang yang terkenal tekun beribadah dan membaca al-Qur’an serta shalat
malam, sebagaimana pribadi – pribadi yang disebut dalam firmanAllah :”Mereka
sedikit sekali tidur di waktu malam”. (QS.al-Dzariyyat, 51:17). Dia pernah
menjabat sebagai hakim diMesir,dan meninggal di Dimyath tahun 75 H. Tokoh
lainnya adalah Abdurrahman ibn Hujairah (w. 83 H.) menjabat sebagai hakim agung
Mesir tahun 69 H.
Sementara tokoh zahid yang paling
menonjol pada abad II Hijriyyah adalah al-Laits ibn Sa’ad (w. 175 H.).KeZuhudan
dan kehidupannya yang sederhana sangat terkenal. Menurut ibn Khallikan, dia
seorang zahid yang hartawan dan dermawan, dll [20]
Dari uraian tentang Zuhud
dengan berbagai alirannya, baik dari aliran Madinah, Bashrah, Kufah, Mesir
ataupun Khurasan, baik pada abad I dan II Hijriyyah dapat disimpulkan bahwa Zuhud
pada masa itu mempunyai karakteristik sebagai berikut :
• Pertama
: Zuhud
ini berdasarkan ide menjauhi hal – hal duniawi, demi meraih pahala akhirat dan
memelihara diri dari adzab neraka. Ide ini berakar dari ajaran –ajaran
al-Qur’an dan al-Sunnah yang terkena dampak berbagai kondisi sosial politik
yang berkembang dalam masyarakat Islam ketika itu.
• Kedua
: Bercorak praktis, dan para pendirinya tidak menaruh perhatian buat menyusun
prinsip – prinsip teoritis Zuhud. Zuhud ini mengarah pada
tujuan moral.
• Ketiga
: Motivasi Zuhud ini ialah rasa takut, yaitu rasa takut yang muncul dari
landasan amal keagamaan secara sungguh –sungguh. Sementara pada akhir abad kedua
Hijriyyah, ditangan Rabi’ah al-Adawiyyah, muncul motivasi cinta kepada Allah,
yang bebas dari rasa takut terhadap adzab-Nya.
• Keempat
: Menjelang akhir abad II Hijriyyah, sebagian zahid khususnya di Khurasan dan
pada Rabi’ah al-Adawiyyah ditandai kedalaman membuat analisa, yang bisa
dipandang sebagai fase pendahuluan tasawuf atau sebagai cikal bakal para sufi
abad ketiga dan keempat Hijriyyah. Al-Taftazani lebih sependapat kalau mereka
dinamakan zahid, qari’ dan nasik (bukan sufi). Sedangkan Nicholson memandang
bahwa Zuhud ini adalah tasawuf yang paling dini. Terkadang Nicholson
memberi atribut pada para zahid ini dengan gelar “para sufi angkatan pertama”.
Suatu kenyataan sejarah bahwa
kelahiran tasawuf bermula dari gerakan Zuhud dalam Islam.Istilah tasawuf
baru muncul pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufy (w.250
H.) dengan meletakkan al-sufy di belakang namanya. Pada masa ini para sufi
telah ramai membicarakan konsep tasawuf yang sebelumnya tidak dikenal.Jika pada
akhir abad II ajaran sufi berupa keZuhudan, maka pada abad ketiga ini
orang sudah ramai membicarakan tentang lenyap dalam kecintaan (fana fi mahbub),
bersatu dalam kecintaan (ittihad fi mahbub), bertemu dengan Tuhan (liqa’) dan
menjadi satu dengan Tuhan (‘ain al jama’) [21]. Sejak itulah muncul karya
–karya tentang tasawuf oleh para sufi pada masa itu seperti al-muhasibi (w. 243
H.), al-Hakim al-Tirmidzi (w. 285 H.), dan al-Junaidi (w. 297 H.). Oleh karena
itu abad II Hijriyyah dapat dikatakan sebagai abad mula tersusunnya ilmu
tasawuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar