BAB I
PENDAHULUAN
•
LATAR BELAKANG
Dalam persfektif pemikiran islam,
ilmu kalam memiliki karakteristik, corak, bentuk dan khas. Pemikirannya sangt
melekat dengan kondisi sosial, kultural dan politis, di saat umat islam sedang
mengembangkan ajrannya. Secara teologis, pemikiran kalam muncul bersamaan
dengan penyikapan umat islam terhadap ajarannya, baik dalam bentuk pemahaman,
penghayatan dan pengalaman. Oleh karena itu, sejak awal terutama setelah
Rasulullah SAW wafat, pemikiran telah muncul.
Ilmu kalam termasuk cabang ilmu
keislaman yang muncul semenjak masa yang terbilang awal. Dalam konteks
pemikiran islam, ilmu kalam termasuk bagian dari proses pengalaman islam yang
mengalir dalam bangunan peradaban islam pada umumnya. Oleh karena itu, sebagai
bagian dari pemikiran islam, ilmu kalam tidak dapat dipisahkan dari proses
sejarah peradaban islam. Ilmu kalam menjadi suatu rangkaian kesatuna sejarah,
dan telah ada di masa lampau, masa sekarang dan masa yang akan datang. Akan
tetapi, setiap langkah yang menuju pemikiran kalam selanjutnya, di perlukan
penguraian dan analisis yang mendalam dalam hubungannya dengan entitas
pandangan islam.
•
RUMUSAN MASALAH
Secara garis
besar pembuatan makalah kami akan membahas tentang:
•
Bagaimana Latar belakang lahirnya Aliran
Maturidiyah
•
Tokoh-tokoh yang berperan dalm Aliran
Maturidiyah
•
Bagaimana Doktrin-doktrin teologi
al-maturidi
•
TUJUAN
•
Untuk mengetahui bagaimana latar
belakang lahirnya ajaran Al-Maturidi
•
Untuk mngetahui tokoh-tokoh yang
berperan dalam Al-Maturidi
•
Untuk mengetahui ajaranajaran yang di
bawa oleh Aliran Al-Maturidi
BAB
II
PEMBAHASAN
•
Latar Belakang Lahirnya Aliran Al-Maturidiyah
Aliran Maturidiyah lahir di
Samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu Manshur Muhammad
bin Muhammad bin Mahmud Almaturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk melawan
mazhab Mu’tazilah. Abu manshur Maturidi (wafat 333 H) menganut mazhab Abu
Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu, kebanyakan pengikutnya juga
bermazhab hanafi. Riwayatnya tidak banyak diketahui. Ia sebagai pengikiut Abu
Hanifah sehingga faham teologinya memiliki banyak persamaan dengan paham-paham
yang di pegang Abu Hanifah. System pemikiran Aliran Maturidiyah,
termasuk golongan teologi ahlu sunnah.
Untuk mengetahui system pemikiran
Al-Maturidi, kita tidak bisa meninggalkan pemikiran Asy’ari dan Aliran
Mu’tazilah, karena ia tak lepas dari suasana zamannya. Maturidiyah dengan
Asy’ariyah sering sama dalam pemikirannya, karena kesamaan lawan yang
dihadapinya yaitu Aliran Mu’tazilah. Namun tetap terdapat perbedaan diantara
keduanya. Jadi tujuan lahirnya Aliran Maturidiyah adalah
sebagai reaksi terhadap Aliran mu’tazilah yang di anggap
tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’.
•
Tokoh-tokohnya
Salah satu tokoh penting dari Aliran
Maturidiyah
ini ialah al-Bazdawi, yang nama lengkapnya adalah Abu al-Yusr Muhammad
al-Bazdawi. Ia dilahirkan pada tahun 421 H, namun orang tidak mengetahuinya
secara pasti, di mana ia dilahirkan. Kakek Bazdawi adalah murid Maturidi, dan
Bazdawi mmepelajari ajaran-ajaran Maturidi daru orang tuanya, tidak di ketahui
secara pasti di kota mana-mana saja Bazdawi bermukim, kecuali di sebutkan bahwa
ia berada di Bukhara pada tahun tahun 478 H/1085 M, dan menjadi qhadi di
Samarkand pada tahun 481 H/1088 M, kemudian wafat di Bukhara pada Tahun 493
H/1099 M. dengan demikian dapat di duga
bahwa Bazdawi menghabiskan bagian dari masa hidupnya di Bukhara. Ia dalah tokoh
ulama yang dalam bidang fiqh brmazhab hanafi. Karyanya yang terknal adalah
kitab Ushul al-Din. Al-Bazdawi sndiri mempunyai banyak murid, dan salah seorang
daripadanya ialah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi. Ia adalah pengarang buku
al-‘aqaid al-nasafiah.
Seperti di ketahui, tidaklah selamanya
pengikut suatu Aliran, pendirinya selalu sama dengan Aliran yang ia ikuti. Hal
ini terjadi pada Bazdawi yang pendirian-pendiriannya lebih dekat kepada
asy-‘Ariyah dapipada kepada maturidi, sementara maturidi sendiri lebih dekat
kepada mu’tazilah. Untuk mengetahui ajaran atau faham Bazdawi yang di sebut
pula dengan Maturidiyah Bukhara, ajaran-ajarannya sebagai berikut:
•
Kemampuan akal manusia
Bazdawi dan maturidi mempunyai
pandangan yang sama tentang kemampuan akal manusia, mengetahui adanya
Tuhan, dan mengetahui baik dan buruk, meskipun demikian, mengetahui adanya
Tuhan dan bersyukur kepada-Nya bukanlah merupakan kewajiban sebelum datangnya
keterangan wahyu, dmikian pula mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi
perbuatan jahat, karena menurutnya kewajiban-kewajiban itu, hanya di tentukan oleh
Tuhan, dan ketentuan-ketentuan itu hanya di ketahui melalui wahyu.
•
Perbuatan manusia
Tentang perbuatan manusia,
Bazdawi tidak sefaham dengan maturidi.. mnurut pendapatnya, sekalipun perbuatan
manusia itu di ciptakan oleh Tuhan, tetapi bukanlah perbuatan Tuhan. Manusia
adalah pembuat perbuatan dalam arti kata yang sesungguhnya. Terhadap
pendapatnya ini, lalu dia di kritik orang, bahwa melakukan prbuatan yang
diciptakan Tuhan, lebih tepat dikatakan perbuatan manusia, akibat kritikan itu,
lalu ia menjadi ragu-ragu terhadap pendapatnya sendiri. Akhirnya ia mempunyai I
pendapat yang cendrung kepada anggapan bahwa daya manusia tidaklah efektif
dalam mewujudkan perbuatannya, sebagaimana halnya juga pendapat Al-Asy’ari.
•
Kehendak dan kekuasaan Tuhan
Menurut bazdawi, Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak, ia bebas melakukan apa saja yang di Kehendaki-Nya,
tidak ada yang bisa menentang, memaksa ataupun melarang-Nya. Namun demikian,
kehendak dan kekuasaan Tuhan menurut faham Bazdawi tidaklah semutlak apa yang
terdapat dalam faham Asy’ari. Bazdawi menjelaskan bahwa tidak mungkin Tuhan
melanggar janji-Nya untuk memberi pahala bagi yang berbuat baik, tetapi
sebaliknya, bukan tidak mungkin Tuhan membatalkan ancaman untuk memberi hukuman
kepada orang yang berbuat jahat.
•
Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidiyah
•
Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya,
Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam hal ini, ia sama dengan
Al-Asy’ari. Namun porsi yang diberikannya pada akal lebih besar daripada yang
di berikan oleh Al-Asy’ari.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui tuhan dan
kewajiban mengetahui Tuhan dapat di ketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam
mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang
memerintahkan mausia menngunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan
keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaan-Nya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan untuk
memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan memerintahkan
manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk
memperoleh iman dan pengetahun mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban
yang di perintahkan ayat-ayat tersebut. Namun akal, menurut Al-Maturidi tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiabn lainnya.
Dalam masalah baik dan buruk,
Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik buruknya sesuatu itu terletak pada
sesuatu itu sendiri. Sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah
mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa
akal tidak selalu mampu membedakan antara yang baik dan buruk, namun terkadang
pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi
demikian, wahyu di perlukan untuk di jadikan sebagai pembimbing.
Al-maturidi membagi kaitan sesuatu dengan
akal pada tiga macam yaitu:
•
Akal dengan sendiriya hanya mengetahui
kebaikan sesuatu itu;
•
Akal dengan sendiinya hanya megetahui
kebuukan sesuatu itu;
•
Akal tidak mengetahui kebaikan dan
keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Tentang mengetahui kebaikan
atau keburukan sesuatu dengan akal, al-maturidi sependapat dengan mu’tazilah.
Hanya saja bila mmu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan yang baik dna
meningglkan yang buruk itu di dasarkan pada pegetahuan akal, Al-matruidi
mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus di terima dari ketentuan ajaran wahyu
saja. Dalam persoalan ini, Al-maturidi berbeda pendapat dengan Al-Asy’ari.
Menuut al-Asy’ari, baik atau buruk itu terdapat pada sesuatu itu sendiri.
Sesuatu itu di pandang baik karena perintah syara dan di pandang di buruk
karena larangan syara. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang
buruk itu karena larangan Allah. Pada konteks ini, Al-maturidi berada pada
posisi tengah dari mu’tazilah dan Al-Asy’ari.
•
Pebuatan manusia
Menurut Al-maturidi perbuatan
manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah
ciptaan-Nya. Khusus mengenai perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan
kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat( ikhtiar) agar
kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal
ini, Al-maturidi mempertemukan antara Ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan
Qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. Tuhan menciptakan daya dalam
diri manusia dan manusia bebas memakainya. Daya-daya tersebut diciptakan
bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian tidak ada pertentangan
antara Qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dan Ikhtiar yang ada
pada manusia. Kemudian, karena
daya di ciptakan dalam diri manusia dan perbuatan yang dilakukan adalah
perbuatan manusia sendiri dalam ati yang sebenarnya, maka tentu daya itu juga
daya manusia. Berbeda dengan Al-maturidi, Al-Asy’ari mengatakan bahwa daya
tersebut adalah daya Tuhan karena ia
memandang bahwa perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bebeda pula dengan
mu’tazilah yang memandang daya sebagai daya manusia yang telah ada sebelum
perbuatan itu sendiri.
Dalam masalah pemakaian daya
ini, Al-maturidi membawa faham Abu Hanifah, yaitu adanya Masyiah (kehendak) dan
ridha (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan perbuatan baik atau buruk
tetap berada dalam kehendak Tuhan, tetapi ia dapat memilih yang diridhai-Nya
atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan
Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas
kerelaan-nya. Dengan demikian. Berarti manusia dalam faham Al-matruidi tidak
sebebas manusia dalam faham mu’tazilah.
•
Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat
Tuhan tedapat persamaan antara pemikiran Al-maturidi dengan Al-Asy’ari.
Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, sepeti
sama’(mendengar), bashar (melihat), dan sebagainya. Walaupun begitu, pengertian
matuidi tentang sifat Tuhan berbeda dengan Al-Asy’ari . Al-Asy’ari mengartikan
sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat tu
sendiri, sedangkan Al-maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakn sebagai esensi-Nya
dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah dzat tanpa
terpisah (innaha lam takun ain ad-dzat
wa la hiya ghairuhu). Menetapkan sifat bagi Allah tidak harus membawanya pada
pengertian antrhropomorphisme karena sifat tidak berwujud tersendiri dari dzat,
sehingga berbilangnya sifat tidak akan membawa pada berbilangnya yang
Qadim(taaddud al-qudama)
Tampakanya faham al-maturidi
tentang makna sifat Tuhan cenderung mendekati faham mu’tazilah. Perbedaan
keduanya terletak pada pengakuan al-maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan,
sedangkan mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan.
Kalau di perhatikan,
sebenarnya kaum muslimin sepakat bahwa Allah itu Maha mengetahui, Maha
Mendengar, Maha Kuasa dan sebagainya, sebagaimana tersebut di dalam Al-Qur’an.
Letak perbedaan mereka hanyalah pada apakah sifat-sifat itu sesuatu yang ada di
luar dzat ataukah bukan. Mu’tazilah meniadakan sifat-sifat itu tetapi Asy-Ari mengatakan bahwa sifat-sifat
itu adalah sesuatu di luar dzat, sedangkan Al-maturidi menetapkan bahwa sifat-sifat
itu bukanlah sesuatu yang merubah dzat.
Dalam menghadapi ayat-ayat
mutasyabihat dalam A-Qur’an, al-maturidi mentakwilkannya, sedang Al-asy’ari
dalam hal ini mempunyai dua pendapat. Semula ia mentahzihkan (mensucikan)saja,
tanpa mentakwilkan, seeperti Tuhan mempunyai tangan, tapi tidak seperti tangan
makhluk-Nya, tetapi kemudian dia berubah, cenderung mengikuti pandapat Al
Maturidi, yaitu mentakwilkanya, sebagaimana disebutkan dalam bukunya Al Luma’
yang dikutip oleh Abu ZAkrah, dan inilah pendapatnya yang terahir. Dalam hal
ini, maka pendapat Al As’ary dan Al Maturidi adalah sama.
•
Melihat Tuhan
Al-maturidi dalam hal ini
mengatakan, bahwa Tuhan bisa dilihat dengan mata kepala manusia nanti di
akhirat, karena ia mempunyai wujud. Melihat Tuhan di hari Akhirat itu tidak
bisa di ketahui tentang bagaimana, kecuali hanya melalui apa yang di dengar
dari nash Al-Qur’an antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22-23
yaitu:
Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu
berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mreka melihat.(Qs. Al-Qiyamah:22-23)
Lebih dari itu, orang tidak di
perintahkan untuk mencari-cari alasan yang tidak diketahuinya, karena tidak
memiliki ilmu tentang masalahnya, sebagaiman Allah berfirman:
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di minta
pertanggung jawaban.(Qs. Al-Isra’:36)
Dalam hal ini melihat Tuhan di
akhirat, al-maturidi dan al- asy’aiyah sependapat, tetapi mu’tazilah
menolaknya, dengan alasan bahwa melihat itu membutuhkan tempat bagi orang yang
melihat dan bagi yang dilihat. Sedangkan Allah mustahil berada pada satu tempat
atau berada pada waktu tertentu.
•
Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Telah diuraikan di atas bahwa
perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk
adalah ciptaan Tuhan. Akan tetapi pernyataan ini menurut al-maturidi bukan
berarti bahwa Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang tapi
perbuatan dan kehendaknya itu belangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang
sudah di tetapkan-Nya sendiri.
•
Kalam Tuhan
Al-maturidi membedakan antara
kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang
sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qadim bagi Allah
sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits).
Al-quran dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu
atau hadits. Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakikatnya dan bagaimana
Allah bersifat dengan-Nya (bila kaifa) tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan
suatu perantara.
Menuut al-maturidi, mu’tazilah
memandang al-quran sebagai yang tesusun dari huruf-huruf dan kata-kata
sedangkan al-asy’ari memandangnya dari segi makna abstrak. Kalam Allah menurut
mu’tazilah bukan merupakan sifat-Nya dan bukan pula dari Dzat-Nya. Al-Qur’an
sebagai sabda Tuhan bukan sifat tetapi perbuatan yang diciptakan Tuhan dan
tidak brsifat kekal. Pendapat ini di terima Al-maturidi, hanya saja Al-maturidi
lebih suka menggunakan istilah ilmu hadis sbagai pengganti makhluk untuk
sebutan Al-Qur’an. Dalam konstek ini, pendapat Al-Asy’ari juga memiliki
kesamaan dengan pendapat Al-Maturidi, karena yang di maksud Al-Asy’ari dengan
sabda adalah makna abstrak tidak lain dari kalam nafsi menurut Al-Maturidi dan
itu memang sifat Tuhan.
•
Perbuatan Tuhan
Menurut Al-Maturidi, tidak ada
sesuatu yang terdapat dalam wujud ini, kecuali semua ini atas kehendak Tuhan.,
dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada
hikmah dan keadilan yang di tentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Oleh karena
itu, Tuhan tidak wajib berbuat yang baik dan yang terbaik bagi manusia. Setiap
perbuatan manusia Tuhan yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang di
bebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang
dikehendaki-Nya. Kewajiban-kewajiban tersebut adalah:
•
Tuhan tidak akan membebankan
kwajiban-kewajiban kpada manusia di luar dari kemampuannya karena hal
tersebut tidak sesuai dengan keadilan,
dan manusia juga diberikan kemerdekaan oleh Tuhan dalam kemampuandan perbuatannya.
•
Hukuman atau ancaman dan janji
terjadi karena mrupakan tuntutan keadilan yang sudah ditetapkannya.
Aliran mu’tazilah
mengatakan bahwa Allah melakukan semua perbuatan-Nya karna ada maksud-maksud
dan tujuan tertentu. Sedangkan Al-Maturidi mengatakan bahwa semua perbuatan
Allah mngandung hikmah(kebijaksanaan) atau tujuan, tetapi perbuatan-Nya ini
tidaklah atas dasar kewajiban, sebagaimana yang dikatakan mu’tazilah, sebab
kalau atas dasar kewajiban, berarti meniadakan kehendak dan mengharuskan adanya
hak bagi selain Allah untuk memaksa-Nya, sehingga kehendak Allah tidak bebas,
padahal Allah berada di atas hamba-Nya. Adpaun Aliran As-Asy’ariyah
mngatakan, bahwa perbuatan Allah bukan kerena hikmah dan tujuan.
•
Pengutusan Rasul
Akal tidak selamanya mampu
mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban
mengetahui baik buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan
kepada manusia. Oleh karena itu menurut al-maturidi, akal memerlukan bimbingan
ajaran wahyu untuk mengtahui
kewajiban-kewajiban tersebut,. Jadi, pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber
informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia
telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.
Pandangan Al-maturidi ini
tidak jauh berbeda dengan pandangan mu’tazilah yang berpendapat bahwa
pengutusan Rasul ketengah-tengah umatnya adalah kewajiban Tuhan agar manusia
dapat berbuat baik dan terbaik dalam kehidupannya.
•
Pelaku dosa besar
Al-maturidi berpendapat bahwa
orang yang berdosa besar tidak kafir dan tidak kekal dalam neraka walaupun ia
mati sebelum bertaubat. Hal ini karena Tuhan tlah menjanjikan akan membrikan
balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah
balsan untuk orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian, berbuat dosa
besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka.
Oleh karena itu, perbuatan dosa besar selain syirik tidaklah menjadikan ssorang
kafir atau murtad. Menurut A-Maturidi iman itu cukup dengan tashdik dan ikrar
sedangkan amal adalah penyempurnaan iman. Oleh karena itu, amal tidak akan
menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali hanya menambah atau mengurangi
sifatnya saja.
•
Golongan-Golongan Didalam Maturidiyah
Ada dua golongan
didalam Maturidiyah yaitu:
•
Golongan samarkand
Yang menjadi golongan ini
adalah adalah Al-maturidi sendiri, golongan ini cenderung ke arah paham
mu’tazilah, sebagaimana pendapatnya soal sifat-sifat Tuhan, maturidi dan
asy’ary terdapat kesamaan pandangan. Menurut maturidi, Tuhan mempunyai
sifat-sifat, Tuhan mengetahui bukan dengan zatnya, melainkan dengan
pengetahuannya.
Begitu juga Tuhan berkuasa
dengan zatnya. Mengetahui perbuatan-perbuatan manusia maturidi sependapat
dengan golongan mu’tazilah bahwa manusialah sebenarnya mewujudkan
perbuatan-perbuatannya. Apabila ditinjau dari sini, maturidi berpaham
qadariyah. Maturidi menolak paham-paham mu’tazilah, antara lain Maturidiyah
tidak sepaham mengenai pendapat mu’tazilah yang mengatakan bahwa al-qur’an itu
makhluk. Aliran maturidi juga sepaham dengan mu’tazilah dalam soal
al-waid wa al-waid. Bahwa janji dan ancaman tuhan, kelak pasti terjadi.
Demikian pula masalah antrophomorpisme. Dimana maturidi berpendapat bahwa
tangan wajah tuhan, dan sebagainya seperti pengembaraan al-qur’an. Mesti diberi
arti kiasan (majazi). Dalam hal ini, maturidi menggambarkan Tuhan mempunyai
bentuk jasmani tak dapat diberi interprtasi (ditakwilkan).
•
Golongan buhara
Golongan Bukhara ini dipimpin
oleh Abu Al-yusr Muhammad Al-Bazdawi. Dia mrupakan pengikut maturidi yang
paling penting dan penerus yang baik dalam pemikirannya. Nenek Al-Bazdawi
menjadi salah satu murid maturidi. Dari orang tuanya, Al-bazdawi dapat menerima
.ajaran maturidi. Dengan demikian yang dimaksud golongan Bukhara adalah
pengikut-pngikut Al-Bazdawi di dalam Aliran Al-Maturidiyah, yang
mempunyai pendapat lebih dekat kepada pendapat-pendapat Al-Asy’ary.
Namun walaupun sebagai Aliran
Maturidiyah,
Al-Bazdawi tidak selamanya sepaham dengan maturidi. Ajaran-ajaran teologinya
banyak dianut oleh sebagian umat islam yang bermazhaf Hanafi. Dan
pemikiran-pemikiran Maturidiyah sampai
sekarang masih hidup dan berkembang dikalangan umat islam.
•
Beberapa aspek kesamaan pemahaman
antara Asy’ariyah dan Maturidiyah
Sebagai Aliran yang sezaman
dengan mazhab Asy’ariyah, jika ditela’ah terdapat banyak kesamaan antara dua
mazhab ini. Keduanya termasuk dalam Aliran Ahlussunnah. Terkait kepemimpinan
para khalifah setelah Nabi SAW sesuai urutan historis yang telah terjadi,
keduanya memiliki pandangan serupa. Juga tak ada perbedaan dalam pandangan
mereka terhadap para penguasa Bani Umayah dan bani Abbas. Dalam semua sisi
masalah imamah pun mreka saling sepakat. Keduanya juga sepaham bahwa Allah bisa
melihat pada kaif (cara), had (batas), qiyam (brdiri) wa qu’ud (duduk) dan
hal-hal sejenisnya. Brbeda dengan Hasyawiyah dan Ahlul hadits yang brpendapat
bahwa Allah, sperti selain-Nya bisa dilihat dengan kaif dan had.
Dalam hal kalam Allah (al-Qur’an),
kedua mazhab ini juga memiliki pandangan sama, yaitu bahwa kalam-Nya memiliki
dua tingkatan. Pertama adalah kalam nafsi yang bersifat qadim (dahulu) dan
kedua adalah kalam lafdhi (lafal) dan brsifat hadits (baru). Ini adalah
pendapat moderat dari kedua mazhab ini, yang berada diantara pendapat
Mu’tazilah bahwa kalam Allah hadits secara mutlak, dan pendapat Ahlul hadits
bahwa kalam-Nya qadim secara mutlak. Ringkas kata, Asy’ariyah dan Maturidiyah
memiliki banyak kesamaan pandangan dalam masalah akidah. Namun disaat yang
sama, adapula beberapa perbedaan dalam prinsip-prinsip teologis dua mazhab
ini,yang membedakan mereka satu sama lain, antara lain:
•
Asy’ariyah membagi sifat-sifat Allah
kepada dzati dan fi’li. Namun Maturidiyah menolak pembagian ini
dan menyatakan bahwa semua sifat fi’li-Nya qadim seperti sifat dzati.
•
Asy’ariyah mengatakan bahwa Allah
mustahil membebankan taklif yang tak mampu dilakukan manusia, sementara Maturidiyah
brpendapat sebaliknya.
•
Asy’ariyah meyakini bahwa semua yang
dilakukan Allah adalah baik, sedangkan Maturidiyah, berdasarkan hokum akal,
berpandangan bahwa Dia mustahil berbuat zalim.
BAB III
PENUTUP
•
KESIMPULAN
Aliran Maturidiyah lahir di
Samarkand, pertengahan kedua dari abad IX M. pendirinya adalah Abu Manshur
Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Almaturidi, di daerah Maturid Samarqand, untuk
melawan mazhab Mu’tazilah. Tokoh dari Aliran Al-Maturidiyah itu sendiri
adalah al-Bazdawi, yang nama lengkapnya adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi.
Ia dilahirkan pada tahun 421 H, namun orang tidak mengetahuinya secara pasti,
di mana ia dilahirkan. Al-Bazdawi memiliki perbedaan pendapat mengenai
ajaran-ajaran atau doktrin-doktrinya. Meskipun Al-Bazdawi tokoh dari Aliran
Maturidiyah,
tetapi Bazdawi yang pendirian-pendiriannya lebih dekat kepada asy-‘Ariyah
dapipada kpada maturidi, sementara maturidi sendiri lebih dekat kepada
mu’tazilah. Sehingga di dalam Aliran Al-Maturidi terdapat 2
golongan yaitu golongan Samarkand dan golongan Bukhara.
•
Komentar/ kritik penulis terhadap Aliran Al-Maturidiyah
Apabila
Aliran
Al-Maturidiyah
berkembang sampai saat ini, bila kita lihat dari tokoh-tokoh dan pendiri
al-Maturidi yang mengalami beberapa perbedaan pendapat mengenai
ajaran-ajarannya, di mana pendiri dari Aliran Al-maturidi itu lebih memihak
kepada Aliran Asy-Ariyah sedangkan Aliran al-maturidi itu
sendiri lebih ke pihak mu’tazilah. Bila Aliran ini berkembang pada saat ini,
ini akan mengakibatkan kebingungan pada masyarakat umumnya. Seharusnya Aliran
Al-maturidi harus mengikuti ajaran-ajaran yang ada [ada Aliran tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution, Harun. 2002.Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: Universitas
Indonesia-Press
Rozak Abdul, Rosihan,
Anwar.2003. Ilmu Kalam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Abd, Chalik,
chaerudji.2003. Ilmu Kalam . Jakarta: PT. Diadit media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar